Membaca Partisipasi Pilkada Tuban dalam Voting Behavior
Berita Baru, Tuban – Kabupaten Tuban akan menghadapi putaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun 2020. Calon-calon mulai bermunculan, menampilkan poster sebaik mungkin, agar kelak wajahnya mudah diidentifikasi oleh khalayak.
Dinamika perpolitikan Tuban semenjak Pilkada, tampak tidak terlalu dinamis. Bahkan di era demokratisasi masif, tampaknya tak menunjukan sesuatu yang signifikan.
Hal ini bisa dilihat dari partisipasi politik di Tuban selama Pilkada. Berdasarkan data dari KPUD Tuban Tahun 2015, tingkat partisipasi warga Tuban dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sebesar 52 persen. Dengan rincian DPT ada 936.786 suara, pemilih yang hadir 487.828 suara dan angka ketidakhadiran (golput) sebesar 448.958.
Sementara jika beranjak pada tahun 2018 kala Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim digelar, angka golput sendiri mencapai 379.834 suara dari total 925.104 suara.
Berbeda lagi jika dibandingkan dengan pemilihan presiden di tahun 2019, dari DPT yang mencapai 946.748 suara, hak pilih yang digunakan sebesar 769.473 suara. Lalu yang memilih golput sekitar 177.275 suara.
Artinya jika mengambil garis besar partisipasi pemilih di Tuban, ada diferensiasi yang mencolok jika dilihat dari tahun ke tahun. Angka golput semakin menunjukan penurunan, namun itu dalam pemilihan yang konteksnya berbeda. Namun angka pemilihan mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, walaupun begitu partisipasi masih cukup rendah.
Membaca dalam Voting Behavior
Voting Behavior (perliaku memilih) merupakan sebuah gambaran akan mengapa orang terlibat dan memilih dalam pemilu. Muljani (dkk., 2012) mengungkapkan bahwa pada dasarnya orang yang terlibat (engaged) dalam kehidupan civic culture tidak secara otomatis akan berpartisipasi dalam pemilu, jika memang pemilih tersebut tidak ingin berpartisipasi.
Karena itu kemudian dikenal adanya konsep political engagement (keterikatan secara politik) di mana di dalamnya memuat informasi politik atau pengetahuan politik seperti political interest (ketertarikan pada politik), internal efficiacy (kapasitas diri) dan partianship (identitas partai).
Perilaku memilih pada dasarnya menentukan arah seseorang dalam pemilihan umum. Berdasarkan jurnal berjudul Surge and Decline a Study of Electoral Change (Campbell, 1960) para konteks pemilihan umum dengan melihat pemilih reguler yang mengesankan berdasarkan jumlah pemilih pada pemilihan di Amerika.
Pemilih reguler ternyata memilih pada satu partai yang dirasa dapat mewakili aspirasinya, sementara yang tidak terkesan oleh partai politik, memilih untuk tidak berpartisipasi. Faktor-faktor yang menggambarkan perilaku memilih berdasarkan hasil penelitian Campbell (1960) yaitu:
- Short term political situation :stimulus kampanye hanya diberikan ketika mendekati pemilihan
- Underlying political interest: Perihal hal yang mendasari ketertarikan politik, seperti tanggapan mereka terkait dinamika politik hingga terkait lingkungan mereka.
- identification: kelekatan dasar secara psikologis pemilih dan partai, identifikasi atau menganggap dirinya secara ideologi telah terwakili salah satu partai
- Turnout: Perbedaan partispasi pemilih dalam beberapa kurun waktu yang lalu, merupakan dampak dari keadaan sekitar yang berubah-ubah. Sehingga lingkungan turut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih.
Gambaran Voting Behavior dalam Konteks Tuban
Dalam perilaku memilih sangat erat kaitannya dengan problem partisipasi politik di Tuban. Salah satu yang turut menjadi dasar pemilihan adalah berkaitan dengan kebijakan, tokoh dan kedekatan kultural. Tetapi paling mencolok ialah faktor underlying political interest dan party identification, yang mana lebih menyoroti pada ketertarikan serta apa yang melatarbelakangi mereka memilih.
Ketertarikan politik dalam konteks pemilu Tuban lebih berdasarkan pada kebijakan bupati selama ini, khususnya di sektor infrastruktur, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Isu-isu tersebutlah yang menjadi dominan dalam setiap pilkada. Tuban sendiri memiliki problem ekonomi, seperti angka kemiskinan yang masuk dalam 10 besar Jawa Timur.
Selain itu sebagai wilayah dengan banyaknya industri besar, telah terjadi banyak alih fungsi lahan dan konversi pekerjaan. Akibatnya terjadi deagrarianisasi, atau dalam istilah Van Klinken sebagai berpindahnya tumpuan produksi dari tanah ke sektor lainnya, serta menstimulus adanya perpindahan ke kota besar. Pada konteks ini partisipasi pemilih bisa semakin kuat atau mengalami penurunan.
Faktor lainnya ialah identitas, beberapa kader ormas agama dominan yang menjadi kader partai tertentu, memiliki implikasi untuk mempengaruhi pemilih di Tuban. Dominasi warna hijau erat kaitannya dengan kultur, sehingga ikatan satu identitas, simbol, mengakibatkan seseorang pemilih untuk mengutamakan kedekatan kulturalnya. Belum lagi sifat imperatif dari politik patronase, turut mempengarhi arah partisipasi. Namun ini hanya beberapa sebab yang turut menguatkan partisipasi pemilih.
Aneka kekecewaan, dengan situasi dan kondisi kebijakan yang tak mengakomodir masyarakat secara luas. Anggapan bahwa pemerintahan hanya dilakukan orang-orang tertentu, sementara peran masyarakat arus bawah dinafikan.
Menyebabkan ketidakpedulian terhadap pemilu, karena ada anggapan siapa saja pemimpinnya sama saja. Tidak ada perubahan signifikan dalam nasib mereka. Tidak ada pelibatan partisipatif baik dalam kebijakan di level atas ataupun di level bawah. Kondisi ini memunculkan sikap ketidakpedulian, sehingga turut mempengaruhi tingginya angka golput atau rendahnya partisipasi.