Ode Buat Yuven Gening | Puisi-Puisi Faustina Hanna
Ode buat Yuven Gening, 1
; sehimpun catatan kecil baginya
I
Konon, senyumnya itu dapat menggetarkan mentari.
II
“Senyum serta pancaran matanya, …teduh…”
bisik perempuan penyair itu.
III
Kau pemilik hati seorang perempuan penyair yang mengagumimu.
IV
Kepada diri:
Akan ada suatu titik di mana kau menyadari, bahwa selama ini
sudah terlampau sering kau berpikir mengenai (bahkan cenderung
melindungi) hati orang lain.
Dan telah tiba saatnya, kau mesti lebih peduli terhadap kesehatan
serta kebahagiaan hatimu sendiri, perempuan!
V
Mencintaimu; seni untuk terjun ke dalam sebuah negeri dongeng
— membangkitkan imaji tentang hutan tersembunyi yang ditumbuhi
cahaya magenta
bersama sumber air danau yang bertuak
Menelusuri lalu menerjemahkan dirimu, bagai memasuki sebuah
negeri dongeng.
Jejakku yang terasa kian menjauh dari dunia nyata itu, dibimbing
oleh ibu peri bersayap keperakan (penjelmaan puisi yang ditingkahi
asmara). Paras berseri ibu peri seperti pelangi. Pun seperti matahari.
Lantas mengapa dan bagaimana,
apa yang kini dapat terlindungi oleh dinding-dinding bersuara
dari kastil purba,
kala aku membiarkan diri terbuai
di tengah keajaiban, keindahan,
keunikan
bahkan pada setiap yang absurd,
di dalamnya.
VI
Hati serta jiwa perempuan senantiasa jujur, bergerak mengalir secara alami.Apabila ia merasa nyaman dan dapat membentuk kesejatian dirinya,niscaya ia tidak akan pergi ke mana, sebab ia telah menemu rumahdi dalam jiwamu.
VII
”Jika ingin menaklukkan hati perempuan, kirimkanlah berpuluhkembang cantik ke tempatnya, agar dapat ia taburkan pada kesucianpembaringannya saat malam tiba nanti, di ruangnya yang palinghening, yang paling pribadi…”
Namun, melalui setangkai mawar merah pun baik,
yang terpenting jangan kau sertakan duri tajam padanya. Duri-duri yang
sesungguhnya sanggup kau lenyapkan
dengan ketulusan hatimu.
VIII
Hiduplah sebagai seorang seniman.
Bebaskan hatimu, isilah jiwa dengan ilmu, lantunan musik, serta
gemericik alam.
Lahirlah puisi,
lahirlah puisi bagi kehidupan. Laksana keindahan taman firdaus.
#pekerjaan bersaksi mengenai kepatuhan,
cinta mengenai kemurnian
dan seni bersaksi mengenai keindahan#
Jiwa para seniman seumpama sepasang sayap pada burung, dalam
pengembaraannya ia akan berjuang
‒ menghirup dalam-dalam kebebasan dan berkembang
Janganlah pernah mencoba untuk mengendalikan kepak sayap itu.
“Di tengah pusaran seni,
kau perlu bergairah
sekaligus menggairahkan.”
IX
Malam tidak akan pernah alpa mengunjungimu, apabila kau tulus
dalam memuliakan puisi,
dan segala yang hendak lahir
atas nama seni.
Malam yang terlebih panjang tengah menuntunmu pada sebuah
pertanyaan:
manakah yang lebih pelik,
memperlakukan seorang perempuan
ataukah
memperlakukan puisi?
Namun, lagi-lagi (jiwa) keduanya tidak pernah suka dikendalikan.
Berhati-hatilah menamainya dalam hatimu, sebab tatkala perempuan
terlampau mencintai, dirinya akan bertingkah
serupa mawar merah yang menyangkal,
bahkan memusuhi
durinya sendiri.
X
Sewaktu kau telah siap dan berani dalam keputusan untuk mencintai,
maka setiap saatnya kau juga mesti selalu siap
untuk kehilangan. Yang pernah sedemikian tegar mengandalkan iman
dalam suatu ujian kehidupan itu, niscaya ia sanggup untuk lebih kuat,
dan lebih kuat lagi
pada perjalanan berikutnya.
