Saat Aku Tergelepar | Puisi-Puisi Muhammad Yasir
Puisi dan Selalu Puisi
12 jam aku berpikir
Hidup adalah kecelakaan
Dan selalu ada luka, dan luka
Selembar puisi tua, di Surabaya
Berkisah, “Setengah diriku telah dibakar
Matahari pukul 12.00 dan
Setengah lagi terpaut
Pada jasad Istriku, ketika
Air kanal menghanyutkannya selamanya.”
Aku bertanya:
Lalu di dinding mana
Kau tulis nama istri dan kesedihanmu?
“Aku tidak menuliskannya.
Biarlah itu lenyap bersama
Alkohol dan lengking kereta di diriku!”
12 jam berikutnya
Aku bertahan di sini
Agar tetap hidup
Tetapi setengah cintaku
Tertinggal jauh di sana
Sebelum kegagalan jadi lagu petualangan
Setengah cintaku
Tumbuh dalam tubuh
Istri dan anak-anakku
Di atas kuda besiku
Aku diam melaju
Menerabas jalanan padat
Aku memiliki kata-kata
Yang luntur untuk penerimaan
Sekarang kubiarkan diriku menerjang
24 jam sehari
24 macam kesedihan hati
Menjadi puisi
Dan selalu puisi!
Aku Merasakanmu
Aku merasakanmu dan aku takkan menangis.
Aku merasakanmu ketika di atas kuda besi ini aku membaca puisi tentangmu dan desah harapan yang mulai hilang.
Apa kau juga merasakanku, aku tahu kau merasakanku dalam penantianmu.
Dan aku tahu kemiskinan telah menyakiti perasaanmu, tetapi tunggu.
Aku akan kembali dan aku tahu jalan kembali kerna aku mengenali jalan ini.
Dan aku tahu matahari akan tenggelam, hari-hari akan berganti, dan burung akan bermigrasi.
Aku merasakanmu kerna aku bukan idiot.
Aku penyair dan ketika di atas kuda besi ini aku membaca puisi tentangmu dan desah harapan yang mulai hilang:
Pabrik minyak goreng dan pembangkit listrik bergemuruh dalam telingaku,
Seperti cintaku padamu yang bergemuruh di dada dan melahirkan sedikit bahagia untuk kita.
Aku merasakanmu dan aku takkan menangis.
Aku takkan menangis untuk keturunan buruh dari tanah ini.
Aku takkan menangis untuk sungai yang meluap di awal tahun.
Aku takkan menangis untuk hari-hari yang bergemuruh seperti pabrik minyak goreng dan pembangkit listrik di tanah ini.
Apa kau juga merasakanku, aku tahu kau merasakanku dan kemiskinan yang membayang-bayangi hidup.
Dan aku tahu kemiskinan datang dari negara yang diisi kaum tirani.
Dan aku tahu bulan akan muncul malam ini ketika aku terjaga dari kantuk mata.
Dan aku tahu kau akan tetap menungguku dan memiliki waktu untuk kita.
Aku merasakanmu kerna jarak terlalu remeh untuk menyakiti kita.
Kita akan pergi ke tepi danau dan menunggu matahari tenggelam,
dan bulan akan muncul di dadamu untuk menutupi lukamu.
Alegori
Ada kata tanpa suara:
Naungan dan ruang kematian,
Puisi, alkohol, dan bulan di jendela.
Tanganmu merengkuh dadaku
Darah hitam pekat menggumpal di sana
Menjadi kuda besi birahi yang berlari jauh.
Ada kata:
Koran dan berita korupsi dewan perwakilan,
Hukum, Undang-Undang, dan neo-kolonialisme.
Tanpa suara:
Tanganku mengambil bulan di jendela
Dan kuletakan di dadamu yang kurus untuk makam kita.
Saat Aku Tergelepar
Hari ini langit begitu mendung, nampaknya
hembusan angin sepoi membawa bau busuk – diriku.
“Jam berapa sekarang?” Aku bertanya pada Istriku
tak ada jawaban kerna tangis anak-anak kami bersahutan.
Tapi aku mendengar kicau burung-burung dari rumah kami yang gelap
itu bagiku semacam requiem bagi anak-anak emas dari Bumi Kalimantan.
Para penambang liar jauh di bibir hutan merayakan mendung ini
kerna hujan memberi mereka aliran sungai kecil membelah pasir besi.
Tapi para nelayan di tengah dan teluk danau memaki
kerna hujan menjadi ancaman: badai menuju kematian!
Aku tak sesakit tanah ini, kehidupan orang-orang di sini
telingaku jelas mendengar kicau burung-burung dari rumah kami yang gelap.
Namun akal sehat dan imajinasiku yang bekerja seperti cacing hitam
menggeliat dan mendakwa perasaanku hingga menjadi getir yang hebat.
“Jam berapa sekarang?” Aku bertanya pada Istriku
hujan lebih dulu turun di musim panas dan hari menjadi hening dan basah.
Muhammad Yasir, penyair.