Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Indonesia Wujudkan Keadilan Iklim
Berita Baru, Jakarta – Menjelang tenggat waktu penyerahan dokumen kontribusi nasional kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) yang jatuh pada September 2024, koalisi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia untuk memastikan dokumen tersebut mencerminkan komitmen iklim yang lebih adil, demokratis, dan partisipatif.
Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang mempersiapkan dokumen tersebut sebagai perwakilan pemerintah Indonesia dalam proses Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengatur perubahan iklim global, atau dikenal sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Pemerintah harus menerapkan keadilan sosial dengan mengakui hak dan memenuhi kebutuhan spesifik dari subjek masyarakat yang rentan terdampak perubahan iklim, seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, dan lainnya. Hanya dengan cara itulah dapat terwujud keadilan iklim atau transisi yang adil,” ujar Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, dalam peluncuran dokumen “Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan” yang didukung oleh 64 lembaga masyarakat sipil Indonesia. Dokumen ini telah diserahkan ke KLHK sebagai masukan dari masyarakat sipil.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa insiden bencana iklim meningkat drastis sebesar 81%, dari 1.945 insiden pada 2010 menjadi 3.544 pada 2022, yang berdampak pada lebih dari 20 juta orang. Laporan IPCC (2023) juga menunjukkan bahwa 79% emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan, serta 22% berasal dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meluncurkan sejumlah kebijakan untuk menangani perubahan iklim, termasuk komitmen emisi nol (Net Zero Emissions) pada 2060, Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim, Transisi Energi Nasional, Indonesia FOLU Net Sink 2030, dan Nilai Ekonomi Karbon. Namun, kebijakan tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan target global untuk menurunkan emisi hingga 1,5 derajat Celsius. Bahkan, target emisi nol pada 2060 yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia lebih lama dari komitmen internasional yang menargetkan pencapaian emisi nol pada 2050.
Hal ini berarti rakyat Indonesia, terutama kelompok rentan seperti petani kecil, nelayan tradisional, masyarakat adat, buruh, dan pekerja informal, serta kaum perempuan, penyandang disabilitas, anak-anak, orang muda, lansia, dan korban kekerasan berbasis gender, menghadapi dampak perubahan iklim yang paling berat. Ironisnya, ketidakadilan iklim terjadi karena kelompok rentan ini bukanlah kontributor utama emisi gas rumah kaca.
“Dalam sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan bahwa aksi perubahan iklim di Indonesia justru membuat yang rentan semakin rentan. Alih-alih menurunkan target emisi gas rumah kaca, strategi pembangunan malah mengesahkan proses perusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat rentan. Kasus-kasus penambangan nikel, kawasan industri Rempang, kasus Wadas, bahkan pembangunan Ibu Kota Nusantara yang mengklaim sebagai ibu kota hijau rendah emisi pun mendorong perusakan lingkungan dan perampasan hak warga,” tambahnya.
Dokumen “Rekomendasi untuk SNDC Berkeadilan” menyoroti betapa masyarakat adat, petani kecil, nelayan tradisional, dan kelompok rentan lainnya terus menanggung beban dampak perubahan iklim, meskipun mereka bukan penyebab utamanya. Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang diterbitkan pada 2022, pemerintah telah berkomitmen untuk menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia serta hak masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim. Namun, pengakuan dan perlindungan wilayah adat serta hak-hak yang melekat padanya masih minim.
“Meskipun masyarakat adat hanya mencakup 6,2% dari populasi global, mereka melindungi 80% dari keanekaragaman hayati dunia yang tersisa dan menjaga sepertiga hutan alam yang tersisa di dunia,” ujar Ihsan Maulana, Advokasi dan Peneliti Kebijakan WGII.
Di sektor perikanan, hasil survei yang dilakukan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2023 menunjukkan bahwa 72% nelayan tradisional mengalami penurunan hasil tangkapan, 83% mengalami penurunan keuntungan, dan 86% mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak perubahan iklim terhadap kesejahteraan nelayan tradisional.
“Situasi ini menunjukkan persoalan krusial yang dialami nelayan tradisional akibat perubahan iklim. Pada saat negara mengkampanyekan ikan sebagai sumber pangan bergizi, situasi nelayan tradisional malah semakin memburuk,” kata Hendra Wiguna, Ketua Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, badan otonom dari KNTI.
Perubahan iklim juga memberikan beban ekstra bagi perempuan, terutama dalam memenuhi kebutuhan air dan pangan untuk keluarga. Di beberapa desa di Lembata, Nusa Tenggara Timur, perempuan harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari air. Sementara itu, perempuan Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas tidak lagi menanam benih lokal yang lebih bergizi karena perubahan musim, sehingga harus membeli pangan dari luar desa.
“Padahal, selain merupakan kelompok yang paling rentan, perempuan adalah kelompok yang paling tinggi daya tahannya menghadapi perubahan iklim,” kata Andriyeni, Koordinator Program Solidaritas Perempuan.
Menyikapi krisis demokrasi dan iklim yang sedang berlangsung, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengambil tindakan tegas dalam beberapa hal:
- Menjaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Koalisi mendesak pemerintah untuk melindungi prinsip-prinsip demokrasi, memastikan suara semua kelompok, terutama yang rentan, didengar dan dihormati dalam pengambilan keputusan terkait iklim, serta menghentikan segala bentuk represi yang mencegah warga negara berpendapat dan berekspresi.
- Pengakuan dan Perlindungan Kelompok Rentan: Pemerintah diharapkan mengakui dan melindungi hak serta kebutuhan kelompok rentan, termasuk interseksionalitasnya, dalam seluruh aksi iklim di Indonesia. Pengakuan dan perlindungan ini harus tercantum dalam bagian “Just Transition” dalam SNDC dan diintegrasikan ke dalam seluruh strategi dan aksi mitigasi serta adaptasi perubahan iklim.
- Partisipasi Publik yang Bermakna: Koalisi mendesak pemerintah untuk menjamin partisipasi publik yang bermakna dalam seluruh proses dan tahapan aksi iklim di Indonesia, termasuk membentuk mekanisme pelibatan publik yang efektif dalam penyusunan dan implementasi kebijakan-kebijakan turunan SNDC.
- Aksi Iklim yang Adil: Pemerintah diminta untuk memastikan bahwa seluruh aksi iklim memberikan manfaat yang lebih besar bagi kelompok rentan, sementara beban pengurangan emisi yang lebih besar diberikan kepada kelompok-kelompok yang emisinya paling banyak, terutama mereka yang memperoleh keuntungan dari pelepasan emisi gas rumah kaca.
- Pemulihan Hak dan Ruang Hidup: Koalisi mendesak pemerintah untuk melengkapi komitmen iklim dengan strategi pemulihan ruang hidup dan hak kelompok rentan yang menjadi korban dampak perubahan iklim, aksi perubahan iklim, serta kegiatan pembangunan, serta memastikan penegakan hukum bagi perusak lingkungan dan pelanggar hak asasi manusia.
- Mengadopsi Pendekatan Iklim Terintegrasi: Koalisi mendesak pemerintah untuk mengadopsi pendekatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dan berfokus pada resiliensi lanskap, guna menjamin hak atas ruang hidup yang aman dan berkelanjutan bagi semua.