Lagi! BPJS Watch Terima Laporan Kecurangan dalam Program JKN
Berita Baru, Jakarta – Sebuah laporan yang mengkhawatirkan muncul ketika seorang ibu peserta Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) mengungkapkan pengalaman pahitnya dengan layanan kesehatan.
Ibu tersebut menerima resep obat dari seorang dokter rumah sakit untuk 30 hari, namun hanya diberikan obat untuk 7 hari oleh apotek rumah sakit yang sama.
Hal ini diungkap Anggota BPJS Watch Timboel Siregar, dalam catatan siangnya, Pinang Ranti, Senin (18/9), sebagaimana diterima Beritabaru.co.
“Kejadian yang dialami Ibu tersebut adalah masalah klasik di program JKN, yang terus terulang sejak program JKN dimulai di 1 Januari 2014 lalu,” katanya.
Menurut Timboel Siregar, ini adalah bentuk kecurangan (fraud) yang melibatkan oknum rumah sakit yang merugikan pasien peserta JKN.
“Pasien disuruh beli sendiri atas kekurangan obat yang diberikan oleh apotek RS,” sebutnya.
Sementara itu, klaim INA CBGs (Indonesia Case Base Groups) yang diajukan oleh rumah sakit tetap utuh, meskipun pasien tidak menerima obat sesuai resep dokter.
BPJS Watch, sebut Timboel, kerap kali menerima laporan seperti ini, dan ketika dilaporkan ke BPJS Kesehatan pihak apotek RS segera memberikannya.
“Pihak RS sepertinya takut ke BPJS Kesehatan, dan tidak mau bermasalah dengan BPJS Kesehatan. Tapi apakah harus dilaporkan dulu, baru kekurangan obat diberikan kepada pasien JKN?”tanyanya.
Kejadian semacam ini terus berulang dan sulit diselesaikan secara sistemik. Pasien lansia, yang memerlukan obat secara rutin, seringkali menjadi korban.
Memang tidak semua peserta JKN memiliki pengetahuan tentang hak atas obat seperti yang diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UU SJSN.
Demikian juga, ada pasien JKN yang tidak berani melapor karena takut dipersoalkan pada saat berobat ke RS tersebut.
“Paling tidak dua alasan ini yang dimanfaatkan oknum apotek RS untuk meraih keuntungan dengan mengorbankan pasien JKN,” kata Timboel.
Meskipun biaya INA CBGs naik berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 tahun 2023, tampaknya oknum rumah sakit masih mempraktikkan kecurangan ini.
“RS menikmati kenaikan paket biaya tersebut namun tetap mengambil ‘untung’ dari obat,” tuturnya.
Lebih dari itu, kata Timboel, persoalan lain yang dihadapi peserta JKN terkait obat adalah tidak semua obat masuk ke dalam Formularium Nasional (fornas) sehingga ada obat yang diresepkan dokter tetapi tidak dijamin program JKN.
“Seharusnya daftar obat di Fornas tidak boleh menghambat akses peserta JKN atas obat,” katanya.
Bahkan, lahirnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), yang menjanjikan enam pilar transformasi layanan Kesehatan diharapkan akan mampu memperbaiki layanan Kesehatan termasuk layanan obat kepada peserta JKN.
Yaitu mencakup layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, SDM Kesehatan, Pendanaan Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan.
Masyarakat mengharapkan adanya perbaikan layanan kesehatan, bahkan layanan yang lebih lagi dengan memanfaatkan kemajuan digitalisasi teknologi informasi dan teknologi kesehatan di era UU Kesehatan.
“Masyarakat rentan seperti lansia dan disabilitas diharapkan bisa mengakses pelayanan kesehatan dan obat di rumah. Pemeriksaan bisa via link zoom dan obat dikirim via ojol,” katanya.
Kata Timboel, persoalan layanan obat adalah salah satu masalah layanan kesehatan di antara persoalan lainnya.
Akses ke ruang rawat inap juga masih ada kendala, yang akan berpotensi lebih bermasalah lagi dengan pelaksanaan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) ke depan.
“Peserta JKN yang harus dipulangkan RS dalam kondisi belum layak pulang pun masih kerap terjadi,” katanya.
Dari seluruh persoalan layanan kesehatan tersebut, Timboel berpandangan, kehadiran UU Kesehatan harus memberikan dampak perbaikan signifikan bagi layanan kesehatan di Indonesia.
“UU Kesehatan harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini dialami pasien JKN dan pasien umum lainnya secara sistemik dengan pengawasan dan penegakkan hukum yang jelas dan tegas,” pungkasnya.