Semua Cerita Sudah Pernah Ditulis | Cerpen: Erwin Setia
Sudah setahun Da Roka menatap layar laptopnya dan ia tetap tidak bisa menghasilkan satu cerita utuh. Ketika ia mulai menulis cerita pendek tentang segerombolan orang gila yang memenuhi kota, ia begitu antusias. Ia berhasil menulis empat halaman dalam waktu satu jam. Ceritanya hampir berakhir. Tapi karena akhir ceritanya sudah ia bayangkan, ia memilih untuk menunda penyelesaiannya. Ia pun menyeduh kopi, duduk santai di teras sambil melihat tetangga-tetangga yang melintas di depan pagar, dan tersenyum memikirkan lanjutan cerita yang sudah ada di dalam kepalanya. Da Roka suka sekali membaca dan tidak akan melewatkan waktu setengah hari tanpa membaca. Sebelum ia kembali duduk menghadap layar laptop untuk menyelesaikan cerita tentang segerombolan orang gila yang memenuhi kota, ia mengambil sebuah buku dari rak. Ia iseng membaca sepotong cerita dalam buku itu. Mulanya hanya iseng, tapi ia membacanya sampai tandas. Ketika cerita berakhir, ia menyesal telah membaca buku itu. Ia terkejut dan kesal terhadap dirinya sendiri karena telah melakukan hal bodoh. Baru kali itu ia menganggap membaca sebagai tindakan bodoh.
“Sial! Cerita yang kubaca ini mirip sekali dengan cerita yang sedang kutulis!” gumam Da Roka dengan dahi mengerut.
Itulah awal mula Da Roka tidak pernah bisa menyelesaikan cerita-cerita yang sedang ditulisnya. Kebanyakan cerita mangkrak sebagai kepingan-kepingan ganjil. Kadang cerita itu hanya perlu satu paragraf lagi untuk selesai, kadang tiga perempat jadi, dua pertiga jadi, setengah jadi, sepertiga jadi, seperempat jadi, kadang cerita baru menyentuh kalimat pertama Da Roka memutuskan untuk tidak melanjutkannya.
Saat ia baca ulang atau tiba-tiba teringat sesuatu di tengah jalan, semua cerita yang sedang ditulisnya seperti sudah pernah ia baca atau dengar sebelumnya. Itu sesuatu yang sangat ia hindari. Ia tidak mau menulis sesuatu yang sudah pernah orang tulis. Baginya plagiasi adalah dosa besar pertama seorang penulis, sedangkan menulis apa yang sudah pernah orang tulis (walaupun bukan plagiasi) dengan cara yang sudah pernah orang lakukan adalah dosa besar kedua. Menyiasati hal itu bukan perkara gampang. Dan kalau ia tidak bisa mengatasi masalah itu, menulis bukan lagi hal menyenangkan baginya.
Keistimewaan menulis adalah menghasilkan kebaruan—baik dalam bentuk isi, gaya, maupun gabungan keduanya. Dan kalau tulisanmu tidak menghasilkan kebaruan pada sisi manapun, sebaiknya kau tidak usah menulis. Kalau tulisanmu hanya mengulang apa yang sudah ada, sebaiknya kau bekerja di pabrik. Itulah yang selalu Da Roka wanti-wanti kepada dirinya sendiri. Tak peduli berapa banyak orang-orang yang mengaku penulis di sekelilingnya yang menulis seperti seorang buruh pabrik mencetak barang kodian, ia tak mau mengikuti langkah mereka. Tak peduli berapa banyak orang-orang yang mengaku penulis itu terus beralasan ‘lebih baik menulis cerita kodian daripada tidak menulis’, ia tetap tidak akan meniru mereka. Ia punya prinsipnya sendiri dan ia yakin prinsip itulah yang telah menjadikan Marcel Proust, Jorge Luis Borges, James Joyce, Ernest Hemingway, T. S. Eliot, Umberto Eco, Haruki Murakami, dan sekian penulis andal lain menjadi diri mereka sendiri dan menenggelamkan ribuan penulis kodian ke dalam septictank kefanaan.
