Reduksi Praktik Joki | Opini: Evita Muthi’atul Maula, M.Si
Penulis : Evita Muthi’atul Maula, M.Si
Mahasiswa Program doktor Ilmu Fisika Universitas Brawijaya
Lima tahun telah berlalu sejak pandemi COVID-19 Indonesia bangkit perlahan dan membawa perubahan signifikan dalam lanskap pendidikan. Revolusi teknologi yang menyertai masa pemulihan telah menghadirkan paradigma baru dalam proses belajar-mengajar, membuka peluang sekaligus tantangan yang perlu kita cermati dengan seksama. Pembelajaran dengan metode daring, yang dulu menjadi solusi darurat kini telah berakar dalam sistem pendidikan kita. Berbagai aplikasi edukatif bermunculan, menawarkan kemudahan akses dalam pengetahuan melalui tanya jawab interaktif dan penjelasan mendalam. Menurut Laporan Future of Education menyoroti potensi besar Artificial Intelligence (AI) dalam revolusi pendidikan. Namun, bersamaan dengan itu, laporan tersebut juga memperingatkan kita akan dampak negatif yang mungkin timbul. Penggunaan AI yang berlebihan dapat berpotensi mengikis kemampuan pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, dan kreativitas yang justru sangat diperlukan di era digital ini. Di satu sisi, AI merupakan angin segar bagi para pelajar yang ingin mendalami materi secara mandiri.
Perlu kita sadari bahwa kita sedang berada di persimpangan kritis. Teknologi menawarkan akses tak terbatas pada pengetahuan dan kemudahan dalam proses pembelajaran. Namun di sisi lain, kita dihadapkan pada risiko menciptakan generasi yang terlalu bergantung pada teknologi, kehilangan kemampuan berpikir mandiri, dan kurang siap menghadapi kompleksitas dunia nyata. Pemerintah, kementerian pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya harus berkolaborasi untuk menciptakan kerangka kerja yang memastikan penggunaan teknologi secara bertanggung jawab dalam pendidikan. Ini termasuk pelatihan bagi pendidik, pengembangan kurikulum yang seimbang, dan pemantauan terus-menerus terhadap dampak teknologi pada hasil belajar.
Di tengah kegiatan akademis yang kian memadat, siswa maupun mahasiswa kini menghadapi tantangan yang semakin berat. Deretan tugas harian yang tak berkesudahan, ditambah dengan momok Ujian Akhir Semester (UAS) dan Tugas Akhir (Skripsi) menciptakan tekanan yang luar biasa bagi para pembelajar muda kita. Sebagian siswa dan mahasiswa kini mengandalkan aplikasi-aplikasi tersebut untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka, terutama ketika dihadapkan pada tenggat waktu yang mendesak. Fenomena ini mungkin merupakan konsekuensi dari kurangnya fasilitas dan pemahaman terhadap materi yang disampaikan. Pertanyaannya, apakah ini solusi yang tepat atau justru mengorbankan esensi pendidikan itu sendiri?
Dalam upaya mengatasi tumpukan tugas ini, sebagian mahasiswa menyadari akan perlunya tambahan belajar melalui bimbingan belajar. Mentoring memang mampu memberikan pemahaman lebih mendalam dan membantu mahasiswa menyelesaikan tugas-tugas mereka. Namun, benarkah ini solusi yang tepat? Realitanya, fenomena ini terkadang disalahgunakan bagi kelompok mahasiswa effortless yang mengejar nilai semata dengan mengabaikan esensi pembelajaran itu sendiri. sebagian mahasiswa yang terdesak oleh waktu yang entah karena padatnya jadwal pekerjaan atau kegiatan lain dengan memilih jalan pintas yang lebih ekstrim. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar jasa pengerjaan tugas, sebuah praktik yang jelas-jelas mencederai integritas akademik. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang sistem pendidikan kita. Apakah kita telah terlalu fokus pada hasil akhir berupa nilai dan gelar, sehingga mengabaikan proses pembelajaran itu sendiri? Bagaimana kita bisa menyeimbangkan tuntutan akademis dengan pengembangan karakter dan integritas?
Sudah saatnya kita melakukan introspeksi mendalam terhadap paradigma pendidikan kita. Institusi pendidikan perlu mengevaluasi kembali beban tugas yang diberikan, memastikan bahwa setiap penugasan memiliki nilai edukatif yang jelas, bukan sekadar formalitas. Para pendidik juga ditantang untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih engaging dan relevan, sehingga siswa termotivasi untuk belajar bukan karena paksaan, melainkan karena keingintahuan dan passion. Orang tua dan masyarakat juga memiliki peran krusial. Alih-alih hanya menuntut nilai tinggi, mereka perlu mendukung proses pembelajaran anak dengan lebih holistik, menghargai usaha dan perkembangan personal, bukan hanya hasil akhir.
Dilema antara prestasi dan integritas ini bukanlah masalah sederhana yang bisa diselesaikan dalam semalam. Namun, dengan kesadaran penuh dan upaya bersama dari semua pihak. Praktik penggunaan jasa joki untuk tugas harian dan tugas akhir telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan di dunia pendidikan Indonesia. Hal ini tidak hanya mencoreng integritas akademik, tetapi juga menjadi tamparan keras bagi para pendidik yang berjuang menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas. ditengah maraknya praktik ini, muncul sebuah kegiatan inisiatif yang patut diapresiasi dan kita acungi jempol yaitu Working Group. Kegiatan weekly routine antara dosen pembimbing dan mahasiswa bimbingannya, yang bertujuan memfasilitasi diskusi tentang perkembangan tugas akhir. Working Group menjadi ruang diskusi yang dinamis, di mana mahasiswa dapat bertukar pikiran tidak hanya dengan dosen pembimbing, tetapi juga dengan sesama mahasiswa yang memiliki tema penelitian serupa. Lebih dari itu, dosen pembimbing juga menggunakan kesempatan ini untuk mereview materi-materi terkait penelitian, memperkaya wawasan mahasiswa.
Inisiatif ini menjawab kebutuhan mahasiswa akan bimbingan yang lebih intensif dan personal. Dengan adanya Working Group, mahasiswa tidak lagi merasa “tersesat” dalam proses penelitian mereka. Mereka memiliki wadah untuk mengutarakan kesulitan, mendapatkan masukan, dan memperoleh motivasi untuk terus maju. Dampaknya tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain mempermudah proses bimbingan, kegiatan ini juga berpotensi besar dalam mengurangi ketergantungan serta menjadi solusi inovatif mahasiswa menghindari jasa joki. Inisiatif Working Group ini layak menjadi model bagi institusi pendidikan tinggi lainnya di Indonesia. Dengan menerapkan dan mengembangkan konsep serupa, kita bisa berharap untuk melihat penurunan signifikan dalam praktik joki tugas, sekaligus peningkatan kualitas lulusan perguruan tinggi.