Memperkuat Kebijakan Transfer Fiskal berbasis Ekologi dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Tahun 2025
Opini: Ramlan Nugraha, ST, M.Si
Program Manager Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO)
Beritabaru.co – Februari lalu, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029. RPJMN akan menjadi dasar bagi pemerintah, baik di pusat dan daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan hingga lima tahun ke depan.
Dari sisi substansi, melalui RPJMN ini Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam aksi perubahan iklim salah satunya mendorong pengembangan inovasi pendanaan hijau, melalui instrumen transfer fiskal berbasis ekologi. Instrumen ini diharapkan dapat memperkuat optimalisasi pendanaan pembangunan dan berkontribusi terhadap agenda menurunkan emisi gas rumah kaca menuju net zerro emission tahun 2060.
Selain dalam RPJMN 2025-2029, kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi juga sebelumnya telah diatur dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2025.
Regulasi ini menekankan Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan angggaran pengelolaan lingkungan yang memadai, salah satunya dengan menerapkan skema insentif fiskal berbasis ekologi, yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE).
Di tingkat sektoral, insentif berbasis ekologi juga didorong sebagai skema creative financing untuk mencapai FOLU Net Sink 2030.
Kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi juga sejalan dengan yang didorong koalisi masyarakat sipil. Sejak 2017, PATTIRO bersama koalisi masyarakat sipil untuk pendanaan ekologis didukung TAF telah menginisiasi model Ecological Fiscal Transfer (EFT).
Model ini dirumuskan dalam bentuk transfer fiskal berbasis ekologi dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dibawahnya berdasarkan kewenangan dan kinerja pengelolaan lingkungan.
Hingga saat ini, sudah 44 pemerintah daerah yang menerapkannya, seperti Provinsi Aceh, Provinsi Kalimantan Utara, Aceh Barat Daya, Siak, Kubu Raya, Sigi, Maros, Jayapura, Kota Dumai dan Kota Parepare. Secara agregat, anggaran EFT yang telah dialokasikan berjumlah Rp471,8 miliar (lihat Data Koalisi Masyarakat Sipil per Februari 2025).
Penerapan EFT di daerah pun telah berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi desa, perlindungan lingkungan desa, dan partisipasi perempuan (Kajian World Bank 2024).
Berdasarkan pengamatan masyarakat sipil, pengaturan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologis atau Ecological Fiscal Transfer (EFT) baik melalui skema bantuan keuangan khusus maupun Alokasi Dana Desa di daerah dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah (Pergub, Perbup dan Perwali) masih belum terlalu kuat sebagai payung hukum karena rentan terhadap perubahan politis.
Kurangnya keberlanjutan dalam pelaksanaan kebijakan EFT disebabkan oleh terbatasnya jangka waktu alokasi dana yang bersifat sementara dan tidak konsisten, serta tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang yang berkelanjutan. Selain itu, landasan hukum dalam bentuk Perkada juga masih dianggap lemah.
Perkada yang seharusnya memberikan kepastian hukum sering kali rawan terhadap perubahan akibat tekanan politis atau dinamika pemerintahan lokal. Ketidakstabilan ini mengakibatkan kebijakan menjadi kurang efektif dan tidak optimal dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Dari kondisi di atas, menjadi penting bagi pemerintah mengintegrasikannya ke dalam regulasi yang lebih tinggi seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2025-2029.
Sehingga, tahapan penyusunan RPJMD 2025-2029 yang sedang dilaksanakan saat ini, menjadi momentum untuk mengintegrasikan kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi ke dalam dokumen RPJMD 2025-2029 agar lebih berkelanjutan dan selaras antara agenda pemerintah pusat dan pemerintah daerah.