Klandestin Amor
Cerpen – Gawai nir kabel besutan negeri Tirai Bambu di saku jubahnya bervibrasi puluhan notifikasi. Getarannya kadang melambungkan pada sebagian pemakainya. Serbuan notifikasi yang merangkum tentang ideologi, citra rasa hati, tagihan, kiriman, sapaan, intruduksi, cuitan nakal, komen-komen garing, hingga transfer yang bernilai tinggi; semuanya terangkum di sebuah yang tergenggam.
“Alhamdulillah,” teriaknya meloncat kegirangan. hampir saja aku ikut terguncang kepayang, padahal, ya, gak ikut dalam cerita ini. Seolah ku mengendap, bak agen telik sandi negeri Paman Sam.
“Mungkinkah?”
“Ah, sudahlah.”
Sedari tadi ia duduk menanti di selasar belakang rumah. Berkali-kali membenarkan letak jilbabnya, tanda cemas. Jemari lentik sporadis usap kode kunci antarmuka telpon genggamnya. Lincah jarinyanya tak terungkap dan tak tertangkap mata biasa. Maksudnya, ketika aku yang seolah ikut dalam cerita ini menangkap bayangan gerakan jemarinya, maka tragedi deja vu akan menarikan sisa eksotisnya.
Apa yang dia lakukan adalah sebuah protokoler sekuriti digital yang merutin. Terkadang, penjagaan melebihi dari harga diri, biarlah sikap laku tak karuan terbuka, terpapar di keadaan nyata dalam kehidupan normal sehari-hari, yang penting gawai terkunci hebat.
Detik waktu terus berlaju, kini, tampak gelisa dia. Untung tak menampilkan gestur-gestur kotor atas sebuah kegelisaan yang terkadang pada sebagian orang terlihat ekstrem dan tabu. Raga kadang tak terkontrol ketika gelisa, yang penting, hormon kecemasan atau adrenalin tertahan, dengan cara apapun. Dari cara normal hingga cara perlawanan antitesisnya yang bersifat merilis dalam bentuk kepuasan lain.
Didera rasa penasaran, tanpa ampun lagi, jemarinya mulai usap ke bawah- atas, kanan-kiri saling berkelindan sapu lembut lapisan anti gores itu. Sepertinya sudah terlatih fingering.
Matanya yang bulat menjeli dipadu bulunya matanya yang tak bisa dikatakan melentik, mulai tak berkedip memperhatikan kelebatan beberapa laman dan peramban genre sastra yang dia ikuti. Dan, berhentilah di sebuah laman media siber.
“Nah!”
Segeram apa reaksinya? Remasan kepalan telapak yang tak mungkin kapalan itu, bisa meremukkan telur matang. Untung aku tak ada di sana, kalau iya, kuganti saja hiperbola ini dengan batu. Mampukah remuk di tangan lembutnya?
“Kakak sini!” panggilnya dalam euforia gempita. Semampai riangnya seakan menyundul langit. Kalahkan lenting ketapel Daud hingga lesatan Buroq. Ketika Tuhan memberikan kegembiraan kepada umatNya, disitu pula disiapkan episode anjlok atau runtuhnya, ya, kesedihan. Keduanya akan merawat nalar agar tetap sehat menghamba.
Terlihat kembali mimik wajahnya dipermainkan notifikasi lainnya yang tak kalah penting. Beberapa kali ia senyum, manyun, bahkan sesekali bergelak tawa tanpa sebab yang jelas. Jika kau bilang dia gila, akan kuhentikan sekarang juga ceritanya.
Seperti tak waras, pastilah! Berekspresi tanpa lawan bicara. Aneh memang jenis komunikasi interpersonal ini, tapi nyata! Sebuah gambaran rutinitas warganet. Di mana eksistensi netizen dunia maya hampir sebanding dengan eksistensi dirinya keseharian sebagai citizen.
“Muncul lagi dik?” tanya kakaknya yang sudah berada di sampingnya.
“Ya ” jawabnya singkat, seolah tak menyadari siapa yang diajak bicara.
“Hmm,” balas kakaknya terdengar lembut.
Terus terang dia ketagihan dengan media siber, ia mengaku dengan lantang di depan teman-temannya. Sebagaimana sebuah gharizah, media siber sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kakanya sempat cemas, apa jadinya adiknya ini.
“Teruskan apa yang kau gandrungi,” ucap Kakaknya sedikit berantitesis dengan keadaan, sambil memandangi adiknya bak munajat sejuta harap. Ia sadar, adiknya keras kepala, namun Kakanya yakin, itu bentuk sebuah muqowamah antara netizen dan citizen.
“Saya yakin Kak!”
“Ini jalan yang harus ku tempuh. Ketika para pesimistis memandang media siber sebagai sesuatu yang negatif saja, maka bagiku, itu adalah gerbang untuk membuat sebuah mashalih al ‘iba,” katanya sambil memandang lepas ke petala langit, seolah ingin mendapat sebuah koloni dukungan dari alam malakut. Wow, maut!
Seminggu sudah berlalu, kini dirinya sudah berdiri di podium penghargaan literasi anak negeri. Novelnya menyabet juara pertama. Kesempatan emas untuk berdakwah dengan harapan dapat menggiring netizen untuk menjadi citizen yang ber-gharizah tadayyun. Ah, basi.
