Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Simposium Nasional Bahas Risiko dan Dampak KUHP Baru Terhadap Kelompok Rentan
Berita Baru, Jakarta – Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Pusat Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, serta Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) menyelenggarakan Simposium Nasional bertajuk “Hukum yang Hidup di Masyarakat Pasca KUHP Baru” di Hotel Holiday Inn & Suites Jakarta Gajah Mada pada tanggal 29-30 Juli 2024. Acara ini dihadiri oleh sekitar 145 peserta dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, pemerintah, praktisi hukum, dan masyarakat sipil.
Dalam Siaran Pers yang di rilis melalui laman “Kawal KUHP” pada Rabu (31/7/2024), Simposium ini diadakan sebagai upaya memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM, terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup di Masyarakat. RPP ini merupakan bagian dari target peraturan pemerintah yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2024.
Dalam diskusi plenary, Muhammad Waliyadin, perwakilan dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, menjelaskan bahwa ketentuan hukum yang hidup di masyarakat bertujuan untuk mengakomodasi hukum adat yang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.
“Rancangan Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi hukum adat dalam sistem peraturan daerah dan penyelesaian tindak pidana adat,” ujar Waliyadin.
Namun, berbagai akademisi dan perwakilan kelompok masyarakat adat mengingatkan potensi masalah dari implementasi hukum adat dalam peraturan daerah. Mereka menyoroti kurangnya payung hukum bagi masyarakat adat dan ketidaksesuaian antara hukum adat dengan hukum nasional.
“Tanpa adanya payung hukum yang memadai, ada risiko besar terjadinya konflik antara hukum adat dan hukum nasional,” kata seorang akademisi hukum adat.
Simposium juga membahas kemungkinan terjadinya diskriminasi melalui peraturan daerah, dengan temuan Komnas Perempuan menyebutkan ada 333 Perda diskriminatif pada tahun 2023 terhadap berbagai kelompok rentan.
“Praktik diskriminatif ini dapat semakin subur jika tidak ada pembatasan yang jelas dan proses harmonisasi yang tepat dalam RPP,” kata seorang ahli hukum tata usaha negara.
Diskusi tematik ini juga mengeksplorasi mekanisme perlindungan agar hukum adat tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. “Kami mendorong agar syarat pidana adat tidak mengulang ketentuan yang ada di KUHP dan mengusulkan penggunaan mekanisme keadilan restoratif,” ungkap seorang pembicara.
Pada sesi terakhir, hasil temuan dan rekomendasi dari simposium ini akan dirumuskan dalam dokumen yang akan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM. Koalisi berharap simposium ini menjadi platform untuk melanjutkan diskusi dan memastikan bahwa peraturan yang dirancang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat adat serta menghormati hak asasi manusia.
“Ruang partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan harus tetap terbuka untuk memastikan bahwa aturan yang dihasilkan tidak memperburuk beban diskriminasi terhadap kelompok rentan,” pungkas Adrizal, salah satu kuasa hukum LBHM.