Sejarah akan Mencatat Kartu Prakerja Jokowi dengan Tinta Merah
Berita Baru, Jakarta — Sejak dilaunching beberapa bulan lalu, Program Kartu Prajerja menjadi sorotan publik. Sebab program tersebut dinilai tidak efektif alih-alih bertujuan mengurangi pengangguran.
Salah satu orang yang paling gencar dan memperhatikan betul bagaimana program tersebut dijalankan oleh pemerintah adalah Agustinus Edy Kristianto. Melalui postingan terbarunya di Facebook, Selasa (9/6), Edy menilai, program tersebut buruk.
Berikut tulisan lengkap mantan jurnalis senior Agustinus Edy Kristianto:
Sejarah bakal mencatat Kartu Prakerja Presiden Jokowi dengan tinta merah. Betul-betul buruk dari hulu ke hilir.
Sebagai sebuah gagasan, ia tidak segar. Pelatihan kerja—termasuk bagi penganggur usia muda—bukan hal baru yang ia cetuskan. Apa yang ada dalam PP 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional jauh lebih jelas rumusan dan tujuannya.
Di situ dicantumkan tentang keterampilan/keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan, standar kompetensi kerja selaras dengan eksistensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi, membedakan dua jenis pelatihan yakni di tempat kerja (magang) dan di luar tempat kerja (BLK) yang menunjukkan alur link and match dengan dunia usaha, melibatkan tanggung jawab segitiga pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; yang semua itu dilakukan secara berkeadilan dan tidak diskriminatif.
Kartu Prakerja Presiden Jokowi adalah jualan kampanye semata. Menjanjikan pesertanya bisa masuk Pertamina tanpa dijelaskan untuk kualifikasi sebagai apa, membutuhkan keterampilan yang seperti apa, kapan, dan bagaimananya.
Kartu Prakerja Presiden Jokowi bukan sebuah gagasan yang sistematis dan terstruktur, jelas indikator pelaksanaannya, dan tersedia anggarannya. Menkeu Sri Mulyani mengaku sempat sakit perut ketika gagasan ini diluncurkan karena belum ada gambaran alokasi anggarannya dari mana. Yang penting kampanye dulu, itu kata Presiden Jokowi sendiri. Mau dibawa ke mana negara ini jika cara berpikirnya sedemikian asal-asalannya?
Niat memanfaatkan teknologi sebagai upaya revolusi 4.0 juga mentah sementah-mentahnya karena hanya menghasilkan desain komersial jual beli video menggunakan alokasi APBN Rp5,6 triliun di platform digital yang mayoritas swasta.
Sebuah pemikiran sangat sempit yang sama sekali tidak menjawab sisi supply yakni penyerapan di dunia kerja sesungguhnya. Mau ditempatkan di mana sebagai apa, sesuai kebutuhan industri yang seperti apa, para peserta—yang 80% lebihnya adalah penganggur menurut survei Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang dilansir Senin 8 Juni 2020—akan disalurkan sama sekali tidak jelas.
Tidak ada standar kompetensi yang jelas, tidak ada tujuan pascapelatihan yang direncanakan dengan baik, dilakukan pada saat yang tidak tepat (pandemi), diselenggarakan dengan desain komersial berbiaya mahal yang ditanggung APBN, dan terang tidak menjawab masalah terkini pasar persaingan kerja yang semakin ketat dengan setidaknya 1,95 juta orang menganggur sepanjang Januari-Mei 2020 (Kompas, Selasa 9 Juni 2020) dan penyerapan oleh dunia usaha rendah karena perusahaan-perusahaan tertekan dampak pandemi.
Banyak pengusaha/asosiasi mengingatkan teknologi informasi memang tidak bisa dihindari dalam konteks kemajuan zaman, tapi untuk situasi krisis seperti sekarang, lebih bijak dan tepat memfokuskan diri pada program padat karya yang menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memberikan penghasilan langsung sehingga akan mendorong daya beli masyarakat.
Sementara Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja saat ini baru pada tahap berdiskusi dengan pelaku usaha untuk memetakan sektor dan jenis pekerjaan apa yang akan dibutuhkan begitu ekonomi pulih. Sebuah langkah yang ketinggalan kereta dan sekadar pembenaran semata karena justru membuktikan jenis pelatihan Kartu Prakerja Presiden Jokowi yang terdiri dari 2000-an video pelatihan itu materinya disusun mungkin berdasarkan mimpi dan kira-kira semata, tanpa riset yang terukur dan jelas.
Sejarah juga akan mencatat Kartu Prakerja Presiden Jokowi mengabaikan prinsip negara hukum yang seharusnya dijunjung tinggi seperti diamanatkan Konstitusi. Seorang menteri yang merangkap jabatan komisaris perusahaan swasta platform digital Kartu Prakerja dibiarkan tanpa sanksi sesuai UU Kementerian Negara. Konflik kepentingan seperti dalam kasus staf khusus yang juga direksi perusahaan pengendali platform digital cuma dijawab dengan mundur semata. Ini pembelajaran hukum yang sangat buruk oleh pemerintahan sekarang.
Kartu Prakerja juga memperlihatkan karakter dan model kepemimpinan seorang Presiden Jokowi yang faktanya abai terhadap suara banyak orang yang menginginkan desain program selain cara komersial jual beli video. Karakter yang menggambarkan kecenderungan menganggap suara rakyat sebagai noise (keberisikan) semata yang tidak ditanggapi secara serius dan cerdas. Karakter yang tidak menganggap kritik mendasar Kartu Prakerja adalah suatu isu (permasalahan) penting.
Hasilnya adalah kekecewaan paripurna. Harapan masyarakat dikerek setinggi-tingginya lalu dijatuhkan serendah-rendahnya dalam penantian program yang tidak jelas ini tanpa keputusan strategis dari seorang pemimpin.
Semua kekacauan Kartu Prakerja itu baru secuil kecil dari masalah pemulihan ekonomi nasional. Bagaimana kita bisa yakin orang yang sama akan beres mengurusi hal besarnya lagi yakni mengelola Rp677,2 triliun dana penanganan COVID-19?
Salam 5,6 Triliun.