Muhammadiyah Sebut Ada Indikasi Pelanggaran HAM di Wadas
Berita Baru, Jakarta – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pengurus Pusat Muhammadiyah ada indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sejak perencanaan hingga pembebasan tanah proyek tambang batu andesit di Wadas, Purworejo.
Dalam rilis kajian yang dilakukan Muhammadiyah, disebutkan penilaian tersebut berdasarkan hasil observasi lapangan, diskusi kelompok dengan warga dan pemangku kepentingan, analisa hukum lingkungan serta kajian fikih lingkungan.
“Pertambangan batu andesit di Desa Wadas Purworejo terindikasi secara meyakinkan berdasarkan analisa pakar di bidang terkait memiliki problem hukum dan pelanggaran HAM sejak tingkat perencanaan hingga pembebasan tanah,” kata Ketua MHH Muhammadiyah, Trisno Raharjo dalam rilis tersebut yang dikutip Rabu (27/4/2022).
Trisno membeberkan salah satu persoalan yakni soal penentuan lokasi pertambangan yang tidak melibatkan aspirasi warga.
Tak hanya itu, terdapat indikasi persoalan yang fatal dalam administrasi terkait penggabungan izin pembangunan bendungan di Desa Bener dan pertambangan batu andesit di Wadas.
“Posisi pertambangan batu andesit di Desa Wadas yang dimasukkan ke dalam skema pengadaan tanah untuk ‘kepentingan umum’ sebagaimana tercakup pada proyek pembangunan bendungan, padahal aktivitas ekstraksi merupakan ‘kepentingan usaha’ atau komersial,” kata Trisno.
Lebih lanjut, Trisno menjuluki Proyek Strategis Nasional (PSN) di Desa Wadas sebagai proyek pemerintah yang ambisius. Meski demikian, proyek itu dibuat tanpa membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Akibatnya, terjadi krisis sosio-ekologis seperti buruknya keamanan lingkungan hidup yang berakibat pada bencana ekologis.
Kondisi demikian, lanjut Trisno, semakin memperluas kekerasan dan perampasan atas ruang hidup masyarakat di Wadas.
“Pada akhirnya, PSN hanya mempromosikan ‘mitos kesejahteraan’ ketimbang hasil nyata dari gerak pembangunan nasional,” kata dia.
Selain itu, Trisno menilai ada potensi kerugian negara dalam PSN di Wadas. Baginya, pembangunan yang belum jelas hasilnya akan berimplikasi mengorbankan kepentingan rakyat di lokasi pembangunan.
Lebih mengenaskan lagi, kata dia, tidak ada mekanisme musyawarah bersama seluruh warga Wadas yang terdampak. Walhasil, mereka menilai ambisi proyek ini merupakan demokrasi tanpa rakyat (demos).
“Karena itu, konflik di Kasus Tambang Wadas ini bisa dibaca sebagai konflik struktural antara kekuasaan negara-pasar dan solidaritas kewargaan masyarakat sipil. Belum lagi kekuatan buzzer bekerja nonstop dalam usaha untuk memutarbalikkan fakta,” kata dia.
Melihat rentetan persoalan itu, Trisno mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Kepolisian untuk menimbang dan menindaklanjuti temuan Komnas HAM.