Waktu beserta kesetiaan yang akan menunjukkan dan membuktikan:
siapa yang sekadar bertamu
dan
siapa yang hendak menjadi penghuni tetap
di dalam
rumah (jiwa)mu
XI
Ternyata kekaguman dapat bertumbuh dan bermekaran menjadi beberapa
kemungkinan manis
yang pencemburu
salah satunya ialah: Cinta
‒ menujumu ‒
Hampir tiada rencana di dalam ‘jatuh cinta’,
ia mengalir dengan sendirinya.
Arus deras dan magis sungai, tanpa rencana
yang mendahului
sebuah tanda tanya klasik
bagi saksi-saksi peradaban dan tamasya masa
XII
Kemudian, cinta itu…ialah ketika aku memandang keindahan
pancaran matamu
Ya, matamu.
/Dan aku selalu (ingin) jatuh hingga mabuk padanya/
Maka caraku menginginkanmu mewujud tubuh puisiku yang paling
rahasia.
XIII
Puisi dan bibir perempuan. Keduanya serupa, bukan?Betapa nisbi. Lantas, akankah kau (sengaja) mencipta dan memuja jarak?
Kau nyaris beruntung jika penglihatan seorang perempuan penyair
memilihmu. Barangkali sepasang matanya memang kurang berguna
bagi degup jantungmu,
namun berhati-hatilah: sehimpun sajaknya itu sudah pasti berbahaya bagi
hatimu.
XIV
#setiap yang patah
justru menjadi indah
di dalam koridor puisi
“Sebuah alasan bagiku untuk terus bertahan dalam kobaranku,
tatkala aku menemukan api kemerdekaanku
di dalam apimu.”
Sebab pada hakikatnya, jatuh cinta ialah perihal menemukan jiwamu sendiri
di dalam jiwanya.
XV
Cinta membutuhkan perjuangan dari kedua belah pihak. Jika hanya
sepihak saja yang berjuang, maka akan timpang
cinta itu tidak akan bisa tumbuh
menjadi keabadian (baca: kasih sayang).
Di balik tawa serta keceriaan lepas seorang yang mudah kita lihat, kita
tidak akan pernah tahu dan dapat mengukur,
sebetapa keras kisah perjuangan dan sejarah panjang yang telah terukir
di dalam dirinya itu.
‒ Setiap kita memiliki kegetiran masing-masing;
Tuhan adalah Batu Karang, sumber kekuatan ‒
XVI
“Tuhan……
anak-Mu ini telah jatuh cinta.”
(20 Juli 2021, 12.49)
XVII
Aku mencintaimu, namun rupanya sajak-sajakku telah melakukannya
lebih terampil dibanding diriku sendiri.
XVIII
Menghujanimu dengan amarah yang menyala-nyala, untuk kembali
jatuh cinta
padamu
Berkali-kali.
Hatimu: kelembutan yang membuatku betah menetap. Lantas menyelam
hingga mencapai dasarnya.
XIX
Sebagai perempuan, ketika dirinya berulang dipertahankan, maka ketulusanbahkan pengurbanan atas nama cinta akan mengakar lebih kuat,dan lebih kuat lagi.
Sebuah perasaan hati yang tulus, akan selalu mampu dan bertekad
menyelamatkan dirinya sendiri, bahkan jauh sebelum kita berupaya kembali
untuk tetap mempertahankannya.
XX
Bibirku yang telah menggurat alur perenungan
yang menentang
kesepian,
pada tubuhmu.
XXI
Ada kalanya perempuan harus keras, tegas, dan kokoh, bahkan melampaui
batu.
Ada kalanya perempuan menguasai peranannya yang begitu lembut, serupa
jemari angin yang terampil membelai kelopak mata serta rambutmu.
XXII
Seorang lelaki dapat menyisipkan tangkai mawar di telinga beberapa
perempuan,
namun perempuan: ia akan begitu tegas melewati sosok-sosok di sekeliling,
jiwa raganya hanya tertuju padamu seorang, untuk tiba dan menyematkan
mawar itu pada dada kirimu,
sebab dada itu satu-satunya yang ia cintai.
XXIII
Cinta adalah cambuk,
sedang puisi adalah candu
XXIV
Sungguh pancaran matanya seumpama sungai;
Perempuan itu digetarkan sungai,
terjun hanyut dalam arusnya.
Maka jadilah sungai yang membuatnya bergairah!*
10 Oktober 2020 – 11 Februari 2022
* kutipan sajak “Perempuan Itu Tak Mencintaimu” karya Mahmoud Darwish.
