Penggunaan Gedung DPRD Molor, Pemerhati Minta Dewan Berpikir Logis
Berita Baru, Gresik – Memasuki tahun 2020, gedung baru DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Surabaya direncanakan sudah dapat digunakan. Namun memasuki hari ke-6 tahun 2020, harapan itu tak kunjung datang.
Padahal pada tanggal 21 Mei 2019 lalu, gedung telah diresmikan.
Gedung baru tersebut rencananya akan digunakan untuk ruang fraksi dan alat kelengkapan dewan (AKD). Sementara untuk ruang unsur pimpinan dan paripurna tetap menggunakan gedung lama.
Pihak kontraktor, tidak lain pemenang Tender yakni PT. Tiara Multi Teknik, dengan kontrak satuan Nomor 641.6/5690.34/436.7.5/2017 tanggal 20 Oktober 2017. Jelasnya, telah menerima pembayaran penuh melalui SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) dengan rincian :
- Nomor PJI6940/LS/XI/2017 tanggal 17 Nopember 2017 sebesar Rp 8.260.957.491 (uang muka).
- Nomor PJ08691/LS/VI/2018 tanggal 8 Juni 2018 sebesar Rp 5.281.505.489 (Termin I).
- Nomor PJI3023/LS/VII/2018 tanggal 9 Agustus 2018 sebesar Rp 2.026.688.238 (Termin II).
- Nomor PJI14668/LS/IX/2018 tanggal 10 September 2018 sebesar Rp 6.729.926.703 (Termin III).
- Nomor PJI5627/LS/IX/2018 tanggal 28 September 2018 sebesar Rp 4.394.829.384 (Termin IV).
- Nomor PJI8024/LS/X/2018 tanggal 22 Oktober 2018 sebesar Rp 6.377.459.183 (Termin V).
- Nomor PJ21024/LS/XII/2018 tanggal 4 Desember 2018 sebesar Rp 2.373.648.452 (Termin VI).
- Nomor PJ21948/LS/XII/2018 tanggal 10 Desember 2018 sebesar Rp 8.613.425.011 (termin VII).
- Nomor PJ2642/LS/XII/2018 tanggal 31 Desember 2018 sebesar Rp 10.066.080.049 (Termin VIII).
Menyikapi hal itu, Intra Publik menilai DPRD Kota Surabaya kecolongan. Masalah ini mengindikasikan lemahnya kontrol DPRD Kota Surabaya dalam melakukan kontrol anggaran.
“Seandainya DPRD Kota Surabaya serius dalam menjalankan fungsinya, besar kemungkinan hal ini tidak terjadi,” tutur Direktur Intra Publik, Mauli Fikr.
Ia berharap jika, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya bisa mewujudkan fungsi dewan. “DPRD Kota Surabaya diharapkan lebih serius dalam menjalankan fungsinya (Kontroling, Budgeting, dan Legislasi).”
Mauli juga menyarankan agar kemampuan melakukan kontrol terhadap perencanaan dan penganggaran ubtuk ditingkatkan. Hal itu perlu agar tidak terjadi penyelewengan dan korupsi.
“Padahal itu seharusnya sudah tersusun dan tertulis sejak dalam masa tahapan perencanaan dan penganggaran. Namun DPRD masih saja kecolongan dan itu akibat karena DPRD-nya kurang serius,” tandas alumni PMII Surabaya itu.
Terpisah, Dita aditya seorang Advokat yang tergabung dalam AHP (Aditya Hudi Partners) Law Office, turut mengomentari tanda ketidakberesan gedung baru dewan itu. Ia mengatakan bahwa sebenernya dari awal sudah jelas, mulai dari diadendumnya perjanjian sampai 4 kali.
“Dari segi hukum memang sah, tapi secara etik itu menyimpan kejanggalan, terlebih bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Artinya, ada ketidakberesan yg dilegitimasi melalui adendum untuk menutup ketidakberesan, itu point nya,” sebut lulusan Universitas Pakuan Bogor itu.
Ia juga menambahkan bahwa adanya addedum sampai 4 kali, berarti ada indikasi proyek dikerjaan dengan dipaksakan, berulang-ulang dan dirubah. “Berarti keluar dari perencanaan awal, terlalu grasak – grusuk,” tegasnya.
Dita sapaan akrab Dita Aditya itu, berharap jika pada eksekusi akhir pelaksanaan kontrak, dan jika masih ada masa pemeliharaan, PPHP (Panitia/Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan) diwajibkan untuk didampingi tim independent.
“Kalau final dan ada wanprestasi, berarti kegagalan pemkot dalam seleksi lelang, raport merah Pemkot ditahun 2019. Ini yang akan menjadi masalah, ada atau ndak masa pemeliharaan, kalo ada, berarti DPRD gagal berlogika. Karena kalau ada masa pemeliharaan, jelas belum bisa ditempati. Jangan sampai DPRD seolah menyalahkan Pemkot saja, karena kegagalan berfikir DPRD soal proyek tersebut,” tandas advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu.