Ramlan Nugraha Paparkan Empat Inisiatif SETAPAK 3
Berita Baru, Yogyakarta – Ramlan Nugraha, perwakilan dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), memaparkan empat (4) inisiatif yang The Asia Foundation (TAF) dan jaringan masyarakat sipil dorong melalui program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (SETAPAK 3) dalam acara Forestival dan Pertemuan Koordinasi Mitra (PCM) SETAPAK 3 yang diselenggarakan di Yogyakarta, 17-18 November 2022.
Inisiatif-inisiatif tersebut mencakup kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam hal pengembangan inisiatif Ecological Fiscal Transfer (EFT); penguatan EFT di tingkat nasional dalam kebijakan Dana Bagi Hasil dan Dana Reboisasi (DBH DR); penguatan agenda pemerintah dalam penggunaan DBH DR; dan pengembangan kepemimpinan hijau di daerah.
Ramlan mengatakan, inisiatif pertama berhubungan dengan skema Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE), Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE) yang basisnya adalah kinerja.
“Insentif ini diberikan berdasarkan kinerja, termasuk bagaimana desa misalnya memberdayakan kinerja kelompok perempuan, seperti kelompok perempuan yang berhasil mengelola sampah dengan baik atau lainnya,” ungkapnya dalam diskusi sesi ke-2 yang dipandu oleh Tenti Novari Kurniawati.
Per 17 November 2022, berdasarkan data yang Ramlan sampaikan, ada 42 Pemerintah Daerah (Pemda) di Indonesia yang telah disosialisasikan dan didampingi oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam mengembangkan kebijakan EFT; 18 daerah sudah mengantongi peraturan skema TAPE, TAKE, dan ALAKE.
“Dan saat ini, ada 12 daerah yang sedang dalam proses penyusunan instrumen dan 5 Pemda dalam proses review kebijakan daerah,” tegasnya dalam gelaran bertajuk Memperkuat Agenda Keberlanjutan Hutan di Indonesia ini.
“Dari semuanya, setelah kami hitung, ada sekitar 100 miliar rupiah dari TAPE, TAKE, dan ALAKE yang dialokasikan ke 15 Pemda. Ini adalah salah satu inisiatif untuk memperkuat agenda lingkungan hidup,” tambah Ramlan.
Untuk TANE, Ramlan mengatakan pihaknya komitmen mendorong agar Pemerintah Pusat menerapkan kebijakan transfer berbasis ekologi, sehingga Pemda yang memiliki kinerja bagus di bidang lingkungan hidup bisa mendapatkan insentif.
“Dan pada 2022, konsep TANE diadopsi oleh pemerintah melalui kebijakan dana insentif daerah. Jadi KLHK untuk alokasi dana insentif daerah tahun 2022 memperluas indikatornya bukan hanya pada pengelolaan sampah, tapi juga indikator kinerja daerah yang menjaga tutupan hutannya berapa, bagaimana proses atau komitmen Pemda terhadap LH, dan sebagainya,” jelas Ramlan.
Kedua berkelindan dengan bagaimana DBH DR merupakan celah yang darinya insentif bisa dicairkan kepada provinsi dan kabupaten/kota dengan kinerja yang baik di bidang lingkungan hidup. Kinerja yang bagus di sini bisa berupa pengelolaan sampah, air limbah, sanitasi, dan rehabilitasi hutan dan lahan.
Ketiga merujuk pada pentingnya penguatan agenda pemerintah dalam pengelolaan DBH DR. Ini menjadi bagian dari inisiatif, lanjut Ramlan, sebab praktik baiknya sudah ada, yakni di Sumatera Barat.
Provinsi Sumatera Barat sudah memiliki kebijakan guna mendorong optimalisasi penggunaan DBH DR untuk Perhutanan Sosial (PS) dan target capaian PS 50.000/tahun dalam RPJMD 2021 – 2026.
“Dari sini kami merasa penting untuk mempromosikan praktik baik ini ke daerah lainnya,” tandas Ramlan pada Kamis (17/11).
Keempat berkenaan dengan Green Leadership Forum (GLF) yang menurut Ramlan pihaknya sudah mengundang sekitar 25 kepala daerah yang berkomitmen lingkungan hidup untuk saling berbagi gagasan tentang pengelolaan lingkungan hidup secara baik dan efisien.
