Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

KMS: Hentikan Kriminalisasi Warga dan Serangan terhadap Pers Jelang ASEAN Summit 2023

KMS: Hentikan Kriminalisasi Warga dan Serangan terhadap Pers Jelang ASEAN Summit 2023



Berita Baru, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) yang terdiri dari YLBHI, WALHI, JATAM, LBH Pers, Sunspirit-Labuan Bajo, JPIC-OFM, WALHI NTT, AJI Indonesia dan Floresa mendesak agar kriminalisasi warga dan serangan terhadap pers jelas ASEAN Summit atau KTT ASEAN dihentikan.

Dalam keterangan tertulis bersama, koalisi tersebut menyampaikan bahwa menjelang KTT ASEAN di Labuan Bajo, NTT pada 9-11 Mei, telah terjadi upaya kriminalisasi terhadap warga dan pers. Peristiwa ini di tengah upaya pemerintah dan aparat keamanan berusaha memoles citra baik dihadapan delegasi ASEAN Summit.

“Dengan menekan suara-suara warga, seperti yang dikatakan Kapolda  NTT, Johni Asadoma dalam konferensi pers pada 27 April yang meminta agar tidak menyuarakan persoalan selama kegiatan ini,” ungkap koalisi, Senin (8/5).

Dijelaskan, pada 6 dan 7 Mei, empat warga di Labuan Bajo tiba-tiba mendapat surat dari Polres Manggarai Barat untuk diperiksa dengan tuduhan tindak pidana “penghasutan yang akan  terjadi pada tanggal 09 Mei 2023.”

Surat dari polisi itu muncul setelah pada 5 Mei mereka memberikan surat pemberitahuan aksi unjuk rasa pada 9 Mei untuk menuntut ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang digusur dalam proyek jalan dari Labuan Bajo menuju Golo Mori, salah satu titik pertemuan ASEAN Summit.

Sementara itu, jurnalis dan media Floresa.co mendapat serangan digital usai merilis laporan terkait pengabaian hak warga mendapat ganti rugi itu. Laporan hasil kolaborasi dengan Project Multatuli yang terbit pada 5 Mei itu juga menyinggung upaya tekanan aparat keamanan terhadap aktivis yang menyuarakan masalah ini.

“Pada 6 Mei, salah satu jurnalis Floresa yang terlibat mengerjakan laporan itu mendapati akun Telegram dan WhatsApp-nya diretas. Serangan juga menyasar website Floresa pada 7 Mei. Salah seorang intel TNI, yang sebelumnya pernah berupaya melakukan intimidasi, juga menelepon jurnalis Floresa tersebut, meski tidak sempat diangkat,” ungkapan.

Terkait peristiwa ini, koalisi menilai bahwa upaya menjerat keempat warga itu dengan tudingan penghasutan berkaitan dengan ucapan yang disampaikan oleh Kapolda NTT, agar mereka tidak jadi menggelar aksi unjuk rasa. Dua di antara warga itu dijadwalkan diperiksa pada 9 Mei, hari dimana mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa. 

“Kami mengutuk pernyataan itu sebagai upaya memberangus hak kebebasan berkumpul dan berpendapat yang seharusnya dihormati dan dilindungi sesuai UUD 1945, DUHAM, UU HAM, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Kovenan  Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik,” tegasnya.

Koalisi menyebut, sesuai Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU 9/1998, Kepolisian hanya memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan terhadap peserta yang penyampaian pendapat di muka umum, bukan justru menghalang-halangi. 

“Pernyataan Kapolda NTT tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ASEAN yakni menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan perlindungan HAM,” terangnya.

Kedua, Koalisi berpandangan, tuduhan penghasutan terhadap keempat warga sangat mengada-ngada, dipaksakan dan merupakan bentuk kriminalisasi. Ini merupakan upaya menghalangi kebebasan berkumpul dan berpendapat serta bentuk kekerasan yang menggunakan hukum dengan pasal-pasal yang diterapkan secara paksa.

Dugaan tindak pidana penghasutan menurut Pasal 160 KUHP Jo. Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009 adalah delik materil dan oleh karenanya ‘baru bisa dipidana bila timbulnya akibat yang dilarang’. Selain delik materil, penghasutan harus memiliki hubungan kausalitas dengan ‘akibat yang dilarang’.

Kebebasan berkumpul dan berpendapat bukanlah bukan sesuatu yang dilarang. Karena itu, pemanggilan terhadap warga tersebut jelas merupakan bagian dari upaya untuk menghalang-halangi dan menakut-nakuti, bagian integral dari pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat. 

“Permintaan untuk melakukan klarifikasi dalam surat polisi juga jelas bertentangan dengan KUHAP dan PERKAPOLRI No 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang tidak mengenal istilah klarifikasi,” ungkapnya.

Ketiga, bagi Koalisi serangan terhadap Floresa.co merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers. Serangan itu tidak hanya merugikan pers, tetapi juga publik yang berhak untuk mendapatkan informasi yang valid di tengah upaya pemerintah menutup-nutupi fakta demi memoles citra baik di hadapan delegasi ASEAN Summit.

“Kami mengecam tindakan itu karena seharusnya ada jaminan keamanan dan perlindungan bagi para jurnalis dan siapapun pihak yang keberatan dengan produk jurnalistik mesti mengambil langkah yang sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Pers,” ujarnya.

Atas peristiwa itu, koalisi melayangkan tujuh tuntutan. Pertama Indonesia melalui Pemerintah harus memastikan KTT ASEAN di Labuan Bajo, NTT berlangsung dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ASEAN dengan menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara.

Kedua, meminta KAPOLRI memerintahkan dan harus memastikan POLDA NTT dan jajaran dibawahnya untuk menghormati dan melindungi kebebasan berkumpul dan berpendapat masyarakat NTT, termasuk kemerdekaan dan kebebasan pers serta menjalankan kewajiban memberikan perlindungan dan menyelenggarakan pengamanan terhadap peserta penyampaian pendapat dimuka umum.

Ketiga, mendesak KAPOLRI memerintahkan KAPOLDA NTT untuk menghentikan proses hukum pemolisian politik terhadap masyarakat NTT yang ingin dan akan melakukan aksi unjuk rasa selama ASEAN Summit 42.

Keempat, mendorong KAPOLRI memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Badan Reserse Kriminal untuk memeriksa dugaan tindak pidana menghalang-halangi warga negara menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan oleh Kapolda NTT.

Kelima, meminta aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, secara menyeluruh dan independen terhadap kasus serangan digital yang menarget website Floresa.co dan, menghukum pelaku dengan seadil-adilnya.

Keenan, meminta kepada semua pihak untuk menghormati kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.

Dan ketujuh, jika ada pihak yang keberatan atas sebuah karya jurnalistik, dapat mengirimkan hak jawab ke media tersebut, atau bisa melapor ke Dewan Pers. Peraturan ini diatur dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15 Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.