Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kejahatan yang Kudus

Kejahatan yang Kudus



Oleh: Rekki Zakkia


Estella, perempuan berhati baja dalam bentuk kucing angora. Contoh keanggunan sempurna. Mahasiswi psikologi yang cerdas, dan selalu menganggap hubungan dengan orang lain sebagai obyek analisa. Ia tahu bahwa orang paling berkuasa di dunia bukanlah presiden atau siapa pun yang memiliki kekuasaan macam itu. Ia yakin, kelak; orang-orang macam dirinyalah yang menahan kartu truf kuasa. Atas nama institusi kesehatan, ia berhak untuk menyatakan seseorang itu waras atau gila, sehat atau terganggu secara kejiwaan. Sebuah posisi yang sangat menguntungkan bagi karakter pribadinya. Ia punya dendam dengan mahkluk yang bernama lelaki. Cinta baginya hanya sejenis perjudian, persoalan menang atau kalah. Permainan senda gurau tingkat tinggi mempertaruhkan harga diri. Dan ketika mantan pacarnya bunuh diri karena dicampakkannya, Estella tersenyum puas. Betapa indah, betapa gagah. Bunuh diri sebagai pemberontakan tertinggi, sebuah kebebasan dalam bertindak dan mengambil keputusan untuk mati dalam aksi hidup melodramatis paling fenomenal serta spektakuler. Sebuah kejahatan terhadap dirinya sendiri. Kejahatan yang kudus. Diam-diam ia mengaguminya. Di balik tawanya yang renyah seolah perempuan paling bahagia sejagat, terkandung semacam artikulasi rasa sakit yang berbahaya sekaligus jenius. Sebuah contoh terbaik kemampuan menghibur diri yang menakjubkan dari manusia untuk menyembunyikan penderitaan dengan samar-samar. Bayang-bayang pahit yang jingga dan gelap. Ia sedang menunggu seseorang menelpon, berharap ada lelaki yang menanyakan kabar tentang perasaannya hari ini. Ia sudah muak dengan dunia, penat dengan rasa sakit, bosan dengan gaya hidup yang itu-itu saja. Ia ingin menangis. Menangis lirih dan tak perlu didengarkan orang.

***

Aku adalah pengembara yang terpelanting dari satu sudut dunia ke sudut wilayah lain. Predikat penyair adalah kutukan paling mencelakakan. Bagiku tak ada bedanya antara penjual asuransi jiwa dengan penyair. Mereka sama-sama menjual bualan dan bertahan hidup dengan banyak penipuan. Bahasa adalah senjataku, dan pelurunya adalah kata-kata. Sudah beberapa minggu aku terdampar di Perancis, datang atas undangan seorang kawan untuk mengikuti acara Festival Puisi Internasional. Sebenarnya hanya karena Paris aku datang; menaranya yang anggun, anggurnya yang terkenal, hasrat yang elegan, tawa gadis-gadis serta tubuhnya yang hangat dan berdenyar. Semesta lobang. Kota Cinta. Aku menjadi teringat Estella. Terlalu sulit untuk mengatakan siapa sebenarnya dia, karena hubungan kami begitu rumit dan kompleks. Disebut kekasih terlalu cengeng, dan sahabat? Tak cukup ia menampung seluruh ruang bagi masing-masing diri yang telah bertukar tangkap secara instens dalam waktu yang lama. Sungguh, percintaan tak memberikan sedikit pun kesempatan kita untuk tertawa. Maka aku ingin berlari menjauh, menuju suatu tempat dimana aku bisa menyusun kisah baru tentang hidupku sendiri, dengan caraku sendiri, tanpa dibebani rasa cinta atau benci yang begitu dalam terhadapnya. Aku menjadi yakin, Cinta hanyalah anak yang dilahirkan tanpa ibu serta mati tanpa harus dikuburkan. Cinta datang begitu saja tanpa ada orang yang mampu mencegah atau mempertahankannya secara utuh. Sebuah tabula rasa yang ganjil, aneh, abnormal, dan misterius. Labirin simulakrum yang sungguh-sungguh menguras perasaan. Sebuah semesta pertanyaan dan kenyataan yang ditembakkan langsung ke kepala setiap orang. Mistero del’ amor. Benar juga kata seorang kawan; ada tiga hal yang jika engkau memandangnya dengan sungguh-sungguh, maka engkau akan menjadi buta karenanya, yaitu; Tuhan, kematian serta cinta. Namun cinta lebih dingin daripada kematian….

