Katastrofi, Tragedi Kosmis-Ekologis, dan Patahan Sejarah Kebudayaan
Sesudah itu, dengan makna relatif sejajar atau paralel, istilah atau makna katastrofi tersebut dipakai untuk menyebut bermacam-macam bencana mahadahsyat atau malapetaka tak tertanggungkan dan tak terbahasakan yang menguncang tata atau keteraturan alam semesta, bumi, ekologi, dan atau kebudayaan manusia. Misalnya, sekarang sudah makin lazim digunakan istilah katastrofi geologis, katastrofi kosmis, katastrofi alam [tsunami atau badai Tornado, katastrofi lingkungan, katastrofi iklim, katastrofi manusia [genosida], dan katastrofi ekonomi dan finansial.
Pelbagai istilah frasal tersebut menggambarkan malapetaka atau bencana mahadahsyat yang berdaya merusak, menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan. Bidang ilmu geologi, astronomi, klimatologi, dan ilmu lingkungan sekarang paling serius memakai istilah atau makna katastofi untuk menyebut bermacam bencana kosmis, galaksi, bumi, dan lingkungan yang luar biasa dahsyat yang mengakibatkan guncangnya atau rusaknya tata atau keteraturan kosmis, alam semesta, bumi, dan atau lingkungan.
Di samping itu, istilah katastrofi juga digunakan untuk menggambarkan bencana yang menciptakan ketidaksetimbangan, ketakselarasan atau kekacauan, bahkan berdampak menghancurkan, meruntuhkan, dan atau memunahkan tata-semesta (kosmologi), tata-bumi, tata-lingkungan, tata-sosial, dan bahkan tata-kebudayaan. Mungkin dalam imajinasi kita, sebuah katastrofi geologi, katastrofi bumi, dan katastrofi ekologis-lingkungan seperti perang Baratayudha: bukan hanya menghancurkan semesta, tetapi juga membinasakan kehidupan semua makhluk di bumi.
Temuan kajian bidang geologi, astronomi, ekologi, arkeologi, mitologi, naratif, dan bahkan juga sejarah kebudayaan telah menggambarkan malapetaka luar biasa atau bencana kosmis-ekologis-lingkungan mahadahsyat sudah berkali-kali terjadi dan berlangsung sepanjang sejarah (umur) alam semesta khususnya bumi. Secara ringkas hal tersebut dapat disebut katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan.
Hal tersebut sudah beratus-ratus kali terjadi. Di samping itu, telah berlangsung dengan tingkat atau skala kedahsyatan dan kerusakan berbeda-beda dalam sepanjang umur jagat raya yang sudah jutaan tahun. Namun, terbukti jagat raya atau bumi kita tidak hancur lebur dan luluh lantak untuk kemudian berakhir (kiamat) begitu saja, melainkan memulai kembali dan memperbaharui diri secara evolutif-kreatif-inovatif
Buku The Upside of Down: Catastrophe, Creativity, and the Renewal of Civilazation karya Thomas Homer-Dixon (2006, Island Press, Washington) dan buku Encyclopedia of Disarters: Enviromental Catastrophes and Human Tragedies (2008, Greenwood Press, London) memberikan ilustrasi bagaimana katastrofi merusak dan menghancurkan bagian-bagian tertentu dari alam semesta (planet), bumi, dan ekologi-lingkungan. Selain itu, juga memunahkan atau membinasakan manusia beserta kebudayaan dan peradabannya. Namun, kemudian menumbuhkan diri, memperbaharui diri, dan membangkitkan diri kembali.
Setelah mengalami katastrofi kosmis-ekologis-lingkungan, sudah tentu pertumbuhan kembali dan pembaharuan diri (bagian-bagian tertentu) jagat raya atau bumi memakan waktu lama. Di samping itu, juga berbeda-beda (tidak sama) dalam rentangan umur jagat raya atau bumi. Hal tersebut tampaknya merupakan perintah historis kehidupan alam semesta, bumi, dan lingkungan pada satu sisi dan pada sisi lain merupakan perintah historis kemanusiaan, kebudayaan, dan peradaban