Lima Pelajaran dari Pengalaman Tiongkok Mengatasi Covid-19
Head,
China Unit CSIS Indonesia
.
Pada 2 bulan pertama di tahun 2020, Tiongkok telah mengambil beberapa tindakan yang tegas dan efektif untuk mengatasi penyebaran Covid-19. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Tiongkok dipandang sangat tepat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keefektifannya telah menginspirasi negara-negara lain di dunia.
Pemerintah Tiongkok menerapkan berbagai kebijakan berdasarkan penelitian ilmiah yang dilakukan dengan tetap memperhatikan situasi yang terus berubah secara dinamis. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudian dijalankan secara disiplin oleh para pemangku berbagai kepentingan.
Meskipun tidak semua negara telah benar-benar memahami permasalahan pandemi Covid-19 ini, beberapa kebijakan yang diterapkan di Tiongkok, seperti melarang penggunaan lalu lintas di beberapa provinsi dan kota, sudah dilakukan dan diikuti oleh beberapa negara lainnya. Demikian pula kebijakan lainnya dapat diterapkan di negara lain dengan modifikasi sesuai situasi dan kondisi setempat.
Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana Pemerintah Tiongkok merespon krisis COVID-19. Untuk sampai pada kesimpulan itu, setidaknya ada 5 pelajaran yang dapat diambil dari Tiongkok.
Pertama, yang dapat kita ambil dalam merespon isu ini, adalah Tiongkok selalu percaya terhadap fakta dan pendekatan ilmiah dalam mengatasi pandemi COVID-19. Dengan menggunakan pendekatan ilmiah, Pemerintah Tiongkok memperoleh data yang benar dan bermanfaat mengenai virus tersebut.
Pemerintah Tiongkok dapat segera menemukan akar permasalahan COVID-19, lalu dengan segera merumuskan kebijakan bagaimana untuk mencegah penyebaran wabah ini. Selanjutnya, Pemerintah Tiongkok menetapkan sebuah mekanisme pengendalian, sehingga para pasien positif COVID-19 dapat segera dirawat dan memperoleh kesembuhan, dan virus tidak menyebar semakin luas. Salah satu contoh adalah pembangunan dua rumah sakit khusus untuk pasien COVID-19 yang dilakukan hanya dalam waktu 6 hari.
Tekad Pemerintah Tiongkok juga dapat dilihat dari pemberlakuan sanksi bagi orang-orang yang dengan sengaja menghalangi pendistribusian masker kesehatan. Hal ini terkesan simpel, namun jika dibiarkan, hal ini dapat berdampak serius terhadap kemampuan Pemerintah Tiongkok dalam menangani COVID-19.
Kedua, selama krisis COVID-19 berlangsung, Pemerintah Tiongkok selalu mengedepankan aspek pencegahan dan pengendalian. Seringkali pandemi diikuti oleh kondisi sosial dan pasar yang terus memburuk.
Belanja kebutuhan yang didorong rasa panik akan mengakibatkan kenaikan harga-harga dan berkurangnya suplai. Hal ini dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat, sehingga akan mempersulit proses pengendalian epidemi.
Pengalaman Tiongkok menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang ditetapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik, jika kebijakan-kebijakan tersebut didukung oleh sistem pemerintahan yang disiplin.
Pemerintah Tiongkok sangat bertekad untuk mencegah terjadinya kekacauan, yang terwujud dalam tindakan, seperti menciptakan peraturan yang ketat dengan melarang para pelaku usaha menaikkan harga kebutuhan-kebutuhan pokok dan menerapkan hukuman yang serius bagi yang melanggarnya.
Pemerintah juga menerapkan aturan-aturan yang keras membatasi pergerakan masyarakat selama 2 bulan pertama di tahun 2020, seperti menutup akses darat, laut dan semua transportasi dari dan menuju Wuhan.
Pelajaran ketiga, selain memprioritaskan komando politik dan pengendalian sosial, Pemerintah Tiongkok juga dengan usaha keras menjaga kestabilan perekonomian di Tiongkok selama krisis COVID-19. Bahkan ketika epidemi mencapai puncak terparahnya, Pemerintah tetap menjaga pengangkutan dan ketersediaan bahan-bahan kebutuhan anti-Pandemi COVID-19 dan juga kebutuhan penting lainnya.
Pemerintah memastikan kestabilan suplai kebutuhan sehari-hari. Beberapa provinsi, seperti Provinsi Shandong yang tidak begitu banyak terinfeksi oleh epidemi, menyumbangkan beragam makanan, seperti sayuran, kepada provinsi-provinsi yang paling terkena dampak dari epidemi ini.
Langkah-langkah ini terbukti efektif dalam menjaga kestabilan pasar di Tiongkok, karena harga tetap stabil dan masuk akal, serta suplainya pun tidak terganggu.
Pengalaman Pemerintah Tiongkok menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan mendasar selama masa isolasi harus dipenuhi agar masyarakat mau bekerjasama dengan pemerintah untuk tetap di rumah dan mengisolasi diri.
Ternyata, hal ini telah menciptakan lingkungan yang cukup stabil sehingga Pemerintah Tiongkok pun dapat berfokus pada usaha penanganan krisis COVID-19. Pada akhirnya Tiongkok segera menghilangkan titik-titik pengecekkan ketika epidemi mulai surut.
Selain itu, Pemerintah mengambil beberapa tindakan dalam bidang finansial, diantaranya dengan menggratiskan sewa kantor dan pertokoan, serta menyediakan bantuan finansial terhadap berbagai bidang usaha dalam masa-masa yang sangat sulit ini.
