Rektor Paramadina: Hilirisasi Bagus, Tetapi Terlambat
Berita Baru, Jakarta – Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J Rachbini menilai bahwa program hilirisasi yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat bagus dan diperlukan.
Namun demikian, Prof. Didik langkah pemerintah terlambat, karena seharusnya program itu dilaksanakan pada awal periode pertama pemerintahan Jokowi, pada Tahun 2015-2016.
“Pada saat itu pertumbuhan industri nasional berkisar 4-5% saja,” kata Prof. Didik dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Banggar DPR RI, Kamis (9/2).
Oleh sebab itu, ia mendorong agar Badan Anggaran DPR RI hendaknya juga memberi masukan kepada pemerintah soal pentingnya inovasi Industri Indonesia agar bisa meningkat.
“Terutama teknologi agar industri dan investasi berkualitas dan bernilai tambah tinggi,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Prof Didik juga menekankan bahwa keputusan politik untuk ekonomi sangat penting. Karena berpengaruh besar terhadap kelangsungan ekonomi nasional.
“Bisa dikatakan bahwa 90% dari ekonomi adalah politik, dan 90% dari politik adalah ekonomi,” kata Prof. Didik.
Menurutnya, kebijakan ekonomi penting untuk mengantisipasi dampak makro dari krisis global, dan yang paling utama adalah mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan berupa pengangguran yang meningkat pesat.
“Pengangguran yang berlebih adalah yang luar biasa dan harus diperhatikan sebagai hal penting luar biasa,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, ia pun berpesan hendaknya Banggar DPR sensitif anggaran. Karena keputusan Banggar berpengaruh terhadap kesempatan kerja.
Dengan keputusan yang sensitif anggaran, harapannya kebijakan Banggar hasilnya benar-benar berdampak terhadap penyelesaian pengangguran.
Ia mencontohkan, yang tidak sensitif terhadap kesempatan kerja salah satunya adalah isu TKA China yang masuk ke Indonesia, dan menjadi kerisauan rakyat banyak.
Padahal, katanya, banyak sekali warga negara Indonesia yang masih menganggur. Setiap anggaran yang diputuskan selayaknya diukur hasilnya terhadap pengurangan pengangguran.
“Jangan dibiarkan anggaran lepas tanpa hasil untuk memperluas kesempatan kerja,” tegas Prof. Didik.
Selain itu, ia juga menyebut Banggar DPR perlu memperhatikan masalah pentingnya restrukturisasi ekonomi ke depan. Pada era 1988 industri Indonesia bisa tumbuh 2 digit, 10-12%, namun sekarang hanya tumbuh 4%.
“Persoalan kita adalah bagaimana bisa mengangkat pertumbuhan menjadi 6-7% dengan sektor utamanya, yakni sektor industri hanya tumbuh 4 persen. Tidak mungkin janji kampanye ekonomi tumbuh 7 persen dengan sektor industri yang lemah,” tegas Prof. Didik.