Peneliti eLSA Dorong Perguruan Tinggi Jalin Kerja Sama Tanggulangi Radikalisme
Berita Baru, Jakarta – Peneliti eLSA Semarang, Siti Rofiah mengatakan bahwa perguruan tinggi dapat menjadi lahan tumbuhkan tindakan radikalisme. Sehingga sangat diperlukan keterlibatan semua pihak dalam instansi PT untuk terus melakukan pencegahan.
Menurut Rofiah, di tahun 1996, Badan Penelitian Departemen Agama pernah merilis hasil penelitian yang menyebut bahwa ada peningkatan aktivitas keagamaan di sejumlah perguruan tinggi sekuler dan hal itu punya potensi mendorong berkembangnya aktivitas keislaman yang cenderung ekslusif dan radikal.
Lebih lanjut menurutnya, hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan, perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi target rekrutmen gerakan-gerakan radikal. Khususnya bagi jurusan-jurusan eksakta, karena mayoritas mahasiswa di dalamnya merupaka lulusan sekolah umum yang secara pelajaran lebih minim adanya transfer ilmu keagamaan.
“Beberapa tahun setelahnya, ternyata kesimpulan ini tidak lagi relevan. Karena di lapangan justru ada mahasiswa Universitas Islam yang terlibat dalam tindakan terorisme,” kata Siti Rofiah dalam acara Peace Talk yang bertajuk ‘Pentingnya Peranan Anak Muda dalam menyemai Perdamaian Dari Desa’ yang digelar oleh Wahid Foundation, Sabtu (11/9).
Rofiah menyampaikan, perubahan tersebut terjadi lantaran adanya konversi dari lembaga perguruan tinggi islam, dari Institute menjadi Universitas. Sehingga sistem pembelajaraan di dalamnya juga mengalami perubahan yang cukup signifikan.
“Sebelum UIN, subjek matakuliahnya semuanya yang berkiatan dengan ilmu agama islam. Tetapi kemudian semenjak menjadi UIN banyak jurusan-jurusan baru yang membuat input calon mahasiswa menjadi berubah. Kalau dulu latar belakang madrasah, pesantren. Hal itu kemudian berubah jadi lebih beragam,” jelasnya.
“Setelah dikonversi menjadi UIN Imputnya menjadi beragam. Jadi murid SMA, SMK banyak yang masuk. Sedangkan mereka baru menemukan ghiroh keagamaan yang cukup kuat, sehingga ketika mereka berjumpa dengan aktivis lembaga dakwa yang punya kecendrungan ke kanan, ini menjadi lahan empuk,” tambhanya.
Selain itu, lanju Rofiah, juga ditambah dengan adanya kebijakan perguruan tinggi yang justru semakin tidak memberikan ruang untuk mahasiswa menuangkan ide-ide kritis.
“Analisis yang kedua, terjadi metamorfosa bentuk strategi internal di kelompok radikal. Kalau dulu yang di rekrut adalah orang-orang awam, sekarang mereka justru bergerak membidik orang-orang yang lebih terdidik,” papar Rofiah.
Dalam kesempatan tersebut Rofiah juga menyampaikan beberapa faktor pendorong mahasiswa tertarik menapaki ideologi radikal. Di antaranya adalah karena mahasiswa merupakan masa transisi krisis identitas, sehingga rentan dengan ajakan kelompok diluar dirinya.
“Adanya bentuk rekrutmen dan kegiatannya menarik, serta dengan adanya iming-iming tertentu. Juga adanya bentuk kajian dasar tentang dunia perkuliah, yang itu menjadi kebutuhan mahasiswa awal. Namun kemudian, semakin lama pembahasannya bergeser, mulai dari membicarakan ketidak adilan, pemerintahan, hingga nantinya pada gerakan berjihad untuk mendirikan negara islam” tuturnya.
Menurut Rofiah, berdasar banyak penelitian yang sudah dipublik, tidak sedikit dari mahasiwa di perguruan tinggi Indonesia terpapar ideologi radikal. Sehingga butuh strategi antara PT untuk melakukan sinergi dengan Stakeholders.
“Karena perguruan tinggi selain punya kelebihan juga punya keterbatasan. PT punya basis SDM yang kuat, menjadi sumber rujukan data berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tetapi punya kekutangan juga, yaitu jangkauan yang terbatas. Sehingga PT harus menjalin kerja sama suapay usaha untuk menanggulangi radikalisme bisa diwujudkan,” paparnya.