Siti Nurbaya Digugat ke PTUN Jakarta Terkait Alih Kelola 1,1 Juta Hutan
Berita Baru, Jakarta – Aliansi Selamatkan Hutan Jawa menggugat Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 287 tentang Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Pulau Jawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dalam gugatannya, Aliansi meminta pengadilan agar memerintahkan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar membatalkan SK tersebut. Dalam SK itu, KLHK mengambil alih kelola 1,1 juta hutan di Jawa dari Perum Perhutani.
“Pengelolaan hutan jawa yang sudah baik, kami harap tetap dipertahankan agar tetap sustainable. Karena itu, kami mengambil keputusan untuk memperjuangkan hutan Jawa dengan mengajukan gugatan di PTUN guna membatalkan SK 287/KHDPK,” kata Mochamad Ikhsan, perwakilan pihak penggugat dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/8).
Gugatan tersebut sudah teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 10 Agustus 2022.
Menurut Ikhsan, selama ini Perhutani berhasil melakukan reboisasi hutan di Pulau Jawa. Bahkan, KLHK sendiri mengakui capaian tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan pengambilalihan hutan Jawa lewat skema KHDP berpotensi memicu konflik sosial dan konflik lahan di berbagai daerah.
Sementara itu, Denny Indrayana selaku kuasa hukum Aliansi mengatakan upaya administratif berupa keberatan kepada Menteri LHK dan kepada Presiden Joko Widodo sudah dilayangkan. Namun, dua upaya itu tak direspons, sehingga gugatan diajukan ke pengadilan.
Menurut Denny, SK 287/KHDPK mengandung berbagai kecacatan serta ketidakabsahan. Mulai dari cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi.
“Ketiga syarat tersebut sangat mendasar dan karena itu dapat digunakan sebagai alasan pembatalan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara,” kata Denny.
Denny menjelaskan SK 287/KHDPK sebagai sebuah kebijakan jelas-jelas menabrak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja.
Salah satu amar putusan MK mengharuskan pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Di samping itu, SK 287/KHDPK juga cacat prosedur karena diterbitkan tanpa sosialisasi, baik sebelum diterbitkan maupun pasca diterbitkan.
Padahal, kata dia, MK telah menegaskan bahwa sosialisasi harus dilakukan secara baik dan layak, atau dikenal sebagai meaningful participation.
“Dari sisi prosedur juga bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ucap dia.
Jika dilihat dari sisi substansi, kata Denny, SK tersebut juga bermasalah. Sebab, diterbitkan atas wilayah kerja BUMN Kehutanan sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021.
“SK 287/KHDPK juga bertentangan dengan berbagai Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan,” ucapnya.
Aliansi Selamatkan Hutan Jawa terdiri atas Serikat Karyawan Perum Perhutani, Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani, Serikat Rimbawan Perhutani, Serikat Rimbawan Pembaharuan Perhutani, Perkumpulan Bina Karya Patria, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sinar Harapan Kaledong, serta beberapa perwakilan pegawai Perhutani dan elemen masyarakat.