Minimnya Peran Perempuan Dalam Penyelesaian Konflik SDA di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – The Asia Foundation (TAF) menyayangkan implementasi pencegahan dan penanganan konflik sumber daya alam (SDA) di Indonesia sangat minim akan peran perempuan, sehingga perempuan yang lekat dengan SDA menjadi kelompok paling rentan dirugikan baik di ranah domestik maupun publik.
“Kekerasan itu memang terjadi. Dan belum sepenuhnya bisa diselesaikan. Perempuan memang lekat dengan berbagai penggunaan SDA, dan juga menjadi kelompok yang paling rentan ketika perempuan tidak mempunyai akses,” kata Country Representative TAF Indonesia, Sandra Hamid, Senin (14/3).
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan pada 2021 terjadi 207 konflik di 32 provinsi, sedangkan tahun 2020 sebaran konflik 241 terjadi di 30 provinsi. Komnas Perempuan RI (2021) menyebutkan bahwa konflik SDA dan tata ruang juga tergolong konflik yang cukup sering terjadi di Indonesia dan berdampak terhadap perempuan.
Karena itu, upaya memperkuat skema penyelesaian kekerasan harus dibangun dengan melihat realitas dan mendengarpengalaman, kebutuhan, persoalan dan aspirasi perempuan di tingkat tapak. Di samping itu, menurut Sandra, penting juga diperkuat kebijakan pengamanan (safeguarding policy) bagi perempuan dalam menghadapi kekerasan.
“Di luar sana, terutama komunitas perempuan, mulai muncul dan menguatnya harapan publik agar perempuan dilibatkan. Pemerintah juga sudah mencoba untuk membangun skema pencegahan sekaligus penanganan kekerasan terhadap perempuan secara lebih bermartabat,” tutur Sandra dalam sambutannya di acara Webinar International Women’s Day (IWD) 2022, Senin (14/3).
Meski demikian, Sandra percaya terdapat beberapa kisah praktik baik perjuangan perempuan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
“Kita percaya bahwa pengalaman perjuangan yang akan kita dengarkan ini sangat berharga untuk bisa sama-sama kita pelajari,” katanya dalam webinar bertajuk Membangun Pengelolaan SDA yang Setara dan Inklusif tersebut.
Hadir dalam webinar tersebut beberapa tokoh perempuan yang menjadi narasumber. Kepala Distrik Merdey, Kabupaten Teluk Bintuni, Yustina Ogoney menceritakan bagaimana peran perempuan Adat dalam advokasi hutan adat di Masyarakat Adat marga Ogeney.
Ada juga negosiator perempuan komunitas perempuan di Olak-olak Kubu Raya, Kalimantan Barat, Ibu Ngatinah yang menceritakan mengenai bagaimana bersama kaum laki-laki berupaya menyelesaikan konflik SDA di wilayahnya.
“Tidak semata-mata kalau itu untuk perempuan, maka harus hanya dilakukan oleh perempuan dan menyingkirkan laki-laki. Ibu Ngatinah akan menceritakan nanti, bersama laki-laki justru mereka mengupayakan konflik SDA diselesaikan,” katanya.
Dalam diskusi yang disiarkan secara live streaming di YouTube Beritabaru.co tersebut dihadiri oleh 41 perempuan dari 4 provinsi, yaitu Damaran Baru (Aceh), Rejang Lebong (Bengkulu), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Poso (Sulawesi Tengah).
Sandra berharap, kegiatan tersebut dapat membangun kesadaran bersama akan pentingnya mengakomodasikan suara perempuan di tingkat tapak dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis SDA di Indonesia.
Webinar tersebut dihadiri oleh Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga, Kepala Bidang Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) Wilayah III Provinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan, Muhammad Zainuddin, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Rizkina Aliya dan Dosen Program Studi Kajian Gender, Program Pascasarjana Universitas Indonesia Mia Siscawati.