Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kampus Tengah Malam | Cerpen: Sarah Monica
Ilustrasi Cerpen: Tony Pereira

Kampus Tengah Malam | Cerpen: Sarah Monica



“Sudah dimulai rupanya,” gumamku waspada.

Gedung-gedung tua di salah satu kampus ternama Jakarta itu mendadak terang benderang. Lampu di luar maupun dalam gedung serentak menyala dari semula gulita. Bangku serta meja terdengar berderit dan berdebum digeser ke sana ke mari. Pekikan, rintihan, tawa yang menyayat menggemakan keriuhan malam.

Aku menghisap rokok dalam-dalam seraya menyeret langkah memasuki gedung tersebut. Empat bulan lalu aku memilih bergegas pulang ketika menyaksikan fenomena ini pertama kali. Lalu beberapa malam berikutnya, aku terpaksa melanggar protokol kerja karena mengajak kawan sesama penjaga untuk berpatroli bersama.

“Tidak semua petugas mengalami apa yang kamu alami. Tapi seiring waktu, semoga nanti akan terbiasa,” hibur Nurdin, satpam kampus yang sudah bekerja jauh lebih lama dariku.

“Kuakui dulu tidak seramai ini suasananya. Mungkin karena kampus telah kosong bertahun-tahun. Sekarang gaduhnya persis pesta tengah malam. Menguji mental kita betul,” ungkapnya saat menemani tugas patroliku di malam kedua.

Selesai pengecekan, puntung rokok aku injak. Meski gaduh, sejauh ini masih aman.

“Tapi ngomong-ngomong di mana perempuan itu?” pikirku.

Tepat ketika membatin, perempuan yang kucari sudah berdiri di bawah temaram bulan. Dari kejauhan sosoknya kelabu. Seperti malam yang sudah-sudah, ia menantiku, lalu mengarahkanku agar mengikutinya.

*

Selama beberapa bulan terakhir rutinitas malamku adalah berkeliling dari satu gedung ke gedung lain, antar fakultas yang saling berdekatan. Mengamankan serta memastikan segala sesuatu tetap pada tempat dan kondisi semestinya.

Kampus tempatku bekerja luasnya berhektar-hektar. Jarak antar fakultas berjauhan. Dipisah oleh pepohonan rindang yang sudah berumur lebih tua dari negara ini. Namun, sejak aktivitas perkuliahan berhenti total sekitar 10 tahun lalu karena pandemi, kampus menjelma kota mati.

Lembaga perguruan tinggi telah kehilangan fungsi. Seluruh administrasi dan kegiatan pendidikan secara permanen dialihkan ke daring. Akhirnya, bangunan-bangunan tersebut terbengkalai. Kosong, berdiri usang dalam keheningannya.

Sudah cukup lama pemerintah mencari cara agar gedung kampus tidak sekadar menjadi sampah ruang publik. Pada tahun lalu, keluar regulasi alihfungsi semua bangunan perguruan tinggi di Indonesia menjadi museum. Visi edukasi dan ekonomi harus saling melengkapi.

Manajemen dikelola secara berbeda dengan membuka penyewaan ruang dan gedung kampus bagi publik. Mereka yang ingin bernostalgia dengan suasana perkuliahan dapat berkunjung di siang hari dengan membayar tiket masuk.

Tidak hanya itu, ruang kelas, aula, dan taman tertentu bisa disewa untuk berbagai kebutuhan. Sebagai studio rapat, webinar, sesi pemotretan, maupu meditasi. Semuanya difasilitasi, sejauh memancing pemasukan.

*

“Kita butuh pegawai baru, Rif. Aku dan beberapa kawan harus pindah berjaga siang karena persewaan sedang padat. Jadi kurang orang yang jaga malam,” Eko tetanggaku, datang ke rumah menawarkan pekerjaan.

“Sudah bukan rahasia kalau kampus itu jadi lokasi pembuangan mayat korban kerusuhan massal tujuh tahun silam. Terlebih belakang kampus sekarang diubah jadi lahan pemakaman umum,” aku berkomentar sambil menyeruput kopi dari cangkir keramik.

“Soal perluasan TPU itu urusan Pemda. Di mana lagi Jakarta punya lahan untuk mengubur jenazah pasien Corona? Lagipula kamu bilang kemarin sedang cari pekerjaan?” tatapan Eko menyelidik.

