Mengenang Kalabengan | Cerpen: A. Khotibul Umam
Di ujung pulau itu, akan kau jumpai sebuah pantai dengan hamparan pasir putih membentang searah garis khatulistiwa. Bisa kau nikmati di sana gemulainya tarian ombak sepanjang hari. Di tepian pantai, bisa kau peluk batang-batang cemara yang tumbuh berjajar. Ranting-rantingnya pun merumbai manja. Di antara batang-batang cemara itu, bisa kau temui beberapa penjual kelapa muda yang tetap sabar menunggu para pembelinya. Pantai Lombang, begitulah orang-orang menyebutnya.
Jika kau bergeser sekitar tiga kilometer ke arah barat, akan kau jumpai sebuah perkampungan nelayan. Di sanalah, bocah-bocah pemburu belalang itu tinggal. Hari-hari mereka lalui dengan penuh kegembiraan di kampung pesisir yang lengang itu. Jauh dari hingar bingar kehidupan kota yang membikin pekak telinga.
Di antara pantai Lombang dan perkampungan nelayan itu, tak akan kau lewatkan sebuah hutan. Orang-orang menyebutnya hutan Kalabengan. Di hutan itu, tak akan kau temui pohon pinus, beringin, jati, mahoni, atau pun trembesi yang tumbuh di hutan sebagaimana lazimnya. Pun tak akan kau temui semak belukar yang tumbuh rendah di tanah humus yang menghampar sebagai lantai hutan seperti biasanya. Di hutan itu hanya tumbuh pohon-pohon cemara yang rerantingnya selalu menggerisik seakan saling berbisik. Pasir putih yang hangat di sore hari terhampar luas sebagai lantainya. Di pucuk pohon-pohon cemara itu, sering kali hinggap burung-burung yang merdu suara cericitnya.
Ketika di ujung musim penghujan, saat rintik hujan menyapa hanya sesekali dalam seminggu, cemara-cemara di Kalabengan akan dihinggapi ratusan bahkan ribuan belalang yang entah bermigrasi dari mana. Belalang-belalang itu senantiasa hinggap, melompat, dan terbang di sela reranting cemara yang merumbai indah. Begitu lapar, dengan lahap belalang-belalang itu akan memakan daun-daun hijau cemara yang bentuknya selaksa jarum. Dan tentunya, mereka datang ke Kalabengan bukan hanya untuk hinggap di ranting cemara, melompat, terbang kemudian makan. Namun, saat itu juga adalah musim di mana mereka akan berbiak di hutan Kalabengan.
***
Semburat jingga memancar dari arah timur cakrawala. Setiap pagi, bocah-bocah di perkampungan nelayan selalu berkumpul di atas perahu cadik yang tertambat di tepi pantai. Mereka biasa berkumpul di sana untuk menantikan detik-detik terbitnya matahari. Sesekali, desau dari angin pantai berkesiur halus menggoyangkan reranting cemara yang masih digelantungi embun.
Matahari telah bulat sempurna di atas permukaan air laut. Para bocah pulang ke rumahnya masing-masing. Biasanya mereka akan langsung meminta uang kepada ibunya sebelum kemudian berkumpul lagi di warung Mak Sahma untuk sarapan pagi. Dengan uang seribu lima ratus, akan mereka dapatkan sepiring topak koah dengan lauk ikan goreng dengan taburan sekkol dan sedikit sambal. Di warung itu juga terlihat ibu-ibu yang datang sambil mengemban anaknya. Hampir seluruh warga kampung berkumpul untuk sarapan di warung sederhana yang berdiri menghadap lautan itu.
Sepulang dari warung Mak Sahma, bocah-bocah itu akan mengambil sabun dan timba di masing-masing rumahnya, lalu pergi ke salah satu sumur yang ada di kampung itu. Mereka mandi beramai-ramai hanya dengan sepotong celana pendek yang membalut tubuh mereka. Bisa kau bayangkan betapa indahnya hidup di kampung itu, bukan?