Pada Persimpangan Kedua
: kenangan
/1/
sayang;pelajarilah bilamana rembulan berikhtiar membangun meriam waktu dari serat-serat tubuh masa lalu. yang ketika semalam memuncak, dan bersepakat tentang pesta-pora jantung baja jakarta.
di sana kali keruh seolah lagu, kemudian bergemuruh berkali-kali menjadi erangan jiwa yang paling ganjil. kau tahu mengapa ia ditampilkan begitu mesra bersama spanduk raksasa kota?
/2/
maka pandangilah dengan hati sepahit buah maja, helai rambut ini mesti memohon-mohon, namun tetap memilih luruh bersahaja dari kepala, perlahan-lahan
tahun demi tahun
kota ke kota
−ia amat merindui desa−
: menentukan ke mana jatuhnya muara diri yang baru (kau tegaskan lagi, bukan aroma pulau yang pencemburu)
/3/
berkabarlah segera. sebelum zaman duka kini serupa muda-mudi dalam dongeng ajaib; masih pantang bercerita akan geliat pemantik sunyi, kembang api pergantian tahun yang lembap terpasung di perut gudang, atau pola tanduk basah yang dipinjam dari menjangan jantan, yang kian berhamburan menggambar indah kerangka jendela sepanjang dapur para peronda. bersama-sama mereka tahu, dan tentu kita sadar benar:
cincin pertunangan dari lingkar jerami sepi ini belum menarik garis panjang kepada nirwana jiwa yang lapang. nyatanya, di sana − pada persimpangan kedua − segenggam manset kuning gading beraroma rokok tua (untuk baju pernikahan) milik gadis perawan, konon terburu-buru pergi, demi memburu bibir-bibir pedas tetangga.
/4/
ya, terima kasih, sayang.
untuk kepulangan besar kepada masa lalu. telah mengingatkanku, bahwa keseluruhannya itu adalah segenap pemikiran, dan kenangan lusuh yang belum rapi disetrika oleh ibu. pagi-pagi buta ini. dan sungguh… sungguh ingin kutenggak secangkir penuh rindu untuk menjenguk namamu: sepuluh tahun mendatang.
hmm biar kupastikan, sepuluh tahun mendatang
di batu nisan yang paling jauh. yang
paling jauh. yang diyakini utuh oleh sakral cintaku.
2012
Diorama Percintaan dan Kemurkaan Laut
− bersama Christina Fransisca
Berdesir jauh dari pengakuan rasa takut akan
pasang diri
Merendah, menunduklah cepat agar selanjutnya lebih tinggi!
Angin laut mendahului serangkaian gerakan nalar
pasir yang mengunci kisah klasik dua perempuan.
Pada simpul mati lembayung selendang bercorak
kembang melati
terbentang; menafsir sejatinya perjumpaan langkah-langkah
juga keranda prasangka
di bibir pantai.
Tentu pada mata bening musim, ia belum ingin
gagal pulang,
sebab kami sadari kian sia-sia dada kesetiaan
yang bertahun-tahun sudah dilubangi; anak-anak tangga
yang telah batal menuju perjamuan.
Amarah-amarah berjarak yang dahulu kaku;
dikristalkan menjadi selebrasi, guntingan kartu ucapan, serta
ciuman membisu di atas lantai dansa.
Makan malam tersaji telah telanjur dingin; bangkai-bangkai
lilin merapat ke daun telinga arloji kuno yang tertidur. Dua
bangku terbalik mulai merindu untuk saling berhadapan
lagi dan tertimbun hujan kelopak mawar yang tumpah
dari kulit telapak tangan lelaki kami.
Bersama dalam salah satu genggamannya: satu-dua
lembar tersisa foto kekasih yang basah,
untuk kemudian berpisah. Diikuti oleh dengung kota
jakarta serupa marah lebah
betah bersarang di sepasang jurang lutut.
Kami masih bertekad dan berjuang untuk berduka
ketika kemudian lelaki yang menentang kehendak
laut, telah terjun demi mencapai dasar jurang itu:
abu-debu cinta tiada hentinya bercermin murung di hadapan
batu-batu penjuru yang tumbuh oleh rasa cemburu semu.
Tegak menjaga sebagai suatu penanda
— perjanjian abadi yang dipercikkan dari surga
Merdeka dari bahaya cuaca dan usia.