Memang Da Roka tidak mengharapkan dirinya akan setara dengan Proust dan para dewa menulis lainnya. Tapi paling tidak ia ingin menyingkir dari gerombolan produsen barang murahan dan mudah dicari. Kalau ia hanya menulis apa-apa yang sudah orang tulis, mungkin ia masih akan disebut sebagai ‘penulis’, tapi sebutan itu akan menjadi hal tak bermakna baginya. Bukan sebutan ‘penulis’ yang diidam-idamkannya, tapi bagaimana menulis bisa ia lakukan dengan sebenar-benarnya. Dan itu adalah hal yang sangat sukar. Meski begitu, ia terus mencoba. Jika Thomas Alva Edison bisa menemukan bola lampu dalam percobaan kesekian, mengapa ia tidak bisa menulis sesuatu yang baru dalam percobaan kesekian? Ia tahu apa yang harus ia lakukan adalah berlatih sebaik-baiknya dan menghindari pengulangan kesalahan. Ia tidak mau jatuh ke dalam lubang, apalagi lebih dari sekali.
Di sanalah, di depan layar laptopnya yang hampir sepanjang hari menyala Da Roka terus mencoba mengeluarkan potensi terbaik dari dalam dirinya. Ia mengingat-ingat cerita yang pernah ia dengar dari kakeknya, buku-buku masa kecil yang pernah dibacanya, juga berita-berita terbaru yang ia baca di laman internet. Kemudian ia menunjuk satu hal yang paling menarik baginya. Ia akan menggenggam hal itu sebagai gagasan dasar. Lalu ia pun merangkainya dengan riset sederhana dan imajinasi. Itu caranya dalam menulis cerita. Tapi itu saja tak cukup. Sudah berkali-kali ia menerapkan cara itu. Ia memang berhasil menulis beberapa halaman, bahkan tak jarang sampai titimangsa, tapi tiap kali ia baca ulang untuk melakukan revisi atau suntingan, selalu saja ada hal mengganjal dalam dadanya. Ia merasa cerita semacam itu sudah tersebar di mana-mana. Ia merasa tak ada sesuatu yang segar di dalamnya. Dan itu sangat menjengkelkannya. Ia merasa telah berusaha semaksimal mungkin, tapi ‘kebaruan’ dan ‘invensi’ tetap tak bisa ia munculkan. Ia pernah menulis cerita-cerita tentang korban pembunuhan massal, perempuan yang dilecehkan, kota masa depan, keterasingan individu, pejabat yang korup, pemberontakan rakyat kecil, sepasang kekasih yang lama tak bertemu, kelaparan penghuni kolong jembatan, konflik agama, dan berbagai topik lainnya. Tiap kali ia berusaha menyuntikkan kebaruan pada tema-tema itu, ia selalu saja gagal. Untuk menghindari klise, ia juga sering berusaha menulis cerita-cerita dengan gaya yang tak lazim. Ia pernah menulis cerita dalam bentuk rumus matematika, bagan, kamus, karya ilmiah, ensiklopedia, kode pemrograman, statistik, iklan, cerita tanpa dialog, cerita yang terdiri hanya dialog, cerita tanpa huruf A, cerita dengan semua kalimat diawali huruf X, cerita dengan semua kalimat diakhiri huruf Q, cerita dengan 99 tokoh dan 99 latar tempat, cerita yang semua kalimatnya berisi metafora, cerita tanpa tanda baca, cerita yang sudut pandangnya berubah-ubah tiap satu baris, dan sejenisnya—akan sangat panjang jika semua gaya yang pernah Da Roka coba ditulis di sini. Tentu saja ia banyak belajar soal gaya-gaya cerita tak lazim dari buku Exercises in Style karya Raymond Queneau. Tapi toh hal itu tetap tak membuatnya puas. Alih-alih menghasilkan kebaruan, cerita-cerita yang ditulisnya dengan gaya tak lazim malah sering membuatnya kesal karena terlihat begitu norak seperti seorang amatir yang berusaha tampil layaknya penari profesional dengan gerakan-gerakan tak keruan.