Pukul setengah tujuh, bocah-bocah itu pulang ke rumahnya. Setelah memakai seragam merah putihnya, mereka akan berkumpul di pos ronda yang terletak di ujung selatan kampung, kemudian berangkat bersama-sama ke sekolah. Lazimnya, mereka akan mengantongi selembar uang ribuan di sakunya sebagai uang jajan.
Bel yang menggantung di depan pintu kantor sekolah, dipukul seorang guru pertanda waktu istirahat telah tiba. Bocah-bocah itu membeli jajan di warung yang berdiri di samping gerbang sekolah. Mereka biasa membeli beberapa tusuk telur puyuh yang digoreng bersama adonan telur ayam.
“Nanti jadi ke Kalabengan, kan?” tanya seorang bocah berkepala plontos kepada bocah-bocah lain ketika mereka duduk di pinggir tanéyan menyaksikan teman-teman lain bermain salodhurén.
“Tentu saja,” jawab seorang bocah yang memegang sebuah yoyo kayu bercat merah. “Iya kan teman-teman?”
“Betul, betul, betul…,” sahut bocah lainnya dengan meniru cara bicara seorang tokoh kartun yang sering ia tonton di televisi
“Nanti siapa yang bawa kecapnya?”
“Aku saja. Koreknya siapa?”
“Aku, aku.”
“Sabut kelapanya?”
Agak lama bocah-bocah itu terdiam. “Ya, sudah. Kalau tidak ada yang sanggup, aku saja yang bawa sabut kelapanya. Sekalian sama karungnya,” sahut bocah berambut keriting.
“Kumpulnya di rumah siapa?”
“Di rumahku saja. Rumahku kan yang paling ponca timur. Setuju?”
Serentak mereka semua mengangguk pertanda setuju.
Kemudian bunyi bel kembali terdengar. Bocah-bocah itu pun masuk ruang kelasnya masing-masing. Di benak mereka telah jelas terbayang hal yang akan mereka rencanakan nanti, sepulang dari sekolah.
Di atas kepala, matahari telah sedikit condong ke sebelah barat. Sesekali teriknya terhalang awan-awan tebal yang terbang beriringan seperti domba-domba di peternakan. Azan Zuhur telah dikumandangkan lebih dari satu jam yang lalu. Bocah-bocah itu pun berkumpul di rumah yang telah ditentukan. Masing-masing dari mereka membawa perlengkapan yang dibutuhkan: sabut kelapa kering, korek, kecap, juga sebuah karung beras berukuran kecil. Setelah semua berkumpul, bocah-bocah itu berjalan ke arah timur kampung. Canda dan tawa berselingan di sepanjang jalan. Gemerisik reranting cemara dan kerik belalang perlahan terdengar ramai di telinga, itu pertanda mereka telah sampai di hutan Kalabengan.
Mereka berpencar, tapi tidak sampai terlalu jauh. Langkah-langkah dipelankan. Tubuh-tubuh dibungkukkan. Masing-masing dari mereka mengendap-ngendap di bawah pohon cemara yang rantingnya menjulur rendah, sehingga tidak sulit bagi mereka untuk menjangkaunya.
“Wah!! Belalangnya banyak sekali, teman-teman!” seru bocah bercelana abu-abu yang kepalanya plontos setelah melihat banyak belalang yang hinggap. “Sepertinya hari ini kita benar-benar ngibèk, kawan!”
“Sssstt… jangan berisik! Nanti belalangnya pada kabur semua!” hardik bocah bertubuh paling gemuk.
Serentak mereka mengatupkan bibir rapat-rapat. Dengan cekatan, seperti sudah terlatih, satu per satu belalang-belalang yang hinggap mereka tangkap dengan tangan kosong. Belalang yang berhasil ditangkap, mereka masukkan ke dalam karung beras yang dipegang seorang bocah yang memang bertugas memegangnya.
