Kartini dan Potensi Perempuan Dalam Mengelola Zakat
Oleh: Zainal Muttaqin
Berita Baru, Kolom – Habis gelap terbitlah terang. Begitulah semboyan diperingatinya hari Kartini.
21 April menjadi hari dikenang dan diangkatnya Kartini sebagai tokoh pahlawan nasional yang telah memperjuangkan emansipasi perempuan.
Emansipasi perempuan memiliki makna yang sama dengan kesetaraan hak.
Emansipasi wanita juga dimaknai sebagai suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum perempuan terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan.
Akar masalah munculnya perjuangan emansipasi perempuan pada masa itu adalah adanya istilah “swargo nunut neroko katut” atau “surga turut neraka ikut”.
Istilah ini begitu kuat dianut oleh kalangan masyarakat Jawa. Ke mana laki-laki mengarahkan langkahnya, perempuan harus turut bersamanya, tanpa ada hak untuk bertanya maupun menolak.
Adat istiadat ini tidak memperbolehkan perempuan untuk mempunyai keinginan maupun cita-cita.
Mereka hanya boleh tunduk dan patuh pada peraturan yang telah ada. Hanya ada satu cita-cita yang boleh dimiliki seorang wanita yaitu pernikahan.
Sistem adat feodal inilah yang kemudian menguntungkan kaum laki-laki. Akan tetapi, menjadi sebuah petaka bagi kaum perempuan yaitu adanya penindasan.
Oleh karena itu, perempuan-perempuan di Indonesia saat itu perlu diperbolehkan untuk belajar dan memperoleh pendidikan.
Sebab dengan memberikan pendidikan, berarti mengangkat juga martabat kaum perempuan, sehingga kaum perempuan dapat merobohkan sendi-sendi adat feodalisme (Sitisoemandari Soeroto, 1977:5).
Perjuangan melalui bidang pendidikan itu pun akhirnya dipraktikkan pada masa Kartini. Sebagaimana ungkapan Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada awal tahun 1900, sebagai berikut;
“Siapa yang paling banyak berbuat untuk yang terakhir, yang paling banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia? Wanita, ibu. Karena manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang perempuan. Dari tangan perempuanlah, anak-anak mulai belajar merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali itu bukan tanpa arti bagi seluruh penghidupan” (R.A. Kartini, 2017:51).
Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa menurut Kartini pendidikan bagi perempuan adalah utama sifatnya.
Pendidikan tersebut telah dicontohkan sebagaimana seorang ibu yang telah memberikan pengajaran kepada anak-anaknya agar dapat membentuk generasi yang gemilang di masa depan.
Dalam hal ini tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki maupun anak perempuan.
Kini, Kartini telah dikenang namanya. Banyak usaha dan perjuangan yang telah dilakukan, sebagaimana memperjuangkan hak-hak perempuan di zamannya.
Lantas, bagaimana peran perempuan saat ini khususnya dalam bidang pengelolaan zakat?
Pertama dalam hal pendidikan. Perempuan saat ini bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya dalam membayar zakat.
Hal ini bisa dimulai dengan sosialisasi ke masyarakat, yaitu dengan cara memberikan informasi tentang cara membayar zakat, ketentuan-ketentuan melakukan zakat, hingga manfaat melakukan zakat.
Edukasi ini bertujuan agar masyarakat yang dirasa mampu dapat melangsungkan pembayaran zakat.
Kedua dalam hal pengelolaan zakat. Perempuan juga memiliki peran lebih dalam manajemen zakat.
Pengelolaan zakat juga dilakukan untuk menjamin pemberdayaan perempuan.
Pendistribusian zakat juga perlu memperhatikan perempuan yang lebih dekat dengan anak-anak dan perempuan yang menjadi kelompok paling rentan sebagai korban konflik.
Semoga, dengan diperingatinya hari Kartini. Perempuan di Indonesia juga bisa lebih tangguh dalam mengahadapi segala hal/ situasi apapun, terutama dalam hal zakat, yaitu bisa memberikan inovasi-inovasi, pembaharuan, serta trobosan baru dalam mengelola dana zakat.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah dan Penerima Beasiswa Riset BAZNAS Republik Indonesia Tahun 2021.