Kadang-kadang Da Roka ingin menyerah dan memutuskan untuk menjadi karyawan pabrik atau pegawai kantoran sebagaimana kebanyakan temannya—banyak di antara teman-temannya itu dulunya adalah penulis atau dianggap penulis. Namun Da Roka bukan orang yang gampang menyerah. Ia kembali teringat Thomas Alva Edison. Kalau dulu Edison menyerah, tentu saja ia tak bakal menemukan bola lampu. Begitu pikir Da Roka.
Da Roka selalu menulis dan menulis. Ia berusaha mencari-cari cara untuk menyisipkan kebaruan. Sambil mencoba menulis, tentu saja ia terus membaca. Ia sering menemukan tulisan-tulisan penulis dalam negeri yang dipuji khalayak, padahal tulisan itu tak lebih dari tiruan usang atas tulisan-tulisan penulis luar negeri—yang kebanyakan orang belum tahu. Ia juga menghindari hal semacam itu.
Selama setahun penuh ia berkutat dengan usahanya mencari kebaruan. Di sela-sela itu, teman-temannya yang mengenal Da Roka sebagai penulis bertanya kepada Da Roka, “Kok tulisan-tulisanmu belakangan ini tidak muncul?” Biasanya Da Roka tak menanggapi pertanyaan itu. Ia bukan tidak menulis sama sekali. Ia hanya tidak pernah menulis satu cerita utuh sebab ia selalu menganggap cerita-ceritanya tidak mengandung kebaruan atau gagasan segar.
Menjelang pergantian tahun Da Roka mengecek arsip tulisan-tulisan yang tidak selesai itu. Ia telah berhasil menulis 3 draf novel (masing-masing 200, 64, dan 264 halaman) dan 44 draf cerpen (rata-rata 4 halaman). Itu bukan pencapaian yang buruk-buruk amat sebetulnya dan Da Roka menyadari itu. Beberapa cerpen yang tak jadi itu ia kirimkan ke media dan sebagiannya lolos. Ia tidak heran soal itu. Banyak redaktur cerpen yang tak peduli apakah suatu cerita itu utuh atau rumpang—itulah sebabnya banyak kutipan novel yang dipajang di kolom cerpen. Tapi Da Roka tak peduli soal itu. Ia hanya sedang membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah suatu saat ia bisa menulis sesuatu yang benar-benar tulisan ataukah dirinya akan tetap menulis sesuatu yang tak selesai dan sudah banyak ditulis orang? Ia tidak tahu jawabannya. Ia hanya akan terus mencoba seperti Edison dan orang-orang tekun lain mencoba menemukan sesuatu, sampai akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari dan inginkan. Sebelum tahun berganti, Da Roka menulis satu cerita. Tentu saja cerita itu masih dianggapnya tidak utuh atau sudah pernah ditulis orang. Tapi kali ini ia tak peduli-peduli amat. Ketika memberi judul pada ceritanya pun ia tak mau memikirkan judul cerita harus begini atau begitu. Ngomong-ngomong, cerita yang baru saja ditulis Da Roka berjudul “Semua Cerita Sudah Pernah Ditulis”. (*)
Tambun Selatan-Bekasi, 6 Desember 2021
Erwin Setia lahir tahun 1998. Penulis lepas. Menulis cerpen dan esai. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Pikiran Rakyat, dan Detik.com. Bisa dihubungi di Instagram @erwinsetia14 atau melalui surel: erwinsetia2018@gmail.com.