Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

HAM
Suasana diskusi dan nobar film “September Hitam: Problem Perlindungan Pembela HAM, Dulu dan Kini,” di LBH Surabaya. (Foto: Wahyu Eka S./beritabaru.co)

Pembela HAM dan Penegak Demokrasi, Kini dan Dulu



Opini – 15 Tahun kepergian Munir memang masih menyisakan sesak di dada, melihat sebuah realitas di mana keadilan seakan-akan tak pernah berpihak pada mereka yang memperjuangkan keadilan. Hingga kini Negara tak mampu mengungkap siapa dalang kepergian Munir, bahkan mereka yang terlibat dalam kasus ini, seakan-akan bebas melenggang tanpa dosa.

Impunitas, itulah yang semakin ditegaskan oleh Negara bagi mereka yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Tak sekalipun mereka tersentuh oleh hukum, masih bebas berkeliaran di ruang-ruang politik, semakin jumawa dengan menunjukan relasi kuasanya. Bisnisnya ada di mana-mana, menguasai sektor-sektor penting pemerintahan. Parahnya, turut pula mengendalikan aneka aturan yang ada di Negara ini. Tak ada ruang keadilan bagi mereka yang telah terampas haknya, ataupun yang tengah mempertahankan hak-haknya.

Narasi di atas terekam jelas pada saat LBH Surabaya menggelar nonton bareng dan diskusi dengan tema bertajuk “September Hitam: Problem Perlindungan Pembela HAM, Dulu dan Kini,” 12 September 2019, tepat pukul 18.00 WIB. Sebelum memulai diskusi, penonton sejanak diajak untuk menonton film tentang sosok almarhum Munir berjudul “Kiri Hijau, Kanan Merah,” karya Watchdog.

Pembela HAM yang Terancam

Pasca film selesai diputar, diskusi pun dibuka oleh testimoni para pembela HAM yang tengah berjuang untuk mempertahankan hak-haknya. Ada sosok Dian Purnomo selaku pejuang lingkungan hidup, yang kini tengah berjuang untuk melestarikan waduk Sepat dari rencana ekspansi pengembang besar Ciputra. Dian sendiri juga korban kriminalisasi oleh pihak korporasi yang dilegitimasi aparatus negara. Beberapa bulan yang lalu ia harus mendekam di balik jeruji besi Rutan Medaeng, karena dituduh pihak Ciputra melakukan perusakan atas properti mereka.

“Saya dituduh melakukan perusakan dan mengajak orang merusak properti Ciputra di waduk kami. Mana mungkin kami merusak. Kami hanya ingin menghentikan aliran air yang deras dari waduk, mereka ingin mengeringkan waduk. Jelas, merekalah yang tidak patuh aturan. Saya dan Pak Darno malah dikriminalisasi atas tuduhan yang tak berdasar.” Ungkap Dian saat menjadi pembuka diskusi.

Padahal waduk Sepat yang tengah diperjuangkan Dian dalam posisi sengketa, serta bukti-bukti sangat lemah untuk menunjukan keterlibatannya. Namun, hukum tidak berpihak pada mereka yang melawan, orang-orang pinggiran, atau jamaknya orang kecil. Dian saat itu bersama Darno yang juga penjuang lingkungan, harus menerima putusan bersalah dari hakim atas tindakan yang tidak mereka lakukan.

Beda dengan Dian, Anindya sendiri merupakan seorang mahasiswi yang aktif dalam kegiatan berkaitan dengan isu-isu perempuan, buruh dan sosial lainnya. Ia juga merupakan pembela HAM yang terkena beringasnya UU ITE. Padahal apa yang dilakukan olehnya, jauh dari yang dituduhkan, bahkan tidak pernah terbukti atau memenuhi unsur merugikan orang lain.

Anin hanya ingin menyuarakan suaranya yang tidak terfasilitasi oleh media mainstream, dengan menuliskan unek-uneknya di media sosial. Tidak ada ujaran kebencian atau provokasi, justru faktalah yang tersaji dalam tulisannya. Namun pasal karet bernama ITE tersebut memang diciptakan untuk melabrak mereka yang kritis pemikirannya, bagian dari kuasa negara dalam mengontrol rakyatnya agar patuh dan tunduk.

Baik Dian maupun Anin, hanyalah segelintir pembela HAM yang terancam hak-haknya. Mereka berjuang untuk mempertahankan hak atas hidup, terjaminnya kebebasan rakyat dalam berpendapat, serta menegakkan amanah konstitusi tentang kemanusiaan yang adil dan beradap, serta keadilan bagi seluruh rakyat. Namun semua itu tak berarti apa-apa, kala para predator politik berkuasa.

Pembela HAM dan Problemnya

Diskusi lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang pembela HAM. Kali ini pembahasan dilakukan dalam kacamata seorang pembela HAM yang berprofesi sebagai dosen. Herlambang P. Wiratraman namanya, sosok akademisi yang selain menjadi pengajar di Fakultas Hukum UNAIR, juga bergiat di lembaga kampus bernama Human Right Law Studies atau dikenal dengan HRLS. Selain itu ia merupakan alumni LBH Surabaya yang bergiat kala semasa almarhum Munir masih hidup.

