Review ‘Never Have I Ever’ Ungkap Pentingnya Berdamai dengan Masa Lalu
Berita Baru, Film – Ketika pertama kali tayang di Netflix, saya punya ekspektasi khusus untuk Never Have I Ever. Kabar yang saya tahu, serial Netflix ini memiliki karakter tokoh utama seorang remaja India. Sebagai penggemar drama India saya jadi penasaran, karena kapan lagi ada drama komedi Amerika yang pemain utamanya orang India? Bakal seperti apa dramanya? Pasti isunya isu-isu India, dong?
Ternyata, tidak juga. Never Have I Ever punya tawaran yang lebih baik dari pertunjukan drama-budaya India. Berikut review mengenai drama serial Never Have I Ever.
Sekilas tentang Cerita Never Have I Ever
Never Have I Ever mengisahkan tentang kehidupan Devi Vishwakumar sebagai ABG di Sherman Oaks, Los Angeles. Ketika kedua temannya Eleanor dan Fabiola sudah berpasangan, Devi pun tergoda menjajaki pengalaman merah jambu. Dia mulai serius mengejar Paxton Hall-Yoshida, bintang sekolah yang dia puja.
Dunia Devi berputar seputar Paxton semata. Ia ingin berpacaran dengan Paxton, melakukan hubungan intim, berpesta, dan menikmati masa remajanya bersama cowok itu. Sementara di kelas, Devi seorang pelajar gemilang. Nilai-nilanya unggul, ia pandai berdebat, lihai memainkan harpa, dan pribadi yang percaya diri. Ia tak tertandingi kecuali oleh Ben Gross, yang disebut sebagai nemesis alias musuh bebuyutan Devi. Mereka bersaing di semua mata pelajaran maupun kegiatan sekolah dan saling membenci.
Di rumah, Devi tinggal bersama ibunya Nalini Vishwakumar, seorang dokter ahli kulit atau dermatolog, serta sepupu bernama Kamala yang menumpang tinggal di sana sembari kuliah. Nalini secara ketat menjaga dan mengontrol Devi apalagi setelah Mohan, suaminya, meninggal dunia.
Tapi, apa jadinya jika dua orang keras kepala tinggal dalam satu rumah? Ya, tentu saja, tak pernah ada ketenangan dalam rumah itu. Devi memiliki jiwa remaja yang meledak-ledak, membuatnya sering beradu mulut dengan Nalini yang sama kerasnya. Pertengkaran itu menemui puncaknya ketika suatu siang, Nalini mengatakan akan memboyong Devi kembali ke India.
Drama Serial Remaja yang Santai, tapi Serius
Kalau pernah menonton Glee, mungkin kalian bakal familiar dengan keragaman karakter dan konflik-konflik Never Have I Ever yang juga seputar pertemanan dan keluarga. Isu identitas seksual dan disabilitas juga muncul di sini, sebagaimana Glee menyuguhkan dunia milik Kurt Hummel, Blaine Anderson, dan Becky Jackson. Masalah keluarga yang jadi sorotan di sini tentu saja milik keluarga Vishwakumar, tokoh utama kita, yang rumahnya ramai dengan omelan Nalini dan sambatan Devi.
Kupikir Never Have I Ever ini kisah remaja biasa, dengan hingar-bingar rock and roll-nya. Tapi justru alurnya membawa pada satu inti cerita yang deep dan layak buat jadi bahan refleksi.
Nampak swag, asyik, pintar, dan berkecukupan, tapi Devi punya satu problem serius. Ia tak pernah terbuka berbicara mengenai kematian ayahnya. Kelak di beberapa episode ke depan, kita akan mendapati gambaran utuh mengenai bagaimana Mohan meninggal di hari konser Devi. Hal itu menyisakan kesedihan yang mengakibatkan Devi lumpuh selama tiga bulan.
Ketika akhirnya dijadwalkan rutin berkonsultasi dengan terapis pun, Devi hanya bicara soal kehidupan sekolahnya, kawan-kawannya, atau gairah asmaranya. Dia begitu terbuka dan bahagia berbicara soal itu, namun tidak sekalipun berbagi kesedihan mengenai kepergian sang ayah.
Hingga suatu hari sang terapis berkata, bahwa sesi terapi itu diadakan untuk membantu Devi mengatasi trauma atau kesedihan yang ia alami setelah kematian Mohan. Mengapa Devi tak pernah membahas ayahnya? Bagi Devi, ayahnya sudah mati, dan that’s it. Membicarakannya tak mengubah apapun. Ia tetap harus menjalani hidupnya.
Di hari puncak pertengkarannya dengan Nalini-lah, Devi baru sadar selama ini dia tak pernah melihat ke dalam dirinya sendiri sehingga tak sadar bahwa dia sedang menanggung kesedihan yang menggunung akibat kepergian Mohan.