Pemerintah juga menyarankan agar para pekerja migran kembali ke pabrik menggunakan penerbangan, kereta, dan mobil yang dicarter untuk menghindari kerusakan yang lebih parah di sektor produksi dan untuk melindungi para pekerja dari kemungkinan terinfeksi virus.
Langkah-langkah yang dilakukan ini telah menciptakan keberlanjutan kembali produksi dari industri-industri yang ada di Tiongkok.
Berdasarkan laporan, pada pertengahan Maret (hanya satu bulan setelah pandemi Covid-19 meluas), perusahaan-perusahaan besar di hampir seluruh provinsi dan kota (kecuali Hubei), telah kembali bekerja, pengiriman barang dari sektor manufaktur pun secara perlahan kembali ke normal.
Pengendalian penyebaran epidemi adalah hal yang paling penting namun menjaga aktivitas ekonomi untuk tetap normal itu sangat diperlukan.
Jika aktivitas perekonomian tidak dilindungi, usaha-usaha anti-pandemi COVID-19 yang dilakukan akan sia-sia. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman Tiongkok ini, tanpa menjaga fungsi perekonomian dalam negeri, akan sulit untuk menjaga kestabilan kondisi sosial dan politik selama dan setelah pandemi ini terjadi.
Pelajaran keempat, dapat diambil dari apa yang disebut dengan Mekanisme Pendampingan ‘satu untuk satu’. Ketika epidemi ini menyebar dalam skala besar, usaha-usaha pencegahan dan pengendalian membutuhkan partisipasi seluruh masyarakat dan ini memerlukan tenaga serta biaya yang tidak sedikit.
Mempertimbangkan bahwa Tiongkok memiliki wilayah yang sangat luas dengan populasinya sangat besar, Pemerintah menggunakan mekanisme bantuan ‘satu untuk satu’. Tiongkok memiliki populasi kurang lebih 1.4 milyar penduduk yang terbagi ke dalam 31 provinsi dan daerah madya.
Masing-masing dari provinsi tersebut memiliki sekita 20 hingga 30 kota besar. Selama COVID-19, pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan mekanisme bantuan ‘satu untuk satu’, yang mana satu provinsi harus membantu sebuah kota yang terinfeksi di satu provinsi lainnya.
Dengan menggunakan mekanisme ini, kota yang terinfeksi akan mendapatkan banyak bantuan sumber daya dari tingkat provinsi. Mekanisme ini sangat efektif dalam berbagai aspek pembangunan.
Sebenarnya sudah sejak lama Tiongkok menerapkan mekanisme ini untuk mengurangi angka kemiskinan. Sebuah provinsi atau daerah madya yang lebih maju (biasanya di Tiongkok bagian Tenggara) harus membantu daerah yang lebih tertinggal, yang biasanya terletak di Tiongkok bagian Utara atau Barat Daya.
Kebijakan ini meningkat dengan baik dan Pemerintah Tiongkok berencana mencapai target pengurangan kemiskinan di akhir tahun 2020. Mekanisme ini juga diterapkan dalam rekonstruksi Sichuan saat gempa terjadi di tahun 2008. Pemerintah Tiongkok juga menerapkan mekanisme ini di Provinsi Hubei, pusat dari wabah COVID-19.
Segera setelah wabah terjadi, pemerintah pusat menugaskan 16 provinsi yang tidak begitu terkena dampaknya, untuk dapat membantu kota-kota di Provinsi Hubei menggunakan mekanisme ‘satu untuk satu’. Contohnya, Provinsi Shandong dan Hunan ditugaskan untuk membantu kota Huanggang (sebuah kota di Provinsi Hubei).
Proses bantuan ini juga dilakukan di beberapa kota lain di Provinsi Hubei, seperti di kota Xiaogan. Tim medis dan peralatan dari Provinsi Jiangsu, Hei Longjiang, dan Chongqing dikirim untuk membantu kota Xiaogan yang juga memperoleh bantuan dalam sektor ekonomi dan sosial, termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang ada di kota tersebut.
Melalui mekanisme ini, kota-kota yang terinfeksi memperoleh bantuan medis dalam jumlah yang cukup besar, termasuk personil medis, sehingga kesulitan-kesulitan dapat teratasi dengan baik. ‘Mekanisme Pendampingan satu untuk satu’ telah berperan sangat penting bagi Pemerintah Tiongkok untuk dapat menangani COVID-19.
Kelima, adalah kehesifitas yang kuat dan budaya kerja keras dari masyarakat Tiongkok. Kehesifitas yang kuat menjadi karakter dari sistem sosial di Tiongkok, ditambah dengan budaya kerja keras menjadi variabel penting dalam kesuksesan penanganan wabah Covid-19 di Tiongkok.
Kepatuhan masyarakat Tiongkok dalam melaksanakan instruksi pemerintah untuk tidak meninggalkan rumah dan meminimalisir aktivitas di luar rumah juga memberikan kontribusi yang sangat penting dalam penanganan wabah. Tanpa adanya tingkat kepatuhan yang tinggi, wabah ini dapat menjadi lebih parah.
Kepatuhan masyarakat Tiongkok juga ditunjukkan oleh para arsitek dan para pekerja yang membangun rumah sakit untuk pasien Covid-19. Para arsitek dan pekerja bangunan sudah sangat bekerja keras mewujudkan konstruksi rumah sakit besar dalam waktu yang sangat singkat.
Artikel ini diterbitkan juga di | peoplesdaily.pdnews.cn |
guojiribao.com dw.chinanews.com |