Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

KontraS dan IKAPRI
40 Tahun Nestapa Pengabaian Negara terhadap Korban Peristiwa Tanjung Priok 1984

KontraS dan IKAPRI Kecam Ketidakseriusan Negara Tuntaskan Kasus Tanjung Priok dan Pulihkan Hak Korban



Berita Baru, Jakarta – Empat dekade telah berlalu sejak peristiwa Tanjung Priok 1984, salah satu pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) yang menewaskan puluhan warga sipil. Namun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Ikatan Keluarga Korban Tanjung Priok (IKAPRI) menyoroti lambannya langkah negara dalam memenuhi kewajiban untuk mengadili para pelaku serta memulihkan hak-hak korban.

“Negara terus menunjukkan sikap abai dalam memberikan keadilan dan pemulihan kepada korban. Bahkan, dengan menggunakan jalur hukum, negara justru memperkuat impunitas bagi para pelaku,” ujar KontraS dalam pernyataan resminya yang di rilis melalui siaran pers pada Kamis (12/9/2024).

Tragedi Tanjung Priok bermula dari tindakan aparat yang melepaskan secara paksa poster-poster berisi kritik terhadap larangan pemakaian jilbab dan Asas Tunggal Pancasila. Insiden ini kemudian memicu bentrokan antara warga dan aparat militer yang berujung pada penembakan membabi buta oleh pasukan keamanan, penyiksaan terhadap tahanan, serta hilangnya banyak warga hingga saat ini.

Meski pada 2003 Pengadilan HAM ad hoc memutuskan bahwa 12 terdakwa bersalah, putusan tersebut dianulir di tingkat banding dan kasasi pada 2005. Keputusan itu secara otomatis menggugurkan hak para korban atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, yang seharusnya dijamin oleh negara sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Ketika tidak ada pelaku yang dijatuhi hukuman, negara secara sistematis menggugurkan kewajibannya untuk memulihkan korban,” tegas perwakilan IKAPRI, menambahkan bahwa hingga saat ini tidak ada kejelasan bagi keluarga korban yang masih mencari kerabat mereka yang hilang.

KontraS dan IKAPRI juga menilai bahwa janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM hanya retorika belaka. Pada pidatonya pada Januari 2023, Jokowi bahkan tidak menyebut peristiwa Tanjung Priok sebagai bagian dari pelanggaran HAM yang perlu diselesaikan. “Ini menunjukkan bahwa negara berusaha memutihkan kasus-kasus pelanggaran HAM alih-alih menyelesaikannya secara berkeadilan,” tambah KontraS.

Organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengadopsi prinsip bahwa hak korban untuk mendapat reparasi tetap harus dihormati meski para pelaku tidak diidentifikasi atau divonis bersalah. “Jika Presiden Jokowi serius dengan komitmennya, dia seharusnya menerapkan prinsip-prinsip ini di Indonesia, termasuk bagi korban Tanjung Priok,” ujar perwakilan KontraS.

KontraS dan IKAPRI mendesak Presiden Jokowi untuk segera memenuhi hak-hak korban peristiwa Tanjung Priok, memberikan kejelasan terkait status korban yang masih hilang, dan membangun memorialisasi untuk memastikan tragedi ini tidak dilupakan oleh generasi mendatang. Mereka juga meminta agar pemerintah segera meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan dari Penghilangan Orang Secara Paksa, sebagaimana direkomendasikan oleh DPR RI pada 2009.