“Untuk program ini, Kemendagri mendukung penuh, yaitu agar para kepala daerah mendukung skema TAKE dan TAPE. Sebab ini adalah langkah untuk mengatasi perubahan iklim,” tutur Ramlan.
Catatan dan pembelajaran
Dalam diskusi yang diselenggarakan secara bauran di Yogyakarta dan kanal Youtube Beritabaru.co dan Aksi Setapak ini, Ramlan menyampaikan bahwa dari empat inisiatif di muka, ada beberapa pembelajaran yang bisa didapatkan.
Pembelajaran ini mencakup pentingnya kerjasama multipihak, perlunya penambahan indikator pengarusutamaan gender, dan tata kelola keuangan Pemda sekaligus Pemerintah Desa (Pemdes).
“Lesson learned-nya adalah tentang kolaborasi, inovasi seperti gender mainstreaming dan blended finance, dan beberapa hal yang harus diubah, seperti percepatan peningkatan kemandirian desa, pengembangan ekonomi berkelanjutan, serta keterlibatan perempuan dalam ekonomi hijau,” kata Ramlan.
Kendati begitu, tantangan tetap menyapa. Ramlan menemukan empat (4) kendala yang perlu diatasi, yakni soal pelembagaan dalam mengadopsi EFT, keterbatasan fiskal daerah, sedikitnya data indikator lingkungan, dan perubahan peta aktor dan champion pemerintah.
“Soal data, ada. Tapi masih terbatas, sehingga masih butuh eksplorasi lebih jauh,” tukasnya.
Berbagai respons
Staf Ahli Menteri Desa PDTT Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan Bito Wikantosa mengamini pemaparan Ramlan, khususnya tentang praktik baik penerapan skema EFT.
Bito mengatakan, dilihat dari perkembangan desa di Kabupaten Maros, model transfer fiskal berbasis ekologi memainkan peran penting untuk perkembangan desa.
“Dalam tempo satu tahun saja, di Maros itu sudah ada 13 desa mandiri. Tingkat perkembangan desa kalau didekati dari sisi lingkungan hidup memang bisa cepat,” ungkapnya.
Dari sisi Undang-Undang (UU) pun, lanjut Bito, EFT sesuai sama sekali dengan mandat UU Desa. “Jika kegiatan itu adalah kewenangan desa, cara pemberiannya adalah ditransfer ke desa itu dan dikelola secara mandiri oleh desa,” tandasnya.
Namun, Bito menyampaikan yang menjadi persoalan tentang skema EFT ini adalah sinergi perencanaan desa dan perencanaan kabupaten/kota. Sebab legitimasi hukumnya masih lemah.
Menanggapi mention dari Bito, Bupati Maros Chaidir Syam yang hadir secara luring di Yogyakarta menyampaikan bahwa perkembangan Kabupaten Maros dalam satu tahun ini tidak lepas dari pola pikir Pemerintah Desa yang masih terjebak pada pembangunan jangka pendek ketika menerima Alokasi Dana Desa (ADD).
Chaidir menceritakan, ketika ADD cair, program yang muncul di benak Pemdes adalah membangun jalan, jembatan, dan semacamnya, bukan melestarikan hutan. Bayangan mereka, ukuran keberhasilan pembangunan adalah jembatan dan jalan yang bagus.
Di waktu bersamaan, Chaidir mendapat tawaran program TAKE dan sejak saat itu juga pihaknya berpikir bahwa ini bisa menjadi solusi atas sedikitnya dana yang dialokasikan untuk lingkungan hidup.
“Dan sejak saat itu, hal luar biasa terjadi di Maros dan harapannya ADD yang mereka dapat bisa dimanfaatkan juga untuk kepentingan lingkungan hidup,” ungkap Chaidir.
Bagi Kasubdit Perencanaan Anggaran Daerah Wilayah IV Direktur Perencanaan Anggaran Daerah Bina Keuangan Daerah Kemendagri Fernando H. Siagian pembangunan berkelanjutan memang mendesak untuk dipikirkan. Pun, ini bukanlah tugas satu kementerian atau daerah tapi pekerjaan bersama.
