Mematri Huruf Jawi di Kota Santri
Pembina Forum Masyarakat Gresik Cinta Keberagaman (Formagama)
Ketika berkunjung ke Yogyakarta kita akan disuguhi nama jalan yang ditulis dalam dua huruf yaitu latin dan jawa, begitu juga di Surakarta karena dua kota ini merupakan penerus tradisi budaya Kerajaan Mataram Islam yang sekarang pecah menjadi empat yaitu, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pura Pakualaman di Yogyakarta, sedangkan di Surakarta menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran.
Cukup logis bila mempertahankan huruf jawa karena dua kota itu sampai sekarang menjadi rujukan serta tonggak dalam mempertahankan budaya dan tradisi jawa khususnya pada masyarakat agraris bagian tengah.
Sebaliknya di Jawa bagian barat (sunda) dahulu juga menggunakan huruf Jawa bahkan diajarkan selama ratusan tahun, namun sekarang masyarakat Sunda telah beralih ke hurufnya sendiri dengan bentuk sama sekali berbeda dengan huruf jawa, maka sekarang nama jalan di Bandung tidak hanya ditulis dengan huruf latin, tapi dilengkapi juga huruf Sunda, sehingga bila Yogya dan Solo menunjukkan kejawaannya maka Bandung dan Bogor mengenalkan kesundaannya.
Demikian halnya penulisan nama jalan di luar Jawa, seperti Bali yang menggunakan huruf Bali yang hampir persis huruf Jawa, namun dengan stile penulisan Bali, di Lombok nama jalannya ditulis dalam dua huruf yaitu latin dan arab melayu (pegon/jawi), di Bima lebih lengkap lagi dengan mencantumkan tiga huruf pada nama jalannya antara lain, latin, arab melayu serta huruf Bima.
Di wilayah Sumatera umumnya nama jalan ditulis dalam dua aksara yaitu latin dan arab melayu tapi khusus wilayah Batak ditulis dalam huruf latin dan huruf Batak.
Dalam level yang lebih luas huruf akan menunjukkan negara, seperti huruf Arab, Cina, Jepang, Korea, India, Thailand, Burma, Laos, Vietnam, Uni Sovyet yang tidak semua orang bisa membaca bila tidak mempunyai waktu lama untuk mempelajarinya, kendatipun demikian negara-negara tersebut sangat bangga dengan huruf yang dimilikinya dan aktif digunakan baik lisan maupun tulisan, baik dalam ranah keluarga maupun negara, maka tidak heran bila di negara-negara tersebut papan institusi dan pelayanan umum selain menggunakan huruf latin juga menggunakan huruf khas negara itu.
Bagaimana dengan Gresik, dari kajian teks-teks berusia tua yang masih dapat dibaca, huruf yang populer digunakan adalah huruf pegon kemudian disusul huruf jawa kemudian huruf latin, lalu kenapa huruh pegon lazim digunakan masyarakat Gresik, salah satunya karena Gresik termasuk wilayah pesisir (bandar tua) dermaga internasional pada jamannya, sedangkan lingua franca pada masa itu adalah Bahasa Melayu berhuruf Arab (pegon/jawi), dan sampai hari ini huruf pegon masih berlaku di Malaysia, Brunei, Singapura, bahkan Pattani di Thailand, Moro dan Mindanau di Filipina, maka bila kita ke negara-negara tersebut dapat kita saksikan hampir semua lembaga pemerintahan ditulis dalam huruf pegon lalu dilengkapi aksara latin, begitu juga fasilitas umum lainnya, contohnya di negara rumpun melayu ketika kita turun di bandara yang kita lihat di papan penunjuk adalah tulisan huruf pegon berbunyi ketibaan (kedatangan), pintu kecemasan (pintu darurat), tandas (wc), bilik air (kamar mandi), jawatan kemalangan (pos kecelakaan).
Lebih dalam lagi membahas Gresik, hampir sebagian besar prasasti atau naskah kuno yang berhubungan dengan Giri ditulis dalam huruf pegon termasuk prasasti yang tertulis di pintu masuk masjid Sunan Giri yang menceriterakan tentang pembangunan masjid tersebut, juga buku babad dalam bentuk macapat yang menceritakan sekitar Gresik dengan beberapa tokohnya antara lain, Raden Fatihal bergelar Sunan Prapen, Ki Pangas Karto bergelar Sindujoyo kemudian Kidang Palik yang menurut masyarakat makamnya di Desa Gumeno, selain ditulis dalam huruf pego juga dilengkapi gambar sebagaimana yang dilukis di damar kurung.
Pada beberapa langgar dan masjid di Gresik juga ditemukan prasasti berhuruf pegon yang menerangkan waktu pendirian tempat ibadah tersebut, huruf pegon juga umum dalam catatan masyarakat yang berhubungan dengan urusan harian maupun peristiwa bersejarah, seperti kelahiran anak karena pada masa itu bagi masyarakat awam (santri) belum familier dengan akte kelahiran.
Begitu juga catatan perkawinan dan catatan penting lainnya, bahkan undangan menghadiri acara keagamaan dan kemasyarakatan ditulis dalam huruf pegon, singkatnya huruf pegon lebih dipahami umumnya masyarakat kota Gresik bila dibandingkan huruf Jawa, bahkan ada kesan huruf jawa identik dengan pemerintah dan kaum bangsawan (non santri), untuk menunjukkan begitu umumnya huruf pegon di Gresik, dahulu di pintu gardu listrik (seperti gardu menara suling) yang dulu banyak jumlahnya, ditulisi huruf pegon selain latin yang menerangkan bahaya listrik.
Maka ada baiknya bila Pemerintah Kabupaten Gresik kembali mengenalkan huruf pegon pada generasi sekarang demi menghargai sejarah serta menunjukkan satu diantara kekhasan Gresik, bentuk paling awal adalah melengkapi papan nama jalan selain ditulis huruf latin juga dilengkapi huruf pegon sehingga secara tidak langsung masyarakat Gresik khususnya generasi muda akan tahu dan ini merupakan sarana pembelajaran langsung, apalagi jika diperdalam lagi dalam bentuk materi muatan lokal di sekolah pasti huruf pegon yang dulu pernah jaya di Gresik tak akan punah.