“Lihat, teman-teman. Aku langsung dapat dua! Tadi mereka sedang akésaké!”
“Sssstt… jangan berisik!”
Hari beranjak sore. Jumlah belalang yang mereka tangkap kian banyak.
“Belalangnya sudah banyak, teman-teman. Ayo kita bakar, nanti keburu malam!” ujar bocah yang bertugas memegang karung.
“Benar. Ayo kita ke pantai sekarang,” sahut bocah berambut keriting.
Bocah-bocah itu berjalan ke arah utara. Tak lebih sepuluh menit kemudian, mereka pun sampai di tepi pantai. Salah seorang dari mereka mulai membakar sabut kelapa. Asap pun seketika mengepul terbawa angin. Seorang bocah mencari ranting cemara kering. Bocah lainnya sibuk memisahkan bagian kepala belalang dengan bagian tubuhnya. Bagian tubuh belalang itulah yang akan mereka bakar, setelah selesai dicelupkan pada air laut untuk pengganti garam. Kemudian mereka menyantapnya dengan kecap dan sedikit irisan cabai.
Matahari telah hampir tenggelam. Ditemani debur ombak yang tak pernah letih berkejaran, serta desir angin yang dinginnya seakan membelai badan. Bocah-bocah itu pun menyantap belalang bakar yang telah matang itu bersama-sama. Tanpa rasa sesal. Seolah mereka menjadi tuan dari kebahagiaan. Tak lama kemudian, petang pun jatuh perlahan di keluasan cakrawala pantai. Bocah-bocah itu pun pulang setelah sepakat untuk kembali lagi pada keesokan harinya.
***
Tetapi, cerita itu telah terjadi beberapa tahun silam. Jika kau pergi ke ujung timur pulau itu hari ini, tak akan lagi kau temui sebuah hutan cemara bernama Kalabengan yang terletak di tengah-tengah antara pantai Lombang dan perkampungan nelayan. Hutan cemara berlantai pasir putih, yang setiap akhir musim penghujan selalu disinggahi ribuan belalang dan juga telah ditunggu-tunggu oleh para bocah untuk memburunya.
Hutan Kalabengan kini telah benar-benar ditusuk kesunyian. Tak ada keramaian bocah-bocah yang berburu belalang, bermain ték-étékkan, atau sekedar mengambil belta untuk diberikan pada guru di sekolah. Cemara-cemara yang tumbuh di dalamnya, kini telah banyak ditebang dan di musnahkan. Tumbang bersama kenangan. Hutan Kalabangan kini telah dipenuhi jurang-jurang yang entah apa namanya. Tak ada yang bisa mencegahnya. Para penduduk dan bocah-bocah di perkampungan nelayan bisa apa? Tidak ada. Sama sekali tidak ada yang bisa mereka lakukan selain memangku tangan sambil memandang sayu tumbangnya cemara-cemara itu satu per satu.
Kini tak ada lagi cemara. Tak ada lagi tawa ceria bocah-bocah yang setia menunggu datangnya akhir musim hujan. Tak ada lagi belalang-belalang yang bisa mereka tangkap. Mereka semua telah hilang tanpa sempat tercatat dalam buku sejarah.[]
Yogyakarta, 2021
A. Khotibul Umam Kader Rayon Pembebasan (PMII) Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam, Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Catatan:
- topak koah :Ketupat Kuah (Bahasa Madura)
- sekkol : Serundeng (Bahasa Madura)
- akésaké :Bersetubuh (Bahasa Madura)
- ték-étékkan :PermainanPetak-umpat (Bahasa Madura)
- belta :Biji pohon cemara yang bentuknya hampir menyerupai buah duren tetapi lebih kecil bentuknya (Bahasa Madura)
- ponca: Ujung (Bahasa Madura)
- ngibèk: Istilah yang sering dipakai para nelayan jika tangkapannya melimpah ruah. (Bahasa Madura)