Fernando menegaskan, kerjasama antar kepala daerah mutlak dibutuhkan untuk mendukung agenda pembangunan berkelanjutan. “Kita butuh awareness dari semua kepala daerah dan inilah yang harus kita advokasi, yaitu tentang bagaimana kepala daerah memiliki perhatian lebih ke isu ini,” katanya.
Masukan dari Fernando tersebut berhubungan dengan kendala dalam agenda pembangunan rendah karbon, yakni proporsi anggaran. Alokasi anggaran untuk lingkungan hidup masih kurang, sehingga advokasi ke kepala daerah mutlak diperlukan.
Berlomba dalam kebaikan
Lebih jauh, untuk menunjang kinerja Pemdes dalam mengelola lingkungan hidup, Ketua APKASI Hamim Pou mengutarakan pentingnya kompetisi antardesa. Desa yang paling bagus dan inovatif pengelolaannya berhak atas insentif sebesar 50 juta misalnya.
Ini perlu, lanjut Hamim, agar desa yang mengelola dan menjaga hutan dengan baik merasa dihargai atas perjuangannya dan tidak sekadar sebagai penjaga hutan saja.
“Ini pun berlaku untuk level kabupaten/kota. Maksudnya, jangan sampai nanti bupati hanya menjaga hutan saja tapi tidak ada insentif yang didapatkan dan saya kira, ini bisa diatasi melalui skema TAPE atau pun TAKE,” jelasnya.
Joko Tri Haryanto selaku perwakilan dari BKF Kemenkeu menambahkan, skema TAKE dan TAPE sudah ada dalam mekanisme DBH DR, sehingga yang perlu digenjot adalah kesiapan daerah untuk menjalankannya.
Selain itu, Joko juga memaparkan dua (2) hal lain terkait tindak lanjut dari TAKE dan TAPE. Pertama, antara komitmen nasional dan apa yang dilakukan di daerah harus selaras. Kedua, TAKE dan TAPE adalah pintu masuk menuju model bisnis jasa lingkungan yang akan menjadi strategi pembangunan daerah ke depan.
“PR besarnya adalah apapun pendekatannya, apakah dari sisi energi atau pun kehutanan, gambar besar yang muncul adalah bagaimana kesiapan daerah melakukan transformasi model ekonomi. Ini yang harus kita bikin gambarnya agar nanti siapapun bupatinya, punya gambar besar sama yakni daerah sudah mengarah pada strategi pembangunan rendah karbon,” jelas Joko.
“Titik akhirnya adalah daerah bisa menggapai perluasan sumber pendanaan. Ini yang akan kami kawal bersama dengan koordinasi lintas kementerian,” tambah Joko.
Menanggapi masukan Joko, Analis Ahli Muda Hilman Rosada menyebut bahwa langkah lanjutan yang perlu dilakukan adalah replikasi dan duplikasi praktik baik penerapan EFT ke seluruh Pemda di Indonesia.
Di waktu bersamaan, katanya, hal itu akan meringankan beban Kemendagri dalam konteks pembinaan. Sebab dengannya, kepala daerah akan didorong untuk memiliki kesadaran lingkungan hidup dan perlunya sinkronisasi perencanaan desa dan daerah.
“Dan lagi-lagi, ini adalah tugas bersama, tugas semua pihak, baik KLHK, PU, masyarakat, pihak swasta, dan lainnya. Semua harus sinergi. Tinggal masalahnya adalah kapan semua harus dipaskan,” pungkasnya.
Acara yang merupakan hasil kolaborasi antara FGMC dan TAF ini digelar dalam empat (4) sesi: pembicara kunci, talkshow 1, talkshow 2, dan talkshow 3. Pembicara kunci dibawaka oleh Kepala Pusat Data dan Informasi KLHK Edi Sulistyo.
Talkshow 1 dipantik oleh Crisna Akbar selaku perwakilan dari HAKA, talkshow 2 diisi oleh Ramlan Nugraha dari PATTIRO, dan yang terakhir oleh Diva Safira dari ICEL. Diskusi dirangkum dan ditutup oleh Alam Surya Putra.