Dalam pembuka sesinya ia menceritakan tentang almarhum Munir yang masih terekam kuat di ingatannya. Berjumpa dengan almarhum Munir itu menarik, karena ia merupakan manusia yang istimewa, kisah Herlambang pada peserta diskusi. Ia lalu melanjutkan ceritya saat masih bergiat di LBH Surabaya.

Herlambang menceritakan tentang situasi Jawa Timur saat sedang ramai-ramainya gerakan mahasiswa. Saat itu memang ada kasus waduk Nipah di Madura pada tahun 1993. Masih pada tahun yang sama ternyata juga bertepatan dengan kasus Marsinah. Menurutnya Mahasiswa saat itu mencoba untuk terlibat dalam advokasi dan solidaritas, tetapi malah dilarang oleh almarhum Munir. Ia kemudian mengatakan pada peserta diskusi, alasan mengapa almarhum Munir melarang mereka untuk turun langsung.

“Mau mati apa. Jangan, jangan kalau di situ akan setor nama tambah masalah lagi.” Kata cak Munir kepada mahasiswa saat itu, sebagaimana yang diceritakan oleh Herlambang.

“Saya akhirnya paham apa yang dimaksudkan cak Munir dari situlah pembela HAM harus ada pembekalan dan pengetahuan, tidak asal-asal turun advokasi atau solidaritas pada setiap kasus. Harus ada strategi, komunikasi, dan tukar infotmasi serta langkah yang matang.” Cerita Herlambang kepada para peserta diskusi yang rata-rata didominasi oleh anak-anak muda.

Herlambang lalu menambahkan, sejak 20 tahun pasca rezim otoritarian Suharto tumbang. Problem yang dihadali oleh pembela HAM era dahulu dengan sekarang memiliki diskursus yang berbeda. Jika pada saat era Suharto diskursus pembungkaman hak rakyat bekerja sangat rapi dan sistemik. Ada peran ‘Ideological State Aparatus‘ (ISA) dan tentu juga ‘Repressive State Aparatus‘ (RSA). Contohnya stigma komunis, hari ini menimpa Budi Pego yang seorang penjuang lingkungan hidup. Di situ baik ISA maupun RSA berperan aktif, terutama dalam stigma komunis. Ia juga menegaskan perbedaan antara zaman orde baru berkuasa dengan masa sekarang ini.

“Kekerasan di era orde baru sangat rapi, karena centralized power, sangat terpusat. Berbeda dengam kini yang lebih decentralized power, atau desentral ke daerah-daerah. Coraknya jika orde baru sistematis dan masif, maka di era pasca reformasi sangat tampak tidak sistematis namun masif,” kata Herlambang peserta diskusi.

Dalam penutup sesinya Herlambang mengungkapkan tentang kriminalisasi pembela HAM. Jika pada zaman Suharto kriminalisasi tidak banyak terjadi. Menurutnya yang paling dominan adalah pemenjaraan aktivis dan pembredelan pers.

“Saat itu kriminalisasi minim. Untuk membungkam pembela HAM bukan lagi melalui skema mekanisme sidang seperti sekarang, tetapi langsung dimasukan ke dalam penjara. Kalau sekarang, era pasca Suharto lebih demokratis. Demokratisnya adalah menggunakan institusi negara. Jadi, merepresi rakyat tidak lagi dengan cara pakai kekerasan, tetapi pakai produk UU.” Tambah Herlambang

Munculnya UU terkait memang menunjukan bahwa otoritarian tidak pernah hilang, mereka hanya berganti bentuk seolah-olah demokratis. Aturan tersebut justru menjadi faktor determinan yang akan mengancam dan melemahkan gerakan. Satu proses melemahkan menggunakan instrumen negara berupa UU dan tindakan berlebihan hingga berujung kekerasan atas dalih keamanan negara. Fenomena kriminalisasi kini menggunakan institusi negara dan pengacara komersil. Celakanya kekerasan menggunakan yang menggunakan instrumen hukum dan politik negara, pada konteks lain juga digunakan oleh sesama warga sipil itu sendiri. Contohnya, UU ITE yang digunakan untuk melemahkan pembela HAM. Baik oleh tangan pertama ataupun tangan kedua, senantiasa menjadi ancaman dalam gerakan.

Kembali lagi, bahwasanya kasus Munir tidak tuntas, karena masih ada impunitas. Karena impunitas juga kekerasan masa lalu dibiarkan. Ada kasus 65, Papua, Aceh dibiarkan dan dianggap tidak ada. Hari ini pasca 20 tahun Suharto, malah menguatkan mata rantai impunitas. Artinya tidak ada niatan untuk memperbaiki yang ada dan semakin parah. (*)