PMII UNUSIA Kaji Positif dan Negatinya Omnibus Law
Berita Baru, Jakarta – Pulahan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Sosial Humanoria Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) hari ini menggelar dialog publik tentang “Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dengan Penyederhanaan Regulasi Birokrasi” bertempat di Auditorium UNUSIA Jakarta. Senin (24/02).
Diskusi tersebut merupakan respon terhadap isu nasional yang sedang ramai saat ini tentang Omnibus Law, yang tujuannya sebagai penyederhanaan regulasi izin investasi dan industri. Ubadurahman Al Alawy, yang merupakan Ketua Rayon PMII, mengungkapkan bahwa Omnibus Law penting dikaji oleh mahasiswa untuk mengetahui dampak positifnya dan negatifnya bagi kita semua.
“Kita semua, sebagai sahabat-sahabat yang didunia gerakan, penting untuk mengkaji Omnibus Law, apa dampak positif dan negatifnya untuk masyarakat dan kita semua,” ungkap Ubadurahman Al Alawy, mahasiswa sosial humaniora itu.
Diskusi publik ini, panitia mengundang Advokat, Dwi Nugroho, S.H. yang mengkaji dari sisi hokum, dan Aziz Askhari, S.Ag. aktivis PMII yang juga aktif didunia jurnalistik.
Dalam pemaparannya, Dwi Nugroho, S.H menelaskan bahwa Indonesia pernah mengalami empat kali amandemen UUD. Amandemen undang-undang dasar menciptakan turunan perundang-undangan, maka setelah itu banyak perundang-undangan dan peraturan, baik peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah, dan peraturan kabupaten.
“Efek pasca amandemen UUD adalah banyaknya Undang-undang dan peraturan baru,” ungkap pria yang merupakan alumni Fakultas Hukum UI.
Hal ini mengakibatkan adanya benturan atau tumpang tindih peraturan baik dari Perpu hingga Perda yang mengakibatkan panjangnya alur birokrasi dalam mengurus beberapa hal. Oleh karena itu diperlukan terobosan baru untuk memangkas dan mempermudah dalam pengurusan melalui alur birokrasi ini.
“Omnibus Law pada prinsipnya ingin menyederhanakan regulasi itu,” imbuh Dwi, yang pernah juga aktif di PMII.
Omnibus Law kedepannya akan lebih mempermudah izin usaha, karena ada beberapa kewenangan dari pusat, dimana izin-izin dalam usaha dimana yang awalnya dikelola oleh daerah maka sekarang akan di kelola oleh pusat. Diharapkan dengan diberlakukannya UU ini maka kita mampu menarik investasi yang besar dengan dipermudahkannya perizinan ini.
“Besok izin usaha lebih banyak wewenangnya di pemerintah pusat, harapannya dengan diberlakukannya UU ini maka kita mampu menarik investasi yang besar,” ujar Dwi.
Kendala perizinan ini seringkali dikeluhkan oleh investor baik dari dalam hingga luar negeri yang ingin menanamkan modalnya ke Indonesia dimana ada sekitar 30 syarat yang harus dipenuhi sehingga mereka memilih negara lain untuk dijadikan tenpat berinvestasi. Dengan adanya Omnibus Law ini diharapkan dapat menarik para investor sehingga disisi lain juga akan mengurangi pengangguran yang ada di Indonesia.
“Harapannya dengan menarik para investor disisi lain juga akan mengurangi pengangguran yang ada dan menciptakan kesejahteraan masyarakat di Indonesia,” pungkas Dwi.
Narasumber yang kedua, Aziz Askhari, menjelaskan pada dasarnya pemerintah ingin menciptakan UU yang menyederhanakan proses regulasi dan investasi di Indonesia, karena negara harus berpikir bagaimana cara untuk meningkatkan perekonomian nasional, dan paradigm pemerintah hari ini cara meningkatkan ekonomi adalah negara harus memaksimalkan investasi yang masuk ke Indonesia dan menjaga investor lama tidak keluar dari Indonesia.
“Pada prinsipnya niat pemerintah baik, ingin menciptakan kesejahteraan masyarakat. Karena paradigma ekonomi pemerintah adalah ekonomi klasik, maka caranya adalah menjaga dan menambah investasi masuk ke Indonesia,” ungkap pria yang juga sedang menempuh magister ekonomi itu.
Diapun mengungkapkan bahwa diluar sana banyak kelompok masyarakat yang menganggap RUU Cipta Lapangan Kerja dianggap tidak memihak para buruh dan hanya berpihak ke investor, dan adapula yang menganggap
“Publik terbelah soal RUU Cipta Lapangan Kerja, ada yang menilai positif dan ada yang menilai negative,” imbuh Aziz.
Hal tersebut terjadi karena publik memandang pemerintah sangat tertutup dalam merupuskan Omnibus Law, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, tidak melibatkan serikat buruh, dan stake holder lainnya. Walaupun hal tersebut sudah diklarifikasi oleh Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah.
“Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziah menegaskan tujuan dibuatnya RUU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan kesejahteraan dan perlindungan pekerja secara berkelanjutan. Penyusunan draf RUU sejak awal telah melibatkan para pihak terkait, seperti kalangan serikat buruh, pengusaha, dan akademisi pada November – Desember lalu,” ungkap Aziz.
Aziz pun berpesan kepada pemerintah, karena Omnibus Law akan mengganti 74 undang-undang/peraturan tentang izin usaha, pemerintah harus lebih hati-hati dalam menyusun RUU Omnibus Law, jangan sampai ada cerita “salah ketik” lagi. Selain itu pembahasannya lebih terbuka, tranparan, dan jangan terlalu tergesa-gesa serta pemerintah harus mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari mahasiswa.
“Pesan saya untuk pemerintah, dalam pembahasan RUU Omnibus Law, Pertama, pembahasan harus dilakukan secara cermat dan teliti karena dampaknya ketika sudah disahkan akan mencabut Undang-Undang yang sudah ada. Kedua, pembahasan RUU Omnimbus Law dilakukan dengan memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Ketiga, meminta pembahasan tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan memperhatikan masukan dari seluruh stakeholder terkait,” ungkap Aziz.
Karena niatan munculnya RUU Omnibus Law itu baik, diapun berharap RUU tersebut bisa dirumuskan se ideal mungkin.
“Harapan kita, RUU Omnibus Law ini se ideal mungkin, tidak merugikan buruh dan masyarakat, serta tidak memberatkan pelaku usaha,” pungkas Aziz.