Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jaringan Solidaritas Desak Kriminalisasi Petani Pakel Banyuwangi Dihentikan
Jumpa Pers Jaringan Solidaritas untuk Keadilan Warga Pakel Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim). (Foto: Doc. Istimewa)

Jaringan Solidaritas Desak Kriminalisasi Petani Pakel Banyuwangi Dihentikan



Berita Baru, Jakarta – Jaringan Solidaritas untuk Keadilan Warga Pakel Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim) mendesak agar kriminalisasi terhadap petani setempat dihentikan. Hal itu untuk mewujudkan keadilan agraria.

Dalam keterangan tertulisnya, Jaringan Solidaritas menyampaikan pada 24 September 2020, bertepatan dengan hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ribuan warga Desa Pakel, membulatkan tekadnya melakukan aksi reklaiming di lahan leluhur mereka yang dikuasai oleh PT Bumi Sari.

Namun, dalam perjalanannya, aksi kolektif warga Pakel yang tergabung dalam organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel (RSTP) tersebut berujung pahit. Hingga November 2021, ada 11 warga Pakel yang mendapatkan surat panggilan dari pihak kepolisian. 

Selanjutnya, pada Desember 2021, 2 warga Pakel (Tumijan dan Misto) juga kembali mendapatkan panggilan dari pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan dugaan pelanggaran pasal 47 (1) UU 18 nomor 2004 tentang Perkebunan dan pasal 170 (1) serta pasal 406 (1) KUHP. 

Dan tragisnya, pada Jumat dini hari, 14 Januari 2022, warga kembali mengalami tindak kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan 4 orang (warga dan tim solidaritas perjuangan) menjadi korban.

Terkini, pada Jumat, 20 Januari 2023, warga Pakel dikagetkan dengan datangnya surat panggilan dari Polda Jawa Timur. Surat panggilan tersebut menetapkan 3 warga Pakel, yakni: Mulyadi (Kepala Desa), Suwarno (Kepala Dusun), dan Untung (Kepala Dusun) sebagai tersangka. 

“Mereka dikenakan Pasal 14 dan atau 15 Undang-undang nomor 1 Tahun 1946. Sebagaimana diketahui, surat panggilan tersebut meminta 3 warga Pakel di atas untuk datang ke Polda Jawa Timur pada Kamis, 19 Januari 2023, namun surat panggilan tersebut baru diterima warga pada Jumat, 20 Januari 2023,” kata Jaringan Solidaritas, Rabu (1/2).

Jaringan Solidaritas menyebut, perjuangan hak atas ruang hidup warga Pakel telah berlangsung hampir 1 abad. Secara historis dimulai saat mereka menerima Akta 1929, tertanggal 11 Januari 1929 pada era pemerintahan kolonial Belanda – yang mengizinkan mereka untuk membuka hutan seluas 4000 Bahu. 

Namun, dalam perjalanannya, kawasan Akta 1929 tersebut dikuasai oleh Perhutani dan PT Bumi Sari saat Orde Baru berkuasa – yang terus berlangsung hingga saat ini.

Padahal merujuk Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri, nomor SK.35/HGU/DA/85, dijelaskan bahwa PT Bumi Sari hanya mengantongi HGU seluas 1189,81 hektare: terbagi dalam 2 Sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon. 

“Dengan demikian, jelas dapat disimpulkan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Pakel,” ujarnya.

Dalam rangka memenangkan kasusnya, lanjutnya, warga Pakel juga telah menyampaikan kasusnya secara langsung kepada Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto, yang juga diikuti oleh Kemen ATR/BPN Raja Juli Antoni pada tanggal 26 Oktober 2022 di kantor Kementerian ATR/BPN, Jakarta. 

“Dalam pertemuan tersebut, pihak kementerian ATR/BPN berjanji akan segera melakukan kunjungan ke Banyuwangi dan mengupayakan berbagai langkah penyelesaian. Namun, hingga kini tampaknya janji tersebut belum terealisasi, sementara di pihak warga Pakel mereka terus mengalami berbagai tekanan dan kriminalisasi seperti diuraikan di atas,” sambungnya.

Disebutkan juga bahwa sebelumnya pada Juni 2021, warga Pakel dan tim pendamping hukum juga telah mengadukan kasus ini dan melakukan audiensi dengan pihak Kantor Staf Presiden Republik Indonesia. Namun sayangnya, hingga kini berbagai upaya tersebut belum menunjukkan titik terang. 

“Untuk itu, kami menuntut Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus warga Pakel, Banyuwangi dan memulihkan seluruh hak-hak ekonomi, sosial, budaya mereka yang terampas,” tegasnya.

Selain itu, Jaringan Solidaritas juga menuntut Kementerian ATR/BPN mencabut HGU PT Bumi Sari. Dan mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi, perlindungan hukum dan berbagai upaya-langkah strategis terkait pelanggaran HAM yang menimpa warga Pakel. 

Serta menuntut Kompolnas untuk melakukan evaluasi kinerja Polda Jawa Timur dan Polresta Banyuwangi atas kasus kriminalisasi yang menimpa warga Pakel.

“Mendesak Kapolri, Kapolda Jawa Timur, dan Kapolresta Banyuwangi untuk mengusut dugaan tindak pidana penguasaan lahan secara ilegal oleh PT Bumi Sari, dan menghentikan seluruh tindakan kriminalisasi dan pencabutan status tersangka terhadap warga Pakel,” tegasnya.