Beberapa peserta terbaik juga diundang oleh panitia. Tak lupa media massa.
“Saya berdiri di sini atas nama Klandestin Amor,” ia mengawali sambutannya.
Tampak pemirsa, pewarta, pekamus, penyelia kurang paham dengan kata itu, siapakah gerangan Klandestine Amor? Ruangan selebrasi nampak hening, senyap, hanya sedikit diributkan oleh impedansi mikrofon yang gemeresik.
“Klandestin Amor adalah idolku, sang Pecinta Lirih. Dia adalah Uwwais al Qorni.”
Ucapnnya setengah bergetar itu, sungguh tak berarti apa-apa bagi pemirsa. Persetan bagi mereka, siapa dan bagaimana Uwwais al Qorni itu. Yang penting, bagaimana cepat dicetak, diedar dan dijual. Kemudian cari lagi talenta baru, disaring, dipilih, dicetak, dan dijual. Begitu seterusnya.
“Semangat literasiku senyap menusuk berbarengan dengan buncahnya hembusan fitnah media sosial.” Dia mulai beretorika. Sudah jangan teruskan sayang.
Hi manis, tak penting!, cepatlah pulang!, dan menulislah lagi. Itu, narasiku, jika diijinkan masuk ke cerita.
“Saya siap menjadi martir perlawanan untuk terus menyerbu penyembah hoaks.”
Dia makin menggila, akupun terus mengikuti alur ceritanya.
“Netizen bagiku adalah para citizen yang bernafaskan Madinatul Nabi, warga kota yang berkata benar atau sebaliknya senyap saja.” tambahnya.
Sambutannya menjadi sebuah perlawanan di atas podium, bak peristiwa Fathu Makkah, pembebasan kota Mekkah.
“Bagi saya netizen adalah ladang dakwah yang menantang, sebagaimana antiklimak dari para lakon protagonis, antagonis pun tritagonis dalam novel saya ini.”
“Mereka menghadapi situasi yang sama seperti kita, ujian media sosial!” Tampak kepalan kedua kali tangannya yang berhasil kuabadikan dalam ketikan ini.
Waduhhhhh…. cukup, cukup sayang, please! Retorika imajinerku makin liar melecut pakem cerita ini, Janganlan ini yang terakhir, mungkin, jika kali ke sekeian diijinkan masuk ke cerita ini, akan banyak perundungan dariku.
Dia menyudahi sambutannya. Hadirin terpaku, yang mereka harapkan adalah ucapan-ucapan euforia selebritas yang hedon darinya, ternyata yang keluar malah ceramah resistansi.
Pihak penyelenggara agak sedikit berdebar, sebab acara ini juga sebagai pengikat antara panitia dengan pihak penerbitan yang kadang hanya melihat sisi ekonomisnya tanpa peduli ruh apa yang dibawa penulis, yang penting laku lumer.
Dan benar, setelah acara selesai salah satu wakil panitia mendatanginya yang masih sibuk dengan resistansi tambahannya. Nampak comel dia, diwawancarai beberapa wartawan lokal.
“Dik, maaf, pihak penerbit membatalkan rencana publish-nya,” kata si panitia.
“Ah, gak masalah, mbak,” jawabnya.
“Maaf, ya, dik” tambahnya.
“Iya, saya juga banyak berterima kasih atas semua ini,” balasnya dengan percaya diri.
Asyik, dia semitagar, eh, semitegar! Tapi akan ku katakan jika untuk ketiga kali masuk dalam cerita ini; begini: Dik wajahmu gak bisa dibohongi, ada perubahan mimik yang bisa kutangkap, dan itu indah bagiku; ketika ayu wajahmu dikalahkan oleh kenyataan. Sedikit memerahkan ranum putih itu, pertanda desiran yang bergejolak, tertahan oleh sirkumferensi dan hati terdalam.
Siang itu adalah debutnya sebagai peladen perlawanan literasi atas gempuran sisi buruk media sosial. Dia berdiri tegar baik sebagai netizen pun citizen.
“Selamat, ya,” ucap teman akrabnya, namanya bisa siapa saja.
“Terima kasih,” balasnya.
Ihhh, lagaknya, gemesin dia, andai aku ada di situ, kulempar saja pakai glosarium ini.
“Genggam tanganku Rin,” pinta puitisnya. Ririn itu sepertinya teman dekatnya. Ah, tak tertarik!
Nah…nah…kan…kan…. sedikit goyang dia hahaha. Kalau ada momen kayak gini, rugi rasanya kelupaan charging power bank. Akan ku rekam candid gestur-gestur yang menggemaskan ini.
“Aku tak mau sendirian, aku ingin koloni bak semut Sulaiman berbaris rapi hadapi tantangan.” pintanya.
Cieeeee……. wkwkwkwk, aku tergelak dalam khayal ketikan antagonis cerita ini.
Akhirnya, dia pulang bersama teman akrabnya tadi. Pulang membawa kemenangan koloni. Keduanya bersiap membilang karya-karya literasinya tanpa peduli model reduplikasinya, yang penting sudah memberikan contoh nyata dalam sebuah resistensi di podium siang itu. (*)