***

Seperti di sini, Monte Carlo, New York, Jakarta, atau di manapun, mall-mall telah menjadi masjid serta katedral yang baru bagi sembahyang jiwa kita. Di ruang seperti itulah hidup digadaikan, dipersembahkan dengan sangat total, seolah-olah kita menemukan impian yang sebenarnya dari hidup. Dan aku semakin merasa sepi. Di kafe Havana ini, terletak di pojok sebuah toko buku bekas, kuteguk beberapa sloki champagne cocktail, death in the afternoon. Baru saja aku berbincang dengan seorang pemain pantomim tua humoris yang mengeluh karena menurutnya sekarang ini tak ada lagi orang yang benar-benar tertawa secara murni. Ia berargumentasi bahwa pada tahun 40-an orang-orang Perancis menghabiskan waktu sekitar 17 menit untuk tertawa setiap harinya, dan pada tahun 70-an berkurang menjadi hanya 7 menit sehari. Kini, hal sepele namun penting macam itu justru semakin berkurang. Orang-orang sudah seperti mesin, tak punya perasaan, katanya. Aku menjadi curiga kepada diriku sendiri. Aku kembali kepada ingatan tentang perempuan itu, Estella. Aku tersentak, seolah-olah baru bangun dari tidur panjang, pemakaman ingatan, amnesia perasaan. Estella, perempuan itu dilahirkan dari buluh-buluh sepi dan diasuh dendam terlalu lama. Dalam surat-suratnya empat bulan lampau, Estella telah menyebut bahwa ia tak bisa lagi marah atau berterima kasih kepada entah siapa penemu alat kontrasepsi. Kontrasepsi mendorong serta berpengaruh besar kepada variabel sikap hidup manusia yang akan mereka ambil, tulisnya. Ia sadar betul bahwa telah terjadi penjajahan libido secara sistematis dan terus menerus, ia juga sadar telah menjadi korban, namun ia menikmatinya. Dengan pertahanan yang luar biasa, Estella telah menyediakan diri menjadi pemuas dahaga para pecinta yang kemudian dicampakkannya dengan dingin, setelah berhasil menakik habis seluruh getah hasrat serta pikirannya. Aku salah satunya. Lama aku tak berbicara dengannya. Aku segera bergegas, mencari telepon umum. Ingin segera kuakhiri rindu ini. Berapa lama usia Cinta? Apakah rindu ada batasnya ?

***

“Selamat malam, siapa di situ?”
“Aeterna.”
“Oi… di mana kamu, bagaimana kabarnya?”
“Di Paris, well, tak ada kabar, berarti kabar baik”
“Bagaimana cuaca, apakah hujan?”
“Yeah, sedikit gerimis, dingin dan kelam.”
“Kirimi aku surat dong !”
“Apa yang mesti dibicarakan, katamu cinta hanya menabung kesedihan?”
“Jadi, selama ini kamu nggak mencintaiku?”
“Tak ada cinta, tak ada benci, yang ada hanya kita berdua.”
“Lalu kamu tertarik dengan tubuh, atau jiwaku, sih?”
“Tidak semuanya, hanya selubung misteri yang menghubungkan antara keduanya.”
“Kok kamu selalu berteka-teki, apa tak ada cara lain?”
“I am not the poet, but an intelligence…”
“Ha, ha, ha, gombal banget!”
“Sorry, ada telepon masuk, sebentar ya?”
“Oke…”

Dia menutup telepon. Aku sudah hapal dengan kebiasaannya. Estella ingin segera menyudahi pembicaraan. Dan cara itulah yang rutin ia lakukan. Pernah kami bertemu secara aksidental di sebuah toko buku, lalu ngobrol panjang lebar hingga kami memutuskan untuk bertemu lagi pekan berikutnya, untuk menonton pentas teater Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Namun apa yang terjadi setelah kami bertemu? Di hadapan teman-temannya, Estella seolah-olah tak mengenalku. Ia hanya tertawa keras-keras menunjukkan bahwa sebenarnya memang tak ada orang yang benar-benar ia kenal secara utuh. Tawa yang benar-benar palsu, menunjukkan jarak keterasingannya yang sempurna. Dasar Codot!

Aku kembali ke Café Havana. Kubuka lembar-lembar halaman Paris Match. Hampir semua berita politik. Tampak beberapa foto pengungsi Rohingnya dan rumah-rumah terbakar yang ditinggalkannya. Kita semua adalah mesin. Tatapanku berputar ke sudut dinding, wajah tampan tak berdosa Ernesto Che Guevara seperti tak mampu menyakiti sesama sedang menghisap cerutu. Kuhisap rokok kretek kesukaanku, asapnya mengiris tenggorokan, tajam seperti irisan silet di urat nadi mantan pacar Estella, yang memutuskan bunuh diri untuk memaksakan kehidupan. Tak seberapa lama aku ditegur pelayan. Brengsek! Ia kira aku menghisap marijuana. Bukankah karena tembakau juga para penjajah datang ke Hindia Belanda. Adakah relasi makna kretek, kritik dengan kratos? Untuk mengusir rasa bosan kuputuskan menulis surat bagi Estella. Singkat namun menggores. Menulis dan berbicara bagiku tak membutuhkan keahlian. Seperti juga menyiram tanaman yang semua orang bisa melakukannya. 

