KLHK Segel Perkebunan Sawit Terbakar di Sumatera Selatan
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengambil tindakan tegas dalam menindaklanjuti hasil pemantauan titik panas (hotspot) serta mencegah meluasnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan.
Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK, Rasio Ridho Sani, bersama Tim Pengawas Lingkungan Hidup, melakukan penyegelan langsung terhadap lahan perkebunan kelapa sawit yang terbakar milik PT. Sampoerna Agro (PT. SA) dan PT. Tempirai Palm Resources (PT. TPR).
PT. SA, yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan Penanaman Modal Asing (PMA) Singapura, memiliki lahan seluas 586 hektar yang langsung disegel oleh tim KLHK. Selain itu, PT. TPR juga terkena penyegelan karena lahan yang terbakar mencapai lebih dari 648 hektar.
Rasio Ridho Sani menjelaskan bahwa tindakan penyegelan ini merupakan langkah awal dalam penegakan hukum terhadap kasus karhutla di wilayah perusahaan. Ia mengungkapkan kekhawatiran serius atas dampak karhutla terhadap kesehatan dan lingkungan.
“Di lokasi ini, kebakaran masih terjadi, masih berasap. Karhutla ini berdampak serius bagi kesehatan dan lingkungan,” tegas Rasio.
Rasio juga menyatakan bahwa KLHK saat ini sedang mendalami penanggung jawab atau pemilik lahan yang terbakar. Hal ini dikarenakan KLHK belum memiliki akses data Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tersebut. Untuk itu, KLHK akan berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN untuk menentukan pemegang HGU atau pemilik lahan terbakar.
Selain PT. SA dan PT. TPR, Tim Pengawas KLHK juga melakukan penyegelan lahan terbakar di PT. Bintang Harapan Palma (PT. BHP) yang memiliki lahan seluas lebih dari 5.148 hektar. Sejauh ini, KLHK telah menyegel sebanyak 11 lokasi kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan.
Rasio Ridho Sani menegaskan bahwa KLHK akan menggunakan semua instrumen penegakan hukum yang dimilikinya, baik secara administratif, perdata, maupun pidana, sesuai perintah Menteri LHK Siti Nurbaya. Tindakan tegas sanksi administratif termasuk pencabutan izin juga akan dilakukan untuk kasus karhutla berulang.
Ia juga mengingatkan korporasi dan masyarakat akan hukuman berat yang dapat diterima sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ancaman pidana pokoknya mencakup hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Bagi badan usaha, dapat dikenakan pidana tambahan, seperti perampasan keuntungan dan perbaikan akibat tindak pidana.
“Kami tidak akan berhenti untuk menindak tegas pelaku karhutla,” pungkas Rasio Sani.