Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

ICW Sebut Penindakan KPK Era Firli Bahuri Merosot Tajam

ICW Sebut Penindakan KPK Era Firli Bahuri Merosot Tajam



Berita Baru, Jakarta – Pada 25 Juni lalu Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Transparency International Indonesia (TII), dan PPPI Paramadina merilis kajian evaluasi kinerja KPK Semester I terhitung sejak Desember 2019 sampai Juni 2020.

“Rapor Merah KPK era Firli Bahuri cs! Habis terang terbitlah gelap, penindakan KPK merosot tajam”. Tulis ICW dalam akun twitter @antikorupsi pada Senin malam (30/6).

Pada sektor penindakan KPK, ICW mencatat setidaknya 6 masalah besar KPK di era kepemimpinan Firli cs. Pertama, jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) merosot tajam. Sebelumnya KPK dikenal salah satunya karena keberanian melakukan OTT.

“Sejak dilantik, hanya ada 2 kali OTT. Kasus suap pergantian antar waktu anggota DPR dan suap proyek infrastruktur di Sidoarjo”. Terang ICW.

Kedua, sejak dilantik pada Desember 2019, Firli cs justru telah menghasilkan setidaknya 5 buronan. Sehingga, jika ditambahkan 3 orang buronan yang belum tertangkap pada periode sebelum Desember 2019, total terdapat 8 orang buronan yang dihasilkan oleh KPK.

“Belum lama ini, Tim Penyidik KPK berhasil menangkap 2 dari 8 buronan, yakni mantan Sekretaris MA, Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono. Sehingga, masih ada 6 orang buronan yang tersisa, yakni Harun Masiku, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, Samin Tan, Izin Azhar, dan Hiendra Soenjoto”. Jelas ICW.

Catatan ketiga, ICW menilai KPK tidak berani menyentuh perkara besar. Hingga pertengahan 2019, terdapat 16 tunggakan perkara besar yang hingga kini belum dilanjutkan proses hukumnya, di antaranya perkara penerbitan SKL Obligor BLBI dengan kerugian negara Rp4,58 triliun.

Keempat, KPK gagal melakukan OTT. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari peristiwa pada pertengahan Mei 2020 lalu, dimana KPK melakukan OTT di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Bukannya melanjutkan perkara, KPK malah melimpahkan kasus tersebut ke Kepolisian. Alasan pelimpahannya pun janggal yaitu tidak ditemukan unsur penyelenggara negara. Padahal sudah jelas bahwa dalam UU 28/1999 dikatakan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Perbuatan Rektor UNJ tersebut juga layak masuk dugaan tindak pidana korupsi. Namun KPK malah menafikan hal tersebut”. Sesal ICW.

Kelima, sengkarut penanganan perkara. Awal tahun 2020 KPK melakukan OTT terkait suap pergantian antar waktu anggota DPRI RI yang diduga melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan Caleg PDI Perjuangan Harun Masiku.

ICW mengatakan kalau ada beberapa kejanggalan yang terjadi dalam proses hukum kasus ini. Salah satu kejanggalannya adalah ketika ada dugaan penyekapan tim KPK saat akan menangkap Harun Masiku dan petinggi partai politik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

“Pimpinan KPK bukannya melindungi, malah terkesan menutup-nutupi kejadian itu”. Catat ICW.

Kejanggalan lain, imbuh ICW, Kemenkum HAM mengatakan Harun Masiku berada di Singapura, faktanya Harun justru sudah ada di Indonesia. Dalam hal ini KPK juga tidak kunjung menggeledah kantor DPP PDI Perjuangan, padahal awalnya KPK berniat memeriksa kantor partai pemenang pemilu tersebut.

Catatan Keenam, KPK abai dalam perlindungan saksi. Dalam persidangan dugaan kasus korupsi yang diduga melibatkan mantan Menpora Imam Nahrawi, mantan asistennya yakni Miftahul Ulum mengatakan ada dugaan aliran dana kepada anggota BPK Achsanul Qosasi dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman.

“Namun setelah memberikan kesaksian di persidangan, Ulum langsung dipanggil oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam perkara yang hampir serupa. KPK sampai saat ini belum memberikan perlindungan kepada saksi”. Pungkas ICW.