Soal Dukun vs Pesulap, Wakil Rektor UNIPDU: Kapitalisasi Agama Berkedok Kearifan Lokal
Berita Baru, Jakarta – Wakil Rektor UNIPDU Jombang, HM Zahrul Azhar Asumta menyebutkan perseteruan antara pesulap berambut merah dengan Gus Samsudin merupakan kapitalisasi agama berkedok kearifan lokal.
“Jika si Pesulap Rambut Merah membela diri bahwa tindakannya sekedar ingin membongkar praktik perdukunan si “Gus Pesulap” yang ulahnya ia yakini penuh dengan tipu muslihat, para pendukung si “Gus Pesulap” tidak kalah garangnya dalam membela tokoh panutannya. Komen para netijen menambah riuh “ruang gladiator” dunia maya,” tutur pria yang akrab disapa Gus Hans tersebut.
Gus Hans mengatakan Jika di Indonesia perdukunan dianggap sebagai hal lumrah, di Arab Saudi perdukunan adalah bagian dari praktik sihir yang layak dihukum. Jangankan perdukunan, berdoa sambil memegang Maqmm Ibrahim saja diusir dan dicap syirik oleh laskar Masjidil Haram.
“Di Arab Saudi, ada hukum yang mengatur tentang sihir dengan ketat. Sihir diklasifikasi sebagai pelanggaran berat. Pelakunya terancam hukuman maksimum, yaitu pancung. Di Arab Saudi juga ada polisi agama yang disebut Mutawa. Selain itu, Arab Saudi juga memiliki Magical Unit yang fokus memberantas praktik-praktik perdukunan di negara gurun ini,” jelasnya.
Sementara itu, lanjut Gus Hans, Indonesia terkenal dengan negara dengan budaya dan keyakinan yang sangat beragam. Keragaman ini menjadi sebuah energi yang mampu membawa Indonesia menjadi negara besar yang memilki semboyan “Bhinneka Tungal Ika”.
“Saat ini, siapa saja bisa mengaku Gus untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi. Padahal, definsi Gus itu simpel. Gus adalah sebutan untuk putra seorang kiyai. Mereka yang menyandang Gus tidak harus alim dalam bidang agama. Sebutan Gus untuk seseorang yang bukan putra kyai adalah Gus jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut-pengagumnya. Ada juga orang yang mendadak Gus saat menjelang Pemilu,” paparnya.
Dalam kasus yang sedang viral ini, Gus Hans menegaskan dirinya tidak dalam posisi menghakimi siapa yang benar dan siapa yg salah. Sejauh kita mengikuti beritanya, realitas di lapangan memperlihatkan bahwa masyarakat menuntut penutupan padepokan tersebut. Selalu ada kelompok pro-kontra menghadapi kasus-kasus seperti ini.
“Sepengetahuan saya, kebanyakan pasien seorang dukun biasanya datang dari jauh, bukan penduduk sekitar. Bahkan, tidak banyak warga sekitar yang tahu tentang “kesaktian” tetangganya yang dianggap “orang pintar” oleh orang orang luar,” katanya.
Munculnya sosok pesulap muda berambut merah, menurut Gus Hans, seakan memporak-porandakan dunia “tahu sama tahu” di antara komunitas supranatural. Beberapa bereaksi negatif terhadap tindakan si Rambut Merah, tapi ada juga yang bisa menerima.
“Bagi orang awam seperti saya, keberanian si pesulap muda ini sangat membantu untuk mengedukasi masyarakat tentang apa yg sebenarnya terjadi. Setidaknya, apa yang ia lalukan dapat mengurangi tumbuh suburnya praktik-praktik kapitalisasi berkedok kearifan lokal yang menyeret agama dalam kubangan keprimitifan,” jelas Gus Hans.