Surat Dari Hani
Surat Dari Hani
Oleh: Zaman
Cerpen, Sarah, anakku! Ayah sudah menerima surat dari Hani dekan fakultasmu kemarin agustus 2019, setelah beberapa gurumu kemarin bertamu di rumah, Sayang sekali kau tak jadi pergi ke jepang. Ayah pernah membayangkan bagaimana indahnya kota itu, kendati ayah tidak pernah diberi harapan untuk melihat itu, ternyata kau pun demikian. Padahal disana kau bisa melihat betapa ilmu pengetahuan, teknologi dan sains berkembang pesat, tentunya kamu banyak belajar pula dari kota itu, Tetapi ayah tak begitu menyesal memiliki anak sepertimu. Rasa-rasanya tindakanmu kemarin sudah benar, tapi adakah rasa kecewa itu masih kau pendam nak.
Semasa ayah duduk dibangku sekolah dasar beberapa hal yang dapat ayah ingat, semoga ayah tidak salah mendengar, ataupun keliru mengucapkannya padamu, pada waktu kelas 3 ayah mendapati begitu banyak pelajaran tentunya, tapi ucapan sumarni guru tua itu masih melekat rasanya.
“bahwa kebenaran se-menyakitkan apapun itu ia harus tetap di sampaikan dengan lantang”, mungkin kebanyakan guru tak bermental sepertinya.
Kalau beberapa nilai mu berantakan, atau ditahan oleh model guru yang tak tahan kritik, adakan koreksi habis-habisan. Tak perlu kau risaukan, ada kalanya orang tak memiliki perhatian pada sesuatu hal, penindasan misalnya, tetapi ada kalanya orang menjadi berkobar-kobar pada hal yang sama setelah mengetahui kegunaan bagi kepentingan hidupnya. jangan malu atau takut kalau keliru. Kalau saja setiap usul itu di anggap ancaman, maka akan ada banyak bangsa-bangsa besar yang jatuh menukik jadi bangsa kelas kambing, dan mental guru seperti itu layaknya pengembala.
Kamis 22 agustus 2019 , tepatnya jam sembilan kurang seperempat siang, Hani memanggil sarah ke ruangannya, beberapa kawan sebayanya; Ashari dan iden ikut menemani, mereka pergi menemui hani.
“ si ibu itu memang memiliki otoritas tinggi, dan ia selalu memproduksi ketakutan pada mahasiswa nya”
“ ya, begitulah gaya hidup pejabat kampus, jangan khawatir, aku yakin, tak semua guru memiliki kepribadian seperti itu” jawabku
Dengan hati, badan, jiwa yang bebas ini aku harus lugas menatap pandangannya yang membuat sekeliling gelap, membutakan hati pada sesuatu yang kerdil. Entah apa yang merasuki dirinya menjadi Dewa dan memanggil murid seperti ku ini. Entah kenapa ia lebih suka membangun ketakutan, ia lebih suka membuat kami takut dan tak tumbuh, seumpama kami bunga , ia tak menghendaki kami mekar. Aku lebih menaruh simpati pada guru yang memiliki perasaan halus dan kuping tebal.
“ sarah, kau sudah tiba, siapa yang bersama mu itu, kalau tak berkepentingan baiknya menunggu diluar”
“ sekali lagi suatu pujian bagi saya” ashari meneruskan.
“ sudah kau tunggu diluar dulu, biar kami bicara dan menyelesaikan hal semacam ini”.
Aku terus bertanya kenapa murid seperti ku harus menemuinya, aku tak tahu banyak tentang Dewa ini, selain kebesaran namanya yang senden pada kursi gabus itu. Di tengah percakapan aku selelau membayangkan satu orang yang bisa mengubah banyak keadaan!, Aku seperti hidup dan bermimpi keras di era orde baru padahal sudah lewat. Kampus ini tak lagi baik, selain memproduksi ketakutakn pada muridnya, Banyak pula dasi-dasi mewah yang tak patut di kenakan pada leher yang tak memiliki kepribadian di otaknya. Banyak perkakas kelas yang kosong menjadi fasilitas saat belajar, beberapa ruang belajar tak memiliki proyeksi pemancar sinar dari komputer, dan beberapa air conditioner (AC) tidak selesai dikerjakan si tukang sejak semester lalu. Fasilitas laboratorium yang seadanya.
“ Bagaimana kabar ibu sarah di rumah? “ tanya hani.
“ kabar ibu dirumah selalu baik”.
“ lantas kabarmu seperti apa sar?” Hani meneruskan.
Pandangannya mendadak dingin, aku meluruskan leher dan menjawabnya. kabar baik ku, adalah kabar buruk bagi penguasa dalam hati ku.
“saya baik-baik saja ibu,
apakah demikian dengan ibu?”.
“ yah setelah sambutanmu dilapangan kemarin, agaknya banyak yang tidak lagi sehat, tidakah begitu sar?” suara yang keluarpun meninggi.
“ iya bu, apa boleh buat” dengan sedikit merunduk dengan suara parau, aku menjawab sambil memegangi pena.
“ kalau saja kau menurut dengan ku, tak batal pula keberangkatan mu itu kan”
Sebegitu tingginya ia dapat merubah segala yang menjadi hak orang lain, tidak kah dia ingat bahwa sebagian hidupnya dibaiayai oleh kami!, yaa Rakyat.
“ saya sudah mendengarnya dari ayah saya, terimakasih ibu” sambil melangkahkan kaki aku keluar dari ruanggan.
Tak ada kaki kerang yang berserakan di lantai ruangannya, tidak seperti rumah salah satu murid yang hendak masuk dan terhalang besarnya biaya kampus ini, dan bau ruangannya layak parfum paris yang di pakai para aktris ibu pertiwi, kendati tak pernah sekalipun aku cium dari kediaman si murid pula. Rusman adalah salu satu dari tiga ratus calon mahasiswa baru yang ingin belajar di perguruan tinggi, namun ia memilih tidak melanjutkan validasi, pun demikian dengan tiga ratus calon mahasiswa, karena biaya pendidikannya tak sepadan dengan harga tembakau di ladang ayahnya. Generasi siapa yang hendak menanggung penderitaannya. Tidak akan ada yang peduli.
“ apa kau dibentak sar” sambut Ashar dan iden di depan pintu ruangan.
“ aaahh tidak, sudah selayaknya ibu dengan anak percakapan kami di dalam”
“ aaaah yang benar, si otoriter itu seperti itu” sambil tertawa ashar berjalan menemani sarah.
Belakangan generasi muda yang lebih memberontak sejatinya ia yang telah lahir dari penindasan, makin lama makin menjalar, seberapa kuat kau melenyapkan kebenaran ia kakan terus hidup, aku bersumpah dengan megggondrongkan diri,aku akan bergrilya menuliskan kebenaran, seberapa pun orang akan menaruh simpatinya padaku tidak menjadi persoalan. Karena yang menjadi penting adalah soal kondisi kampus yang dugal ini.
entah bagaimana kondisi dikampusnya tapi saya rasa ini adalah narasai autentik dan sangat bagus