Diketahui, Jaringan Solidaritas untuk Keadilan Warga Pakel terdiri dari, Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (Tekad Garuda), MHH PP Muhammadiyah, LHKP PP Muhammadiyah, LBH Surabaya, WALHI Jawa Timur, dan ForBanyuwangi, serta LBH Disabilitas.

Terkait kasus kriminalisasi Mulyadi Dkk, pakar hukum pidana Dr. Ahmad Sofian, mengatakan bahwa Secara historis, keonaran yang dimaksudkan dalam UU nomor 1 Tahun 1946 ini lebih diterjemahkan sebagai kegelisahan rakyat, mengguncangkan hati penduduk. 

“Dulu kalau kita lihat semangatnya, ada selebaran, di era euforia kemerdekaan, tapi ada kelompok-kelompok yang tidak senang dengan kemerdekaan itu. Sehingga ada yang menyebarkan selebaran-selebaran itu. Nah, dokumen-dokumen tersebutlah yang dilarang, takut ada perpecahan. Jadi UU ini, dalam konteks historis, ya seperti itu, bukan konteks sekarang. Jadi dengan demikian, Pasal 14 dan 15 UU ini tidak bisa dipakai dalam kasus warga Pakel,” ungkapnya.

Sementara itu, dosen hukum Binus University itu juga menambahkan, subjek delik dalam UU ini dirumuskan secara materil. Maka untuk itu, baru bisa diterapkan jika timbul keonaran. Timbulnya keonaran itu karena adanya berita bohong. Jadi ada hubungan kausal antara menerbitkan berita bohong dengan timbulnya keonaran. 

“Dan harus di cek, itu benar atau tidak berita bohong,” tuturnya.

Jaringan Solidaritas menyebut, dengan peristiwa ini, maka ada sedikitnya 5 warga Pakel yang ditetapkan menjadi tersangka dan menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2020-2023 karena berjuang mempertahankan hak ruang hidup dan tanahnya. 

Untuk melawan kriminalisasi tersebut, tim hukum dan warga Pakel tengah melakukan upaya hukum Pra Peradilan. Tim hukum warga Pakel, Tekad Garuda, menganggap terdapat sejumlah pelanggaran dan kejanggalan dalam proses pemanggilan dan penetapan tersangka terhadap warga Pakel. 

“Maka untuk mencari keadilan dan dalam rangka mewujudkan keadilan agraria di Jawa Timur, khususnya untuk kaum tani dan masyarakat marjinal, kami menempuh upaya hukum Pra Peradilan pada Senin, 30 Januari 2023, yang kami daftarkan di PN Banyuwangi.” ungkap Jauhar Kurniawan, anggota Tekad Garuda.

Selain itu, untuk memperluas dukungan solidaritas perjuangan warga Pakel, Tekad Garuda juga sedang menggalang Surat Solidaritas dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil Indonesia sejak 20 Januari 2023. Setidaknya, hingga 30 Januari 2023, puluhan akademisi dan pakar hukum dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan akademisi kampus-kampus lainnya telah bergabung dalam Surat Solidaritas tersebut (link: https://www.bantuanhukumsby.or.id/article/65)).

“Surat Solidaritas tersebut, nantinya akan kami kirimkan ke Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN, Kapolri, Komnas HAM, dan Kompolnas. Dalam surat tersebut, kami mendesak Presiden Jokowi dan seluruh institusi pemerintah terkait, agar segera menyelesaikan kasus yang dialami warga Pakel,” ungkap Taufiqurochim, pengurus Tekad Garuda.

Selain berhadapan dengan kriminalisasi dan tindakan kekerasan, hak warga Pakel untuk mendapatkan informasi – dokumen publik (dokumen HGU PT Bumi Sari) juga dihalang-halangi oleh BPN Banyuwangi. Terkait hal tersebut, warga Pakel saat ini sedang mengajukan sengketa informasi publik di Komisi Informasi Publik (KIP), Jawa Timur.

Menurut Dr. Herlambang P Wiratraman, MA, pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa konflik antara warga Pakel dengan pihak PT. Bumi Sari merupakan bentuk dari warisan watak kolonial yang bertahan sampai hari ini. 

“Di dalam konteks Banyuwangi masih terdapat kasus-kasus yang serupa dengan kasus di Pakel baik penguasaan lahan yang dikuasai perkebunan negara maupun penguasaan perkebunan yang dimiliki oleh swasta. Politik hukum agraria kita memang tidak sungguh-sungguh diupayakan untuk selesai, terutama ketika berhadapan pada kasus-kasus perampasan hak-hak tanah rakyat, yang terjadi pada masa kekuasaan Orde Baru,” ungkapnya.

Terkait hal tersebut, Herlambang, yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM mendesak agar kasus kriminalisasi yang dialami oleh warga Pakel harus dihentikan.

“Proses penegakan hukum itu tidak boleh mengenal diskriminasi, dia harus adil. Keadilan itu maknanya tidak hanya sekedar siapa yang melapor duluan kemudian diproses. Tidak! Adil artinya polisi bekerja tidak hanya sekedar memenuhi unsur pasal-pasal tetapi juga harus membaca konteks bekerjanya pasal-pasal tersebut,” ujarnya.

“Apabila kasus ini diteruskan akan menyiksa warga masyarakat, dan tentu berbuah ketidakadilan itu sendiri. Padahal kita ini mendaku keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia – prinsip kelima di Pancasila. Rasa-rasanya apabila kriminalisasi berjalan terus, prinsip kelima Pancasila itu akan hilang maknanya bagi warga Pakel.” tegas Herlambang.