Sri Mulyani: Faktor Geopolitik Sulitkan Proses Pemulihan Ekonomi
Berita Baru, Jakarta – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa faktor geopolitik dan geo-ekonomi menjadi dua faktor yang menyulitkan untuk proses pemulihan ekonomi usai dunia kolep dihantam pandemi COVID-19.
Sebagaimana diketahui, dalam proses akhir penanganan pandemi COVID-19 menuju pemulihan ekonomi, muncul dinamika risiko baru yaitu suasana geopolitik yang berubah karena Perang Ukraina pada Februari 2022 yang kini masih terjadi eskalasi.
“Di dalam perjalanan kita juga melihat konstelasi geopolitik menjadi makin mengeras antara AS (Amerika Serikat) dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok),” katanya dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023, dikutip Jumat (7/4).
Sri Mulyani menyebut, konflik AS-Tiongkok lebih berkaitan masalah geo-ekonomi dibandingkan masalah politik atau militer. Konstelasi tersebut membuat global supply-chain berubah, banyak keputusan di level ekonomi dan perusahaan dipengaruhi faktor geo-ekonomi.
Ia kemudian mencontohkan, pada hari ini AS disebut mengusulkan Inflation Reduction Act. “Jika dilihat dari judul undang-undangnya, terlihat berfokus untuk menurunkan inflasi di AS,” sambung Menkeu.
Namun, menurutnya konten dari legislasi itu sangat jelas untuk melakukan de-globalisasi yang berarti mengembalikan semua investasi ke AS sehingga Negeri Paman Sam tak tergantung kepada negara seperti China yang selama ini memiliki hubungan perdagangan dan investasi sangat luar biasa.
Dua raksasa ekonomi, lanjut Sri Mulyani, akan sangat mempengaruhi bagaimana arus modal bergerak karena tak lagi ditetapkan oleh hanya insentif ekonomi, namun juga insentif dari sisi keamanan, dan itu diberikan subsidi yang luar biasa.
“Makanya Pak Bahlil (Menteri Investasi) nanti bisa mengatakan konstelasi untuk menarik investasi di dalam geopolitik ini juga harus diperhatikan karena ini fakta yang harus kita hadapi,” ucap Menkeu.
Sri Mulyani menyatakan, dalam situasi seperti ini maka seluruh kalkulasi menjadi berubah mengingat faktor geopolitik dan geo-ekonomi menciptakan ketidakpastian ekonomi sehingga mendorong harga komoditas menjadi tinggi.
Di satu sisi, kenaikan harga komoditas memang menguntungkan Indonesia yang akhirnya mendorong perekonomian tanah air lebih cepat pulih dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) kembali sehat
“Namun, jika melihat seluruh kurva komoditas seperti harga gas dan batubara yang meningkat lalu kembali drop, memberikan implikasi pada perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Salah satu contohnya adalah lonjakan harga Crude Palm Oil (CPO) karena minyak goreng yang berasal dari bunga matahari yang diproduksi di Ukraina hilang atau tidak ada, sehingga permintaan terhadap minyak goreng dari CPO melonjak tinggi.
“Jadi kita bisa melihat bagaimana perang geopolitik mempengaruhi secara langsung dan kadang-kadang dampaknya sangat terasa oleh masyarakat,” ungkapnya.
“Demikian juga komoditas pangan yang lain seperti kedelai, gandum dan jagung karena Ukraina dan Rusia adalah producer (komoditas-komoditas tersebut) yang sangat signifikan,” pungkas Sri Mulyani.