Perang Rusia-Ukraina, Kepentingan Nasional Rusia, dan Posisi Indonesia
Ahmad Choirul Furqon
(PB PMII Bidang Hubungan Luar Negeri dan Jaringan Internasional)
Perang antara Rusia dan Ukraina semakin terbuka. Ultimatum dan statement telah banyak dilontarkan oleh masing-masing presiden. Hal ini membuat banyak negara ikut mengambil sikap. Amerika Serikat dan Inggris sudah memberlakukan sanksi kepada Rusia. Pun, Indoneisa: melalui pernyataan Presiden Jokowi, ia telah menyatakan sikap.
Ini membuktikan bahwa perang antara kedua negara memberikan dampak kepada negara lain, bahkan mungkin secara psikis kepada masyarakat dunia.
Buktinya, banyak masyarakat di Indonesia—sebagai salah satu potret—turut gemas dan kemudian menyuarakan pandangannya melalui cara yang beragam. Beberapa akademisi dan politisi sudah angkat bicara, memberikan komentar terbaiknya.
Teuku Rezasyah dari Universitas Padjajaran umpamanya, dia menyampaikan bahwa dalam perang ini, Indonesia harus bisa jadi penengah. Begitu pun dengan Fadli Zon. Dalam cuitannya, ia menulis: “Saya setuju, hanya Pak @jokowi yang bisa menengahi perang Rusia-Ukraina. Ayo mainkan, pak.”
Dilihat dari berbagai ungkapan di media sosial, masyarakat Indonesia cenderung menyalahkan sikap Vladimir Putin atas kebijakannya yang konfrontatif terhadap Ukraina. Mereka menyuarakan ini atas nama kemanusiaan.
Meski demikian, yang penting kita diskusikan di sini adalah terkait ungkapan Teuku Rezasyah dan Fadli Zon di muka, yakni apakah benar Indonesia memiliki kapasitas untuk menjadi penengah konflik antara Ukraina dan Rusia? Selain itu, apa sih sebenarnya motif Rusia melakukan serangan yang sedemikian rupa terhadap Ukraina?
National Interest of Rusia
Sebagai orang yang pernah mempelajari ilmu hubungan internasional, teori realisme dinilai dapat memberikan sedikit analisa terhadap konflik Rusia-Ukraina. Teori ini menekankan pada kekuatan (power) dan kepentingan negara-negara dalam politik dunia. Realisme memiliki pandangan bahwa hubungan internasional bersifat kompetitif dan konfliktual (Wardhani, 2015). Menurut Goldstein (2005), sebagai state actor negara memiliki sebuah psikologis yang cemas dan selalu mengedepankan kepentingan pribadi serta ingin mendapatkan posisi yang lebih tinggi dalam sebuah sistem.
Tidak jauh berbeda, Mearsheimer dalam sebuah video yang diunggah oleh The University of Chichago mengulas bahwa situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tidak terlepas dari dampak ekspansi North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur, Ukraina. Hal ini tentu menjadi kesalahan strategis yang dilakukan oleh mereka. Sebagai sebuah negara yang tidak tergabung dalam NATO, ini menjadi ancaman bagi Rusia. Rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania dapat dipindah ke Ukraina yang notabene negara yang berbatasan langsung dengan Rusia.
Apabila diamati secara geopolitik, Ukraina merupakan wilayah kepentingan strategis Rusia. Ukraina menjadi buffer zone antara Rusia dan Eropa, sama seperti Western Hemisphere yang menjadi wilayah kepentingan strategis Amerika sebagaimana doktrin Monroe. Namun setelah revolusi 2014, pemerintah Ukraina lebih memilih dekat dengan NATO. Hal ini menjadikan Belarusia menjadi satu-satunya buffer zone antara Rusia dengan negara-negara Eropa.
Berbeda dengan Rusia, Ukraina tidak pernah menjadi wilayah kepentingan strategis Amerika Serikat. Padahal kita mengetahui meski NATO sebuah organisasi internasional, namun Amerika Serikat tetap memegang peran penting. Terlebih Amerika seakan memberi dukungan kepada Ukraina agar bergabung dengan NATO (Vox.com, 2022).
Melihat fenomena ini, Mearsheimer memiliki analisa bahwa semuanya sebatas ambisi besar Amerika dan kelompok negara Eropa untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka. Meski pada faktanya tindakan ini memberikan tekanan bagi kepentingan Russia sebagai negara kuat sejak berakhirnya perang dunia kedua.
Ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa lebih baik Ukraina tetap menjadi buffer zone antara Barat dan Russia serta menjadi negara yang netral. Baik eropa maupun Amerika tidak perlu memberikan stimulus kepada Ukraina agar bergabung dengan NATO. Terkait bantuan ekonomi, hal tersebut dapat diberikan melalui International Monetary Fund (IMF) dan Russia. Apabila Eropa dan Amerika masih memberikan stimulus agar Ukraina tergabung dengan NATO, hal ini akan membuat relevansinya—yaitu Pivot Asia—semakin kabur.
Posisi Indonesia
Adapun terkait pernyataan Indonesia memiliki pengaruh untuk menengahi, ada beberapa hal yang melandasi ini. Salah satunya adalah bahwa Indonesia memiliki kekuatan besar seperti Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista), ekonomi, dan soft power. Analoginya, apabila kita memiliki kekuatan atau kemampuan yang besar, tentu mudah untuk memberi masukan kepada orang lain yang stratifikasinya lebih rendah atau setara. Ini menurut beberapa pihak yang menghimbau Indonesia untuk menjadi penengah tadi.
Meski demikian, fakta di lapangan mengatakan lain. Dari segi Alutsista apabila kita membandingkan antara Indonesia dan Rusia terlihat ketimpangan yang jauh. Rusia memiliki berbagai alat tempur yang canggih, sedangkan Indonesia masih banyak menerima Alutsista hibah dari beberapa negara.
Dalam singgungannya dengan Indonesia menjadi penyelenggara G20 pada 2022, ini memang benar, tapi G-20 tidak labih dari perkumpulan yang kepentingannya ekonomi. Jadi, secara strategic interest dan keamanan, organisasi G-20 tidak memiliki kekuatan besar.
G20 berbeda dengan logika terbentuknya European Union (EU) dan NATO di mana posisinya adalah sebagai akumulasi kekuatan negara-negara anggotanya. Lebih dari itu EU merupakan sebuah regional yang memiliki keterkaitan besar baik secara ekonomi, politik, atau pun keamanan.
Dari situ, kita bisa memahami bahwa saat ini Indonesia tidak memiliki kekuatan besar untuk menjadi penengah. Namun Indonesia dapat mengajak beberapa negara kuat lainnya untuk berdiskusi, mencari jalan keluar terkait perang Rusia-Ukraina. Melalui komunikasi dan diplomasi, hasilnya dapat dibawa ke Majelis Umum PBB. Terlebih dalam sejarahnya, PBB pernah mengeluarkan resolusi yang bernama Uniting for Peace pada tahun 1950 ketika perang di Semenanjung Korea terjadi.