Tak Dilibatkan Bahas RUU Kesehatan, IDI Protes DPR RI
Berita Baru, Jakarta – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama sejumlah organisasi profesi lainnya memprotes Baleg DPR RI yang tak melibatkan mereka dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan.
Organisasi profesi lainnya yang dimaksud adalah Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Umum Pengurus Besar IDI M. Adib Khumaidi menyebut sesuai dengan lampiran Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II2021-2022 bahwa RUU Kesehatan (Omnibus Law) tidak ada dalam daftar tersebut.
Namun kemudian, berdasarkan berita yang diunggah melalui laman DPR RI per 29 Agustus, tertulis bahwa RUU tentang Kesehatan (Omnibus law) masuk dalam prioritas prolegnas perubahan ketiga tahun 2020-2024
“Dalam penelusuran kami RUU Sistem Kesehatan Nasional diusulkan pada 17 Desember 2019, informasi dari halaman DPR RI. Kami mendapatkan informasi RUU ini telah ditetapkan oleh Baleg DPR dalam daftar prolegnas prioritas. Namun terkait draf naskah akademik maupun RUU nya belum pernah kami dapati,” kata Adib melalui siaran pers, Senin (26/9/2022).
Demi mengedepankan kepentingan masyarakat dan keselamatan pasien yang lebih luas, lanjut Adib, maka IDI dan sejumlah organisasi profesi sepakat dalam pembahasan RUU Kesehatan tidak boleh menghapuskan UU yang mengatur tentang profesi kesehatan yang sudah ada.
Adib kemudian menyinggung Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menerbitkan dokumen Global Strategy on Human Resources for Health Workforce 2030 sebagai acuan bagi pembuat kebijakan negara-negara anggota dalam merumuskan kebijakan tenaga kesehatan.
Disebutkan bahwa pemangku kepentingan yang dimaksud dalam dokumen itu bukan hanya pemerintah, tetapi juga pemberi kerja, asosiasi profesi, institusi pendidikan, hingga masyarakat sipil.
Untuk itu, mereka mendesak agar pemerintah dan DPR lebih aktif melibatkan organisasi profesi kesehatan dan unsur masyarakat lainnya dalam memperbaiki sistem kesehatan Indonesia dengan tiga pertimbangan.
“Pertama, pengaturan Omnibus law harus mengacu pada kepentingan masyarakat. Kedua, penataan di bidang kesehatan agar tidak mengubah yang sudah berjalan dengan baik. Ketiga, mengharapkan adanya partisipasi yang bermakna dalam penyusunan Omnibus law di bidang Kesehatan,” ujar Adib.