Pasca Kudeta, Mali Akan Mengkonfirmasi Tanggal Pemilihan pada Desember
Berita Baru, Bamako – Setelah melakukan konsolidasi tentang reformasi nasional pada Minggu (24/10), seorang perwakilan dari delegasi Dewan Keamanan PBB mengatakan bahwa otoritas sementara Mali akan mengkonfirmasi tanggal pemilihan umum pada bulan Desember mendatang.
Batas waktu Desember itu pertanda bahwa kepemimpinan militer Mali kemungkinan akan memperpanjang transisi 18 bulan ke aturan konstitusional yang awalnya dijanjikan akan berujung pada pemilihan presiden dan legislatif pada 27 Februari 2022.
Delegasi PBB bertemu dengan otoritas transisi, partai politik dan perwakilan masyarakat sipil di Bamako selama akhir pekan untuk menilai kemajuan Mali kembali ke demokrasi setelah penggulingan Presiden Mali, Ibrahim Boubacar Keita pada Agustus 2020.
Duta Besar Nigeria untuk PBB, Abdou Abarry mengatakan mereka diberitahu bahwa pembicaraan reformasi nasional pada bulan Desember akan menyetujui jadwal pemilihan yang akan diumumkan segera sesudahnya.
“Meskipun kami tidak dapat menolak reformasi, kami tidak boleh menunda akhir transisi,” kata Abarry dalam konferensi pers, dikutip dari Reuters.
Pada bulan September, Perdana Menteri sementara Choguel Maiga mengatakan pemilihan dapat ditunda “dua minggu, dua bulan, beberapa bulan” tetapi keputusan akhir akan diambil pada bulan Oktober.
Afrika Barat dan Tengah telah mengalami empat kudeta sejak tahun lalu. Pergolakan politik itu meningkatkan kekhawatiran tentang kemunduran terhadap kekuasaan militer di wilayah penghasil sumber daya tetapi dilanda kemiskinan.
Beberapa peserta non-pemerintah Mali dalam pembicaraan terakhir mengatakan mereka mendukung penundaan pemilihan asalkan pihak berwenang menggunakan transisi yang diperpanjang untuk melaksanakan reformasi dan mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri satu dekade ketidakstabilan dan konflik.
“Kita harus melakukan semua ini sekarang. Jika tidak, kita akan mengadakan pemilihan dini dan berisiko mengalami kudeta lagi dalam beberapa tahun,” kata Attaye Ag Mohamed, kepala delegasi dari aliansi pemberontak yang dipimpin oleh Tuareg Koordinasi Gerakan Azawad.
Pada bulan September, menteri luar negeri Prancis mengatakan kepada PBB bahwa upaya militer Prancis untuk memerangi terorisme di wilayah Sahel Afrika Barat tidak akan berkelanjutan tanpa stabilitas politik dan penghormatan terhadap proses demokrasi.
Menurut laporan PBB, serangan kekerasan di Mali, Nigeria, dan Burkina Faso meningkat delapan kali lipat dari 2015 hingga 2020. Pergolakan dan kekerasan itu kemudian memaksa 2 juta orang meninggalkan rumah mereka dan meninggalkan petak-petak wilayah di luar kendali pemerintah.