Korona, Ramadan dan Taawun
Pembelajar di Jurusan Akuntansi FEB
Universitas Trunojoyo Madura
Bangsa Indonesia bisa jadi sudah berpengalaman menghadapi bencana berskala besar. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir dan longsor hampir setiap tahun menyapa. Beberapa bencana sosial juga kerap terjadi. Namun semua bencana ini tidak memiliki efek domino, sebagaimana pendemi Covid-19.
Pembatasan gerak secara sosial menjadikan roda ekonomi melambat. Penduduk berpenghasilan harian seperti pedagang, sopir angkutan, tukang ojek dan lain-lain menurun drastis penghasilannya. Dunia usaha menjerit, beberapa perusahaan merumahkan karyawannya. Roda bisnis dan sosial berhenti seketika. Warta seorang ibu di Serang, Banten, yang menghembuskan napas terakhir setelah menahan lapar selama dua hari adalah salah satu peristiwa yang menghujamkan pilu teramat dalam.
Di balik segala kisah yang mengitari mewabahnya Korona ini, sejatinya ada fenomena menarik yang penting diulas. Di pelbagai pelosok nusantara menyeruak gerakan solidaritas sosial dalam skala massif. Banyak pihak, baik secara pribadi maupun berkelompok, menginisiasi gerakan berbagi.
Secara umum, ada dua sasaran tindakan berbagi ini. Pertama, penyediaan APD (Alat Pelindung Diri) bagi tenaga kesehatan. Keluhan kurangnya APD yang seharusnya disediakan negara/pemerintah dijawab dengan inisiatif warga yang mengusahakannya. Kedua, penyediaan bahan pokok dan uang bagi masyarakat terdampak.
Pada ranah lingkungan terkecil, tingkat RT/RW, ada himbauan massal untuk saling membantu di lingkungan masing-masing. Di Jawa Tengah, muncul istilah gerakan “Jogo Tonggo”. Setiap warga diminta untuk mewaspadai kerentanan sosial (kelaparan, ketiadaan pemasukan dan lain-lain) yang berpotensi terjadi di sekitarnya. Kasus berpulangnya ibu di Serang cukuplah menjadi kisah pilu nan dramatis terakhir akibat ketiadaan uang akibat ekonomi yang terdampak Korona ini.
Solidaritas sosial dalam skala massif ini sejatinya sangatlah tidak mengagetkan. Bangsa Indonesia sejak lama merupakan jejaring komunal yang terekat kuat secara sosiologis. Simpati, empati dan tolong menolong adalah khazanah warisan modal sosial dan kultural warisan para pendahulu. Istilah “gotong royong”, “kerja bakti” begitu lekat dalam keseharian masyarakat. Di berbagai daerah juga lahir istilah yang senada dengan itu seperti “sambatan” di Jawa, “ngayah” di Bali, “song-osong lombhung” di Madura dan lainnya. Seluruhnya berporos pada makna saling menolong pada berbagai peristiwa sosial kemasyarakatan.
Kentalnya semangat berbagi pada masyarakat Indonesia ini juga tercermin pada pengakuan dunia internasional. Sebuah lembaga internasional bernama Charities Aid Foundation (CAF) sejak tahun 2010 melakukan survei tahunan berkaitan upaya amal terbesar dari seluruh dunia bertajuk World Giving Index (WGI). Laporan WGI terakhir yang dirilis tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia masuk 10 peningkat terbesar dunia. Di antara top ten ini, Indonesia merupakan satu-satunya yang mengalami peningkatan signifikan selama sepuluh tahun WGI dilansir.
Pada laporan WGI terakhir ini dapat dicatat pula bahwa Indonesia memiliki lebih banyak orang yang membantu orang tak dikenal (stranger) dalam 10 tahun terakhir. Pada aspek donasi uang, tercatat 69% rakyat Indonesia menyumbangkan uangnya untuk berbagi pada sesamanya (menempati urutan 6 di antara negara dunia). Pada aspek kesukarelawanan sosial, Indonesia menempati urutan ketujuh dengan proporsi 40% penduduk ikut andil menjadi sukarelawan membantu sesama.
Kentalnya nuansa berbagi pada masyarakat Indonesia ini tentu tidak terlepas dari keyakinan keagamaan yang tinggi. Dalam agama Islam yang dipeluk mayoritas penduduk negeri ini, ada istilah “taawun”. Konsep “taawun” adalah perintah bagi setiap manusia saling membantu antara sesama tanpa terkecuali. QS Al Maidah ayat 2 dengan eksplisit meminta manusia untuk saling membantu dalam perkara kebaikan, tapi tidak tidak untuk perihal keburukan. Rasulullah Muhammad SAW juga memberi teladan utama untuk senantiasa memberi sepanjang hidup Beliau. “Tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah” adalah salah satu hadist yang sangat populer untuk mengingatkan pentingnya semangat berbagi ini.
Gerakan berbagi ini semakin menemukan momentumnya sebab pandemi Korona ini masih terus meluas hingga umat muslim memasuki bulan Ramadhan. Ramadhan adalah bulan terbaik yang menjadi ajang latihan (riyadhah) guna mengasah kepekaan sosial yang lebih tinggi. Berpuasa secara fisik tidak makan dan minum mengajarkan empati dan menghayati rasa lapar yang mungkin dialami kaum papa. Pengendalian hawa nafsu keduniawian yang diajarkan Ramadhan akan meningkatkan sikap peduli yang lebih intensif pada lingkungan sekitar. Zakat, infaq, sedekah dan wakaf adalah beberapa terma yang lekat dengan ajaran memberi secara luas. Ketika Allah menjanjikan pelipatgandaan pahala di bulan mulia ini, maka seharusnya gerakan memberi, berbagi, filantropi dan atau istilah lain yang seirama dengan itu akan semakin meningkat.
Waba’du, senantiasa ada hikmah di balik setiap peristiwa. Mewabahnya Korona ini mengingatkan warga tentang budaya saling membantu, menjaga dan bergandengan tangan. Persaudaraan kemanusiaan yang diwariskan nenek moyang menemukan relevansinya kambali. Kohesi sosial yang selama ini terjalin namun seringkali retak gegara urusan duniawi yang materialistis, kapitalistis dan mekanis perlu diikat kembali dalam kesadaran penuh. Maka manusia Indonesia pasca Korona ini akan menemukan kesejatiannya kembali. Lebih-lebih setelah melalui tempaan latihan keras selama Ramadhan mulia ini. Semoga.