***

Inilah suratku: 
Paris, taman malam 2017

tak seorang pun dapat menyakiti hatiku
kecuali orang-orang yang kucintai
—Jorge Luis Borges


“Aku menulis surat ini tengah malam, kubayangkan kau belum tidur, dan tak akan pernah bisa tidur. Terjaga sendiri dalam kesunyian, kau tergoda memikirkan dirimu sendiri, riwayatmu, impianmu, kegagalanmu, harapanmu. Mungkin kau juga membayangkan sebuah cinta di sana, meski kau tak akan pernah menemukan bentuk nyatanya. Keadaan seperti itu bukan siksaan yang menggodamu untuk mencari jalan penyelamatan; tapi sebaliknya, sebuah siksaan yang menggodamu untuk tenggelam dalam kenikmatan ratapan.

Tapi aku lebih suka jika kau membayangkan dirimu dalam peran yang mewah, dimana kau menatap cermin untuk menjumpai duplikatmu, menatap sosok ilusifmu. Cermin selalu mengajarkan suatu muslihat dalam penuh kejujuran: kepalsuan yang mirip tanpa cela. Melalui itu kau bersenyum bahagia, menyaksikan rambut gelapmu yang misterius, matamu yang digenangi begitu banyak isyarat, dan senyummu yang sama tajamnya dengan kata hati. Diam-diam kau terhibur dengan narsisme, dengan memberikan kekaguman untuk mengakui keanggunanmu. Dan aku setuju.

Atau ingin kau habiskan malam-malammu dengan membaca buku? Sebuah buku filsafat akan membuatmu tak berarti, karena filsafat memiliki watak menghancurkan segala sesuatu yang dianggap berarti. Membaca novel? Itu memang menghibur dan dapat membantumu menyeberangi malam yang pedih, tapi bukan tanpa masalah: novel memiliki watak meringkus riwayatmu yang nyata ke dalam riwayatnya yang dusta hingga kau musnah bersamanya. Membaca puisi lebih mengerikan lagi: ia akan mengirimkanmu ke dalam ketidakpastian; dan meskipun itulah yang kau inginkan, kau tak memiliki banyak kemungkinan untuk mengalaminya dengan penuh ketulusan.

Seandainya dunia ini panggung dan hidup ini sandiwara, maka segala sesuatu yang kau perankan adalah tontonan bagi kematian. Kau memerankan begitu banyak kerinduan, tapi kau sengaja menggagalkan adegan demi adegan sebelum pentas benar-benar berakhir. Mungkin sempat kau bertanya, atau sengaja tidak bertanya; kenapa aku terosebsi dengan kegagalan? Dengan tabah kau boleh menjawab; karena kegagalan adalah salah satu dari sekian keberhasilan yang dilupakan. Tapi kau menipu diri, karena apa yang sesungguhnya kau inginkan adalah usaha mengingkari apa yang secara ambisius kau perankan dan perjuangkan. Sebuah gaya hidup yang sulit dipahami, sama sulitnya dengan memahami kematian. 

Cobalah kau tutup sepasang matamu sebentar saja, lalu bukalah kembali seperti semula. Mungkin tak ada yang berubah dari apa yang kau saksikan dan mengerti, tapi itulah metode paling sederhana untuk melupakan segalanya, yang pahit dan yang manis, yang pedih dan yang mendebarkan. Atau ingin kau bayangkan kau tidur di angkasa, telanjang, menyerahkan diri pada angin, hujan dan bintang gemintang? Jika hal itu sungguh kau pikirkan, aku memiliki sepasang tangan yang dapat kau jadikan sayap untuk membantumu terbang. Tapi aku tak akan meminjamkan tanganku padamu, karena siapapun tahu masih begitu banyak kepedihan indah yang harus kau perankan di bumi; rindu, cinta, serta segala sesuatu yang membuatmu runtuh di dalamnya.”

Jabat Erat

Aeterna

***

Estella membaca surat dengan bibir bergetar. Angannya membumbung, yang tampak hanya bayang-bayang Kurt Cobain, Ernest Hemingway, Van Gogh, Jim Morisson, Marilyn Monroe, Virginia Woolf, Silvia Plath, dan yang paling membekas; mantan pacarnya. Dengan senyum ia telah memutuskan. Estella berpikir, jika hidupmu terpotong, kau akan menjadi legenda….[]

*Magelang  2020. Sebuah cerita tak terduga untuk Zahrotun Nuraini.


Rekki Zakkia

Lahir tanggal 30 desember 1980. Selain menulis cerpen dan esai, juga menulis puisi. Kumpulan puisinya berjudul ; Matahari Sebutir Pasir diterbitkan oleh Gambang Buku Budaya (2018). Aktif di komunitas Sastra Magelangan, komunitas Rumah Lebah dan aktifis Front Perjuangan Pemuda Indonesia. Tinggal di Magelang. Facebook: Rekki Zakkia. Instagram: rekki_zakkia. 

Beritabaru.co menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke sastraberitabaru@gmail.com dan opini.beritabaru@gmail.com beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word.