Pejuang Adat Papua Datangi MA untuk Selamatkan Hutan dari Ekspansi Sawit
Berita Baru, Jakarta – Pejuang lingkungan hidup dari masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin kembali mendatangi Mahkamah Agung (MA) untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang terancam oleh perusahaan sawit. Kedatangan kali kedua ini dihadiri oleh figur publik seperti Melanie Subono dan beberapa organisasi masyarakat sipil.
Bersama dengan masyarakat Awyu dan Moi Sigin, hadir juga beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat sipil seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL). Mereka mengenakan baju adat dan membawa banner dengan pesan “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”.
Rombongan tersebut memiliki dua agenda utama: menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat dan mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pada Maret dan awal Mei lalu.
“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak? Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, ini karena kami menunggu-nunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dikutip dari Greenpeace, Selasa (23/7/2024).
Hendrikus mengajukan gugatan terkait izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), yang memiliki izin seluas 36.094 hektare di hutan adat marga Woro. Selain itu, masyarakat adat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan terhadap PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya yang memiliki konsesi seluas 65.415 hektare di Boven Digoel.
Sub suku Moi Sigin juga melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membuka 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka.
“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan juga gerakan #AllEyesOnPapua yang viral beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Diana Klafiyu, perempuan adat Moi Sigin, berterima kasih atas dukungan yang mengalir. “Saya merasa senang dengan dukungan dari semua orang yang sudah menandatangani petisi mendukung kami suku Moi dan suku Awyu. Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.
Kiki Nasution, pemilik siniar Sabda Bumi, mengungkapkan alasan mendukung perjuangan suku Awyu dan Moi Sigin. “Dulu saya melihat perubahan iklim itu semacam hitam-putih: dengan tidak memakai plastik itu sudah menyelamatkan Bumi. Namun setelah belajar dari masyarakat adat, saya baru sadar bahwa perubahan iklim itu isu yang interseksional, berhubungan dengan kesenjangan dan berbagai ketidakadilan lainnya,” kata Kiki.
Masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin menganggap hutan adat sebagai warisan leluhur yang menghidupi mereka turun-temurun. Hutan ini adalah tempat berburu, sumber makanan, obat-obatan, dan identitas sosial budaya mereka.
“Menyelamatkan hutan Papua bukan hanya bakal memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas, tapi juga menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya yang kita miliki dalam peradaban ini,” ujar Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia.
Dalam aksi hari ini, perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi menyerahkan petisi dukungan publik kepada lima hakim dari Biro Hubungan Masyarakat MA. Menurut Tigor Hutapea, para hakim menyampaikan akan meneruskan petisi ini kepada hakim agung di kamar Tata Usaha Negara. “Mereka menyatakan MA sudah berkomitmen melakukan pelindungan lingkungan hidup, termasuk juga melindungi masyarakat adat. Hakim juga akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Ini sedikit kabar baik. Semoga perkara yang sedang ditelaah membuahkan hasil baik untuk masyarakat adat dan masa depan hutan Papua.”