Ajakan untuk Refleksi
Satu poin penting dari apa yang kutonton, drama serial Never Have I Ever memaparkan tentang pentingnya jujur pada diri sendiri dan menerima bahwa dirimu sedang bersedih.
Ini perlu ditekankan karena, orang mungkin bertendensi untuk kabur dari kesedihan, berakting seolah mereka baik-baik saja ketika sebenarnya mereka sedang terpuruk. Karena itu pula yang orang lain katakan pada kita-kita yang sedang merana, “Kamu harus kuat! Nggak boleh lemah!”
Padahal jika kesedihan ini tidak terfasilitasi, tidak ada safe place untuk mengungkapkannya, maka bukan tidak mungkin ia menumpuk serupa balon yang membesar, terus membesar hingga meledak dengan sendirinya. Artinya, kesedihan yang tidak diungkapkan berpotensi menjadi racun bagi diri sendiri.
Begitulah yang terjadi pada Devi dalam Never Have I Ever. Dia menolak untuk berbicara mengenai ayahnya bukan (hanya) karena dia kuat, tapi karena dia tak sadar sedang berada dalam kungkungan depresi yang hebat. Saya jelas bukan psikolog, tapi saya membaca dan mendengar dari kawan-kawan yang akrab dengan dunia psikologi, baik sebagai terapis maupun pasien, bahwa ada yang disebut sebagai high-functioning depression.
Kalian bisa mengonfirmasinya dengan ahli, namun setauku, istilah itu berarti bahwa sebagai person ia masih bisa “berfungsi” dengan baik, masih bisa bekerja, berkomunikasi, dan melakukan aktivitas harian lainnya. Namun, di dalam jiwa sebenarnya ia sedang merana. Dan menurutku, itu masalah serius. Sewaktu-waktu, orang dengan high-functioning depression bisa saja mengalami mental breakdown.
Itu yang kulihat terjadi pada Devi. Baginya, Mohan adalah ayah yang penuh kasih sayang. Mohan-lah yang menghadiahinya sebuah harpa, alat musik yang kini Devi tekuni. Kepergian Mohan jadi pukulan telak baginya. Ia sempat trauma dan tidak memegang harpa lagi. Sementara kepada sang Ibu, Devi bukan tak cinta, namun ia merasa ibunya tidak menginginkannya.
Jelang akhir drama, kita mulai tahu bahwa sebenarnya Nalini pun mengalami masalah serupa. Ia selalu tegar dan tegas, namun deep down in her heart, Nalini membutuhkan dukungan. Itulah kenapa ia mengajak Devi pulang ke India. Dalam kesedihan mendalam akibat kehilangan Mohan, ia ingin kembali bersama dengan keluarganya dan bukan tinggal di Los Angeles yang asing. Selama ini, ia mengontrol Devi secara ketat adalah karena dipenuhi ketakutan. Ia takut karena ditinggal suaminya, ia takut jika salah mendidik Devi, ia takut jika ini, jika itu, dan sebagainya.
Adegan penutup Never Have I Ever selalu bisa bikin penonton menangis: Nalini memeluk Devi ketika mereka akan menaburkan abu Mohan di pantai. Devi meminta maaf atas perlakuan kasarnya ke sang Nalini, dan Nalini menjawabnya, “You are my whole family.” Aduh, bagaimana bisa aku tidak mbrebes mili?
Terus, India–nya Mana?
Lalu, apa yang “India” dari drama Never Have I Ever? Hm, mungkin cukup tipikal. Satu episode yang paling “India” dari drama ini adalah perayaan Ganesh Puja, hari raya Hindu untuk merayakan Dewa Ganesha yang dihadiri umat Hindu di Sherman Oaks.
Memang tidak bisa mewakili seluruhnya, namun barangkali India dalam kacamata Barat dapat dilihat dari adegan Devi dalam balutan baju sarinya, mengantri untuk membeli minuman sebelum menghadiri Ganesh Puja, lalu seorang anak kecil berkulit putih meminta untuk berfoto bersama karena bagi orang tua si anak, Devi “sangat kultural.” Di saat yang sama, barista kedai kopi itu mengira Devi adalah orang Islam. Entah karena warna kulit, wajah, atau pakaian yang ia kenakan.
Bagi Devi, baju sari yang ia pakai terasa sangat gatal di kulit. Ketika ia mengeluh pada Nalini, ibunya itu menjawab, “Gatalnya kain sari adalah ritus peralihan bagi wanita India,” dan Devi tak bisa apa-apa meski ia mengungkit nyamannya mengenakan jeans dan kaos biasa.
Secara keseluruhan, Never Have I Ever berhasil mengungguli ekspektasi yang saya punya sebelumnya. Cerita yang ditulis oleh Mindy Kaling dan Lang Fisher berdasarkan pengalaman masa kecil Mindy ini sangat menggugah dan layak untuk menemanimu berefleksi: sudahkah kamu jujur pada dirimu sendiri hari ini? (Inasshabihah)