“Tapi seringkali muncul berita orang hilang di kampus tersebut. Dan kasusnya tidak pernah terungkap hingga kini. Kuakui gajinya memang lumayan besar untuk ukuran profesi satpam, tapi belum cukup membeli keberanianku, Ko!” sergahku balas mendelik.

Eko bergeming. Dia seperti ragu-ragu mau menanggapi protesku. Sebatang rokok ia nyalakan demi menutup gelisah yang kentara.

“Sudah lama tidak ada lagi kasus menghebohkan semacam itu. Toh, kamu belum ada pekerjaan lain kan?” Eko tetap berusaha merayuku.

Memang benar. Selepas diberhentikan dari kantor berita cetak yang tutup lantaran pailit, sudah dua bulan ini aku menganggur. Istriku sering mengamuk karena tidak ada uang belanja. Kata-kata Eko membuatku berdebat dengan diri sendiri.

Setelah perang batin beberapa waktu, ditambah desakan kebutuhan rumah yang semakin mencekik, aku pun menyanggupi tawaran kerja sebagai satpam malam di kampus tersebut. Rasa lapar mengalahkan segalanya.

*

Malam itu udara begitu pengap. Tak ada angin. Terlihat dedaunan sedikitpun tak bergerak. Aku memperhatikan langit yang memerah. Mendung menelan cahaya bintang-bintang. Arloji di lengan kiri belum menunjukkan tengah malam, tapi kantuk mulai hinggap. Kugerakkan kaki menelusuri trotoar kampus. Suara jangkrik serta celepuk menjadi latar musik malam.

Tak lama berjalan, aku menangkap samar-samar percakapan di balik tembok bangunan kantin. Langkahku terhenti. Ragu, mau mendekati sumber suara. Kuarahkan lampu senterku, tetapi nihil. Setelah mengenyahkan rasa bimbang, aku memeriksa lebih cermat area tersebut.

“Sialan, harus sabar betul aku menghadapi kejadian macam ini,” makiku dalam hati setelah mendapati tiada seorangpun di sana. Masih lekat dalam ingatan, bagaimana Eko dulu meyakinkan bahwa tidak akan ada keanehan dari pekerjaanku sekarang.

“Arif..hihihi..ke siniii,” aku melompat terkejut. Suara tawa dan bisikan memanggilku bersamaan dengan gemerisik semak yang disingkap. Aku melihat sekilas dua bayang anak kecil berlari ke gelap rerimbunan.

Belum lenyap keherananku, gedung-gedung mulai menyala. Ruang kelas gaduh tanpa ampun. Teriakan, cekikikan, tangisan, percekcokan, saling bersahutan. Aku cek jam di ponsel, tepat tengah malam. Sambil menghela nafas aku pergi menjauh, menuju bangku taman. Aku sulut rokokku demi menghilangkan ketegangan.

“Kalau seperti ini terus, lama-lama aku bisa gila!” aku mengumpat keras-keras.

Tiba-tiba aku teringat belum bertemu dengan perempuan itu. Terkadang dia suka muncul di malam-malam tertentu, sendirian terpisah dari sumber kegaduhan dalam gedung. Tapi biarlah, aku sedang lelah mengikutinya. Tidak pernah mengerti ke mana dia mau membawaku.

“Dunia kami begitu sunyi. Ketika pergantian malam membuka pintu antar dimensi, kami menyebranginya untuk berbagai alasan. Sebagian demi menuntaskan urusan, sebagian lagi mencari penghiburan. Perjalanan, rutinitas yang memutar ini berakhir saat fajar menarik kami pulang,” desir angin mengantarkan sebuah suara yang memecah lamunanku.

Aku menoleh tertegun, sekejap ingin berlari, tetapi sosok laki-laki berusia senja itu melumpuhkanku. Seakan ada kekuatan yang memaksa diriku untuk tetap duduk. Ia tersenyum samar. Senyum yang dingin, sedingin tatapannya. Sesaat aku menggigil.

“Engkau sendiri apa yang menjadi sebab perjalananmu?” aku bertanya demi menaklukkan hawa takutku. Suaraku bergetar.

Kakek tersebut menyiratkan raut muram. Membuat sosok itu terlihat makin suram.

