Komnas Perempuan Apresiasi Ketentuan Aborsi, Minta Pemerintah Perbaiki Akses Layanan
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyambut positif ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Komnas Perempuan berharap aturan ini akan mempercepat pengadaan dan memperkuat akses layanan untuk memenuhi hak pemulihan bagi perempuan korban.
Berdasarkan Lembar Pernyataan Sikap Komnas Perempuan yang diterbitkan pada Sabtu (3/8/2024) menjelaskan bahwa menurut UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), aborsi tetap merupakan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara hingga empat tahun. Namun, pengecualian berlaku bagi korban perkosaan atau kekerasan seksual lain dengan kehamilan tidak melebihi 14 minggu atau dengan indikasi kedaruratan medis. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengakui hak atas pemulihan kesehatan dan penguatan psikologis bagi korban.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa PP Kesehatan memberikan panduan prosedur bagi korban TPKS untuk melakukan aborsi, namun ia mengingatkan pentingnya penyampaian informasi tentang hak aborsi kepada korban dan penyediaan pil kontrasepsi darurat jika TPKS dilaporkan dalam waktu 3 hari setelah kejadian. “Keputusan untuk aborsi adalah otoritas korban, dan mereka dapat memilih untuk melanjutkan atau membatalkan aborsi setelah mendapatkan pendampingan dan konseling,” ujar Siti.
Komnas Perempuan juga menyoroti kebutuhan nyata akan layanan aborsi aman sebagai bagian dari sistem pemulihan korban kekerasan seksual. Layanan ini penting untuk mencegah dampak psikologis negatif bagi korban dan anak yang dikandung dalam situasi kekerasan seksual.
Sejak 2018 hingga 2023, Komnas Perempuan mencatat 103 kasus korban perkosaan yang mengakibatkan kehamilan, namun hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman. Ini berisiko tinggi bagi korban, termasuk praktik aborsi tidak aman yang dapat mengancam nyawa.
PP Kesehatan memberikan panduan prosedur yang mencakup surat keterangan dokter dan penyidik, serta menetapkan bahwa pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat lanjut oleh tenaga medis berkompeten. Selain itu, korban akan mendapatkan pendampingan konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan.
Namun, Komnas Perempuan mengidentifikasi potensi pengurangan akses korban akibat pembatasan dalam PP Kesehatan dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016, yang sebelumnya memungkinkan keterangan dari psikolog atau ahli lain serta akses layanan di fasilitas kesehatan yang lebih rendah.
Untuk memastikan akses yang lebih baik bagi perempuan korban TPKS, Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat pembinaan dan evaluasi layanan aborsi aman. Komnas Perempuan juga mengapresiasi penegasan bahwa keputusan untuk aborsi adalah otoritas korban dan menekankan pentingnya konseling serta tanggung jawab negara dalam hal pengasuhan anak.
Aturan mengenai layanan aborsi aman juga merupakan bagian dari pewujudan amanat Konstitusi dan komitmen negara terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) serta Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT). Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya ketersediaan layanan kontrasepsi darurat dan informasi hak aborsi untuk korban TPKS, serta penguatan mekanisme kerja antara aparat penegak hukum, lembaga pendamping korban, dan fasilitas kesehatan.
Di sisi lain, jaminan hukum untuk layanan aborsi aman diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu akibat aborsi. Data menunjukkan bahwa aborsi tidak aman berkontribusi signifikan terhadap angka kematian ibu (AKI), dan perbaikan layanan kesehatan terkait aborsi masih menjadi prioritas untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan.