PKB Desak Pemerintah Luruskan Sejarah Pelengseran Gus Dur
Berita Baru, Jakarta – Fraksi PKB di MPR mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk memperbaiki narasi sejarah terkait pelengseran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden keempat Republik Indonesia melalui TAP MPR II/MPR/2001. Wakil Ketua MPR dari PKB, Jazilul Fawaid, menyarankan agar buku-buku pelajaran yang memuat TAP tersebut segera ditarik untuk memulihkan nama baik Gus Dur, terutama setelah TAP tersebut resmi dicabut.
“Kami meminta Kemendikbudristek menarik buku-buku pelajaran sejarah atau referensi yang terkait dengan TAP II/MPR/2001 tentang penggulingan Gus Dur,” tegas Jazilul usai menyerahkan surat pencabutan TAP II/MPR/2001 di Kompleks Parlemen, Minggu (29/9).
PKB berencana melakukan berbagai langkah secara bertahap dan sesuai aturan untuk memulihkan citra Gus Dur, termasuk mengupayakan gelar Pahlawan Nasional bagi tokoh yang dikenal dengan pemikiran pluralismenya tersebut. Jazilul juga meminta pemerintah segera menindaklanjuti pencabutan TAP II/MPR/2001 sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional.
“Kami memohon agar pemerintah menindaklanjuti pencabutan TAP II/MPR/2001, karena ini sangat penting dalam upaya rekonsiliasi nasional. Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur harus dilakukan, baik oleh pemerintahan saat ini maupun yang akan datang,” tambahnya.
Menurut Jazilul, bangsa Indonesia tidak boleh membiarkan sejarah yang keliru atau belum terklarifikasi menjadi bagian dari warisan nasional. Ia menyebutkan bahwa pencabutan TAP MPR II/2001 merupakan langkah yang benar dalam membersihkan nama baik Gus Dur.
“Peristiwa sejarah waktu itu perlu diverifikasi dengan benar. Saksi-saksi seperti Pak Alwi Shihab, Pak AS Hikam, dan lainnya masih hidup. Mereka mengetahui betul ide, gagasan, serta kejadian yang melibatkan Gus Dur pada saat itu,” jelas Jazilul.
Jazilul menegaskan bahwa rekonsiliasi harus didasarkan pada kebenaran yang faktual dan substansial. Ia juga menekankan pentingnya membangun kebersamaan dengan serius dan tulus, bukan hanya formalitas. “Rekonsiliasi harus berdiri di atas kebenaran yang nyata dan hakiki, serta dibangun dengan kesungguhan, bukan basa-basi,” pungkasnya.