Kebijakan Nir-Liberal dan Populisme Islam
Kebijakan Nir-Liberal dan Populisme Islam
(Opini, Fandhy)
Beberapa dewasa terakhir ini para ilmuwan politik disibukkan oleh isu mengenai apakah demokrasi yang jadi anak kandung modernitas sedang mengalami krisis baik secara teoretis maupun praktik. Beragam istilah dicetuskan untuk mengidentifikasi kenyataan politik di penghujung abad ke 20 seperti the burden, collapse dan death untuk dipasangkan dengan demokrasi.
Ada apa gerangan dengan sistem demokrasi yang diagungung-agungkan tersebut? Sebagian pendukung demokrasi liberal mengatakan bahwa demokrasi sedang terancam oleh musuh yang bernama fundamentalisme agama, kelompok intoleran dan otoritarianism.
Sebagai konsep yang universal, demokrasi selama ini lebih diartikan sebagai sistem politik yang beroperasi dalam negara. Implikasinya, lahir berbagai asumsi dogmatis yang menyebut negara itu berdaulat, memiliki kepentingan dan berlaku selamnya. Rupanya kedaulatan negara itu tidak mungkin akan terselenggara jika sebagian besar rakyat juga berdaulat atau paling tidak memiliki niat untuk memperjuangkannya.
Ketegangan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara tersebut yang menyebabkan demokrasi sebagai sistem menjadi krusial. Bahasa mudahnya hubungan oposisional antara negara dan rakyat sipil harus tetap bertegangan sama kuat.
Awal abad ke 21 situasi perpolitikan dunia bergejolak kembali dengan adanya konfrontasi barat dan timur (lebih diwakili oleh islam). Bagi barat islam adalah seorang anak dekil yang mengancam hegemoni modern. Peristiwa 9/11 merupakan titik balik diskursus global yang membawa islam lebih dikenal oleh peradaban modern meskipun secara simplistik maupun simpatik.
Pengenalan barat terhadap islam yang bersifat simplistik membuahkan berbagai wabah seperti islamophobia dan fanatisme supremasi ras putih. Bagi mereka yang simpatik terhadap islam, berkembang suatu dialog yang hangat serta kerja sama untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam menangani isu-isu toleransi, terorisme dan ekstemisme.
Para ilmuwan politik lebih menyukai pendekatan institusional dalam membahas demokrasi karena praktis. Konsekuensinya pembahasan maupun analisis yang dihasilkan tidak akan jauh dari instruksionis, top-down efek dan rasional.
Begitu pula yang dilakukan oleh Mietzner dalam artikel yang berjudul Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia yang terbit di Pacific Affairs edisi 91. Corak pembahasan yang institusionalis sangat meyakini akan peran negara dalam mempengaruhi lanskap perpolitian.
Dengan demikian mereka juga mengandaikan suatu kondisi yang relatif stabil mengenai realitas politik dimana negara masih kuat. Kekuasaan negara itu sendiri dapat dikenali melalui kebijakan yang diambil dalam mengatur masyarakat.
Sesungguhnya potret realitas politik yang belakangan menjadi perhatian adalah kemunculan gerakan populisme islam di Indonesia. Menariknya fenomena populisme itu sering dipahami dalam kacamata demokrasi liberal yang mengagungkan hak-hak asasi manusia di atas asas-asas lain. Populisme dapat diartikan sebagai gerakan sosial anti kemapanan yang dimobilisasi untuk meningkatkan kekuatan pihak tertentu.
Untuk konteks Indonesia, populisme digandengkan dengan islam karena secara demografis ia adalah mayoritas. Kenyataan tersebut mempengaruhi lanskap sosial-politik masyarakat yang mana para pihak yang berkepentingan selalu menjual isu-isu yang berkaitan dengan umat islam.
Genealogi populisme islam di Indonesia dapat ditelusuri hingga era 90 an ketika rezim orde baru membutuhkan dukungan umat islam untuk menstabilkan roda pemerintahannya setelah terjadi konflik di dalam tubuh militer. Saat reformasi digaungkan dan seluruh masyarakat sedang fanatik dengan kebebasan, kelompok islam fundamental mengambil kesempatan dengan membangun jaringan gerakan dan berupaya mempengaruhi keputusan pemerintah melalui jalan protes maupun tindakan intoleran, FPI misalnya.
Di tengah gelombang populisme islam tersebut lahir label syariah dan halal. Hal tersebut telah mematahkan berbagai dogma sekularisme yang meyakini bahwa semakin modern suatu masyarakat maka agama juga semakin terdomestifikasi.
Respons pemerintah terhadap populisme yang dipandang mengancam proses demokratisasi dapat dikategorikan dalam tiga tipe kebijakan. Pertama militan, kebijakan yang bersifat radikal diambil tidak peduli terhadap pelanggaran terhadap hak-hak asasi warga negara. Contohnya dengan menerapkan pembubaran/pelarangan dan sangsi hukum.
Kedua akomodasi, di sini pemerintah bersikap inklusif terhadap segala praktik politik termasuk intoleransi. Bagi penganut paham kedua ini menoleransi tindakan intoleran adalah hal yang niscaya.
Mereka berasumsi bahwa perilaku intoleran akan berhenti dengan sendirinya melalui proses sosial tanpa ikut campur kekuasaan negara. Terakhir lokalisir, tidak lain adalah gabungan dari kedua tipe kebijakan di atas yang artinya pemerintah diperkenankan untuk mengintervensi sejauh itu dibutuhkan.
Populisme islam yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 2016 telah di respons oleh pemerintah dengan melalukan pendekatan militan. Pembubaran HTI, kriminalisasi kasus Rizieq Shihab dan tuduhan isu makar merupakan bukti yang bisa disodorkan. Jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya kebijakan yang diambil jauh berbeda, SBY dalam menghadapi populisme lebih cenderung bersikap akomodatif.
Sekarang, rezim Jokowi tampak garang menghadapi populisme dalam menegakkan demokrasi. Namun sayangnya langkah kebijakan tersebut hanya akan menghambat gerak populisme islam tidak pada gagasannya. Artinya kebijakan tersebut lebih bersifat jangka pendek yang hanya mengamankan rezim yang berkuasa. Dengan kata lain rezim Jokowi cenderung konservatif.
Terakhir, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah populisme islam selalu mengancam demokrasi? Mengapa praktik populisme dikatakan illiberal? Dan bagaimana sebaiknya respons negara terhadap populisme? [Pewarta Nusantara]