“Dari kepergiannya hari itu meliput berita, dia tidak pernah kembali. Hilang saat kerusuhan massal. Rakyat yang lelah oleh wabah dan kemiskinan terbakar amarah. Aparat dan rakyat yang mati tak diketahui kuburnya,” sayup gonggongan anjing menutup penuturannya.

Senyap. Aku menahan pertanyaanku lebih lanjut. Namun, seakan dapat membaca benakku dia melanjutkan.

“Cucu perempuanku, satu-satunya keluarga yang aku miliki. Beberapa waktu kemudian, saat aku tengah sekarat karena virus keparat itu, dia selalu datang dalam mimpi dan membawaku ke sini. Tapi setiap aku ajak bicara, dia hanya tersenyum lalu menghilang,” mata sang kakek menatap kejauhan.

Lampu-lampu gedung sesekali menyala, sesekali redup, dan keriuhan belum juga sirna.

“Tidak lama, aku pun mati dalam kesendirian. Setelahnya aku menyadari bahwa makamku berada di tempat yang sama seperti mimpiku. Namun hingga kini, aku belum berhasil bertemu cucuku,” suara kakek bergaung menjauh saat bayangannya memudar, lantas raib.

Aku masih di bangku. Menyaksikan itu dengan terpaku.

*

Bermalam-malam kemudian, peristiwa perjumpaanku dengan kakek tersebut masih menganggu. Aku sempat demam dan memutuskan beristirahat beberapa hari di rumah. Namun, tiap kali mengalami gigil di tengah malam, perempuan yang sering kujumpai di kampus datang di tengah kesadaran dan tidurku. Wajahnya terlihat sendu. Berkali-kali ia mengajakku pergi ke kampus, tapi aku menolak.

“Aku sakit, tidak mampu mengikutimu,” jawabku lemah.

Setelah merasa cukup sehat, aku mulai bertugas lagi. Lewat tengah malam, aku berjalan menyusuri koridor antar gedung fakultas. Mengabaikan suara-suara panggilan atau apapun yang melintas di ketinggian. Tidak peduli. Dalam pikiranku hanya perempuan itu yang ingin kutemui.

Reranting pohon kapuk terlihat bergerak-gerak di bawah sinar bulan. Di sana, perempuan tersebut berdiri di antara bayangan pohon. Sosoknya yang seperti selembar kain transparan ikut bergoyang bersama bayang-bayang.

Dia melihatku, tersenyum samar, dan mulai bergerak seperti angin. Aku lekas mengejarnya. Kali ini dia tidak boleh hilang. Benakku bertanya-tanya apa yang sesungguhnya ia inginkan. Saat berlari, aku tidak lagi sadar dengan sekelilingku. Tiba-tiba kakiku tersandung akar beringin. Kepalaku terantuk batangnya. Aku terserang kegelapan akut.

Seberkas cahaya menguak kelopak mataku. Perempuan itu berdiri persis di hadapan tubuhku yang rebah.

“Sampaikan pada kakekku. Aku di sini,” ia menunjuk sisi kiriku.

“Apa maksudmu? Kakek yang mana?” aku memandangnya bingung.

“Dia pernah mendatangimu di bangku taman.”

“Aku tak mengerti mengapa alam arwah tidak dapat mempertemukan kalian?” keherananku menjadi-jadi.

“Ada dimensi yang tak mampu ditembus. Kakekku harus meluruhkan rindu-dendamnya terlebih dahulu,” tidak lama perempuan tersebut melebur dalam udara.

Aku terbangun kaget. Kepalaku pening, terasa nyeri di dahi. Aku berusaha bangkit saat jari-jari kiriku tersangkut sesuatu. Mataku berupaya mengamati dengan tajam dalam keremangan. Di antara dedaunan kering yang hancur, aku melihat gumpalan rambut yang terkubur di tanah, sebagian tergenggam di jemariku. Sontak aku menjerit sekuat-kuatnya, lalu seketika gelap kembali menyergap.


Sarah Monica, lahir di Jakarta. Penulis esai dan puisi. Alumni Program MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara), kategori Puisi: 2017. Esai dan puisinya telah diterbitkan di sejumlah media cetak dan daring, serta antologi bersama. Penggiat di media Beritabaru.co. Saat ini sedang menempuh studi di Pascasarjana Antropologi, Universitas Indonesia. Tinggal di Bogor.