April 2018
Perempuan Tionghoa yang Air Matanya Membakar Kuil
Menjelang pagi terasing, anak lelaki itu kembali mengunjungiku dalam mimpi. Begitu singkat ia telah tiba di hadapanku, sinar matanya berubah keemasan yang mengutip kecemasan. Daun telinganya melebar lalu tertekuk, menutupi rapat lorong sempit perjalanan panjang menuju kehidupan setelah kematian. Setiap manusia menunggu tersihir, tergila-gila, dan mendambakan kematian demi melaluinya. Tiada jalan untuk menyesali, tiada jalan untuk kembali. Bagi mereka.
“Kak, jika seorang perempuan berduka, apakah bulu-bulu perak bercahaya dari sayap di punggungnya akan berguguran? Menyerbu udara.
Apa sepasang sayapnya berkepak tiada beraturan, rambutnya nampak begitu hitam menyerupai dendam seekor gagak, kulit tubuhnya licin dan berkilauan?”
“Anting di telinganya pun bersuara lirih seiring ketukan-ketukan doanya yang membelit kuil.”
Secepatnya mataku mengikuti arah telunjuk anak lelaki itu. Harum dan gema pemujaan, sesosok perempuan dengan rambut panjang yang tergerai berdiri tidak jauh, di sana. Ia tersenyum mengerikan. Matanya menyipit serupa ular, kuku tangannya tumbuh tajam memanjang. Di sebuah kuil tua, di kaki gunung berkabut tebal. Gumpalan awan membentuk tangan setia dan bijaksana para leluhur. Seketika saja waktu terasa berhimpun menjadi suatu pengadilan besar dalam sangkar. Membelenggu masa lalu, menghukum dan mengutuk masa depan.
“Dengan bibir yang pucat, ia selalu minum dari air berkat yang dijatuhkan dari langit, atau dari air matanya sendiri. Air matanya berkali-kali telah membakar, sekaligus membangun kembali kuil dalam waktu hanya sepertiga malam.”
Anak lelaki berseru, bahwa ia telah mencabut kaki kiri perempuan di kuil untuk dibawa kepadaku. Ia segera menunjukkan pesan di bawah telapak kaki itu, pesan yang dituliskan dengan darah:
Aku mesti datang kepadamu sebagai sebuah pernikahan
Pernikahan yang barangkali tidak pernah memiliki ruang penyambutan
Juga pesta
Bagi para tamu
Di bunga dadamu
Ketakutan dan bersembunyi dari suara dewa,
Mempelai lelaki telah mengubur helaian rambut hitamku
Hingga tiada seorang pun sudi mendoakannya
Jangan sampai menyimpan helaian milikmu, di balik ranjang pernikahan nantinya
Bakar,
Bakarlah!
Musnahkan
Sebab sejatinya, cinta tidak pernah menjelma rambut
Yang dikurbankan di luar kulit kepala
Jangan sisakan,
Jangan ciptakan keabadian dalam suatu tabir kehilangan
2017
Faustina Hanna, lahir di Jakarta, 5 April 1987. Penikmat seni dan budaya. Sehari-hari bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, aktif menulis puisi, freelance Graphic Design, dan menekuni dunia kuliner Nusantara. Sajak-sajaknya terbit di Republika, Media Indonesia, Jurnal Nasional, BWCF (Borobudur Writers & Cultural Festival), Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Banjarmasin Post, Rakyat Sultra, Lombok Post, Bali Post, Tribun Bali, Nusa Bali, Pos Kupang, Radar Cirebon, Radar Lampung, Radar Mojokerto, magrib.id,berandanegeri.com.
Beberapa sajaknya terhimpun dalam antologi bersama Kutukan Negeri Rantau (Forum Sastra Bumi Pertiwi, 2011), Jembatan Sajadah, Kabar dari Negeri Seberang (UmaHaju Publisher, 2012), Kursi Tanpa Takhta (Writing Revolution, 2012), Berbagi Kasih (Penerbit Sahabat Kata, 2012), Antologi Bersama Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Kopi Andalas (2012), Nostalgia Filantropi Tiada Terbalaskan (Penerbit Jendela Sastra Indonesia, 2020). Turut bergabung dalam Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG).
Menjuarai lomba penulisan puisi, di antaranya: Juara 3 Sajak TKI (UmaHaju Publisher, 2012), Juara Harapan 1 “Ekspresikan Dirimu dengan Puisi” (Writing Revolution, 2012). Pernah menempuh pendidikan Desain Komunikasi Visual di Bina Nusantara Center, Jakarta dan berencana melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.