PKL Malioboro Protes Kepada Aparat atas Penutupan Akses Teras Malioboro 2
Berita Baru, Yogyakarta – Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Malioboro kembali menghadapi tindakan keras dari aparat pemerintah. Pada Minggu pagi, akses keluar masuk ke Teras Malioboro 2 ditutup oleh petugas UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya, yang membentuk pagar untuk menghalangi pergerakan para pedagang. Upaya para PKL untuk meninggalkan area tersebut memicu bentrokan dengan aparat keamanan, situasi yang semakin memicu ketegangan antara pedagang dan pemerintah.
“Kami hanya ingin mencari nafkah, tetapi malah dihadang seperti ini. Pemerintah seharusnya membuka ruang dialog, bukan membenturkan kami dengan aparat,” ujar salah satu PKL. Ia menambahkan bahwa tindakan pemerintah ini hanya akan memperburuk kondisi ekonomi mereka yang sudah sulit. Dikutip dari postingan instagram melalui akun Suara Malioboro, @suaramalioboro, pada Senin (19/8/2024).
Situasi ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pada Senin (6/8/2024), Penjabat Walikota Yogyakarta mengundang perwakilan PKL dari Teras Malioboro 2 untuk berdialog terkait rencana relokasi tahap kedua. Pertemuan tersebut merupakan hasil dari berbagai aksi dan surat resmi yang telah dilayangkan oleh PKL, termasuk laporan ke Ombudsman DIY terkait tidak adanya pelibatan masyarakat dalam kebijakan relokasi.
“Dalam pertemuan itu, kami dengan tegas meminta agar dilibatkan dalam proses relokasi, termasuk revisi DED (Detail Engineering Design). Pemerintah berjanji akan segera mengadakan dialog lanjutan, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan apa pun,” kata Paguyuban PKL Malioboro. Ia menegaskan bahwa ketidakpastian ini menambah beban mental dan ekonomi bagi para pedagang yang sudah kesulitan mencari nafkah.
Kekecewaan para PKL semakin memuncak setelah pada Selasa (6/8/2024), mereka mendatangi Kantor Dinas Kebudayaan DIY untuk mempertanyakan permohonan audiensi yang telah mereka kirimkan pada 5 Juli 2024. Meskipun audiensi tersebut awalnya dijadwalkan pada 14 Juli, namun pihak Dinas Kebudayaan membatalkan secara sepihak tanpa memberikan penjelasan apa pun.
“Ini bukan hanya soal relokasi, tapi juga tentang bagaimana kami diperlakukan. Kami telah berusaha untuk berdialog, tetapi malah diabaikan,” keluh mereka. Lebih lanjut, Cahyo, Sekretaris Dinas Kebudayaan DIY, menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menerima komunikasi atau audiensi apapun terkait dengan relokasi PKL, dan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah ini kepada Pemerintah Kota Yogyakarta.
Keputusan ini dianggap oleh PKL sebagai bentuk pengabaian terhadap nasib mereka. Mereka merasa dipaksa untuk menghadapi masalah ini sendiri tanpa dukungan dari pemerintah. Sebagai bentuk protes, para PKL mulai berjualan di Selasar Malioboro, sebuah tindakan yang mereka harap dapat menarik perhatian publik dan pemerintah terhadap ketidakadilan yang mereka alami.
“Kami berjualan di sini sebagai bentuk protes. Kami memiliki hak yang sama untuk menentukan nasib ekonomi kami dan hidup layak. Kami tidak akan diam melihat hak-hak kami diabaikan,” pungkas PKL Malioboro.