Satya Bumi Khawatirkan Masa Depan Lingkungan di Tangan Kabinet Baru Prabowo Subianto
Berita Baru, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi mengucapkan sumpah jabatan pada Minggu, 20 Oktober 2024. Beberapa jam setelah pelantikan, Prabowo langsung mengumumkan kabinet barunya yang dijuluki Kabinet Merah Putih, termasuk memecah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi dua entitas: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.
Satya Bumi, sebuah lembaga yang fokus pada advokasi lingkungan, merespons formasi kabinet ini dengan pesimisme. Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut bahwa penunjukan Hanif Faisol Murofiq sebagai Menteri Lingkungan Hidup menimbulkan kekhawatiran besar akan masa depan kebijakan lingkungan di Indonesia. “Penunjukan ini tidak memberikan sinyal perubahan progresif yang signifikan,” kata Andi dalam sebuah siaran pers yang diterbitkan oleh Satya Bumi pada Selasa (22/10/1014). Ia menilai bahwa kebijakan ekonomi pemerintah yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam, khususnya sektor tambang dan food estate, menjadi alasan utama pesimisme tersebut.
Dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo menegaskan komitmen Indonesia untuk melanjutkan hilirisasi nikel dan memperluas proyek food estate. Kedua kebijakan ini, menurut Andi, “mengorbankan jutaan hektar hutan dan memperburuk pelepasan emisi karbon ke atmosfer.”
Selain Hanif Faisol, Satya Bumi juga menyoroti penunjukan Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan. Sejak 2023, Indonesia mencatat peningkatan deforestasi sebesar 58,19%, dengan total 1,4 juta hektar hutan alam hilang dalam satu tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. “Kebijakan-kebijakan ini berisiko mempercepat kerusakan ekosistem, dan angka deforestasi kemungkinan besar akan terus meningkat,” jelas Andi.
Satya Bumi menyoroti bahwa kebijakan terkait hilirisasi nikel yang dikawal Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjadi ancaman serius bagi lingkungan. “Hilirisasi nikel telah menyebabkan deforestasi 78.948 hektar sejak 2014, terutama di kawasan keanekaragaman hayati tinggi seperti Sulawesi,” tambah Andi. Operasi nikel di Indonesia juga telah memicu pencemaran air akibat limbah tambang, dan menimbulkan degradasi lingkungan yang parah.
Meskipun kabinet ini diharapkan mendorong inisiatif hijau, Andi menilai bahwa “kebijakan ekonomi pragmatis yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam akan tetap mendominasi, dan isu lingkungan hanya akan dianggap sebagai masalah teknis yang memerlukan mitigasi minimal.”
Dengan tantangan deforestasi, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati, masa depan lingkungan hidup di bawah Kabinet Merah Putih dipandang suram oleh para aktivis lingkungan. Satya Bumi menyerukan agar kebijakan ekonomi yang agresif ini dievaluasi kembali untuk mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan memenuhi target Net Zero Emission yang telah dijanjikan Indonesia dalam Perjanjian Paris.