Indonesia Tidak Siap Hadapi Corona
Oleh: Fachri Muchtar
(Pasien Suspect Covid-19)
Saya merasa resah dengan kondisi saat ini. Saya ingin speak up sebagai pasien suspect Covid-19. Saya akan bercerita tentang bagaimana pengalaman saya sebagai pasien di salah satu RS Rujukan di Jakarta dan keresahan saya terkait Corona.
Baru semalam saya dinyatakan sama dokter sebagai pasien suspect Corona. Gejala yang saya alami berupa demam, batuk, sesak nafas, pilek, sakit tenggorokan sama lemas. FYI saya sedang karantina mandiri di rumah setelah sebelumnya di rawat di ruang isolasi IGD.
Setelah saya rontgent paru, saya dipindahkan ke ruang dekontaminasi. Di sana isinya orang batuk semua. Pokoknya batuk, mau dia terindikasi Corona atau tidak, digabung di situ. Satu ruangan bisa berisi 4-5 orang dengan ukuran ruangan yang saya kira paling sekitar 2×3 meter.
Di ruangan itu, ada 3 pasien tidur di ranjang, dan 2 orang duduk di kursi roda karena tidak muat.
Nah, setelah nunggu beberapa jam (mungkin sekitar 1-2 jam), saya dikabarkan bahwa saya adalah pasien suspect Covid-19 berdasarkan gejala dan riwayat perjalanan saya. Akhirnya saya pun dipindahkan ke ruang khusus isolasi pasien Covid-19.
Selain saya, ada satu lagi seorang bapak yang juga dipindahkan karena beliau mengalami hal yang sama seperti saya, pasien suspect covid-19.
Oiya, di ruangan itu hanya ada 3 bed kasur, sementara pasiennya ada 6. Jadi, terpaksa sebagian harus duduk di kursi roda. Dan saya sendiri duduk di kursi roda dari ruang dekontaminasi sampe baru dapat kasur tadi pagi.
Oke lanjut, dari 6 orang tersebut, 2 di antaranya, pada malam itu langsung dirujuk ke RS Rujukan yang lain. Sedangkan sisanya menunggu kamar isolasi rawat inap kosong atau RS Rujukan lain yang mau nerima. Sedangkan kondisinya, semua RS Rujukan penuh.
Akhirnya saya dan 3 orang lainnya hanya bisa saling mengobrol sambil menunggu kepastian kapan kita di tes swab (tes Corona) dan kepastian ruangan.
Akhirnya, sekitar jam 11 siang kami di tes swab oleh tim dokter. Hasil tes swab baru bisa diketahui paling cepat 3 hari. Lama kan? Makanya jangan heran ketika di Mata Najwa, Gubernur DKI dan Gubernur Jabar ingin tes mandiri. Soalnya jika harus menunggu pusat pasti sangat lama.
Setelah tes swab kami semua dianjurkan untuk pulang dan karantina mandiri di rumah sambil menunggu hasil. Jika positif, ya, kami bakal dijemput dengan ambulans. Hal ini dilakukan karena jumlah ruang isolasi terbatas, sedangkan jumlah pasien suspect dan positif terus bertambah.
Saya sempat berbincang dengan dokternya. Dia mengakui kalau Indonesia itu memang tidak menghadapi Corona. Sangat gagap bahkan dalam pelayanan medis. Dengan metode tes swab seperti sekarang, tidak heran jika banyak yang underdiagnosed.
Kenapa saya bilang banyak yang underdiagnosed (jumlah angka official jauh lebih kecil dari jumlah kasus real di lapangan)? Ya, karena tidak semua orang bisa cek dan mau ngecek. Fasilitas kita masih sangat terbatas, bahkan petugas medis yang mengangani pasien saja tidak bisa tes swab.
Ini semua, kenapa bisa terjadi? Karena Indonesia punya sikap “sombong!” dan sangat meremehkan virus ini ketika pertama kali muncul di Wuhan. Alih-alih mempersiapkan dengan serius, kita malah menjadikan bahan candaan dan menantang riset Havard yang mengatakan bahwa virus ini sudah ada di Indonesia.
Pada awal-awal virus ini muncul, kita lebih memilih buat bayar influencer 72 milyar dan memberi diskon pesawat. Ketika negara lain serius memandang Corona, Indonesia malah meremehkan. Jangan heran jika sekarang kita gagap menangani ini. Karena kita belum siap!
Bahkan ketika Covid-19 mulai mewabah di Indonesia, Menkes kita masih sempat-sempatnya mengedepankan hal simbolik, seperti pengangkatan Duta Imunitas Corona Sejati daripada melakukan pembenahan masalah pelayanan kesehatan secara konkrit.
Sekadar informasi, pelayanan kesehatan kita untuk mengatasi Covid-19 masih belum siap. Di Indonesia, Anda bisa melakukan tes Corona adalah sebuah privilege, mengingat tidak semua orang melakukannya!
Kenapa saya bilang privilege? Ya, karena kalau Anda tidak pernah keluar negeri/kontak dengan pasien positif, besar kemungkinan tidak bakal dicek. Tetapi walaupun begitu, RS-RS Rujukan tetap saja kewalahan menangani jumlah suspect dan pasien positif. Padahal (mungkin) banyak dari kita yang tidak tahu apakah pernah berpapasan… atau (mungkin) berada di lokasi yang sama dengan pasien positif karena data tidak terbuka dengan jelas. Beda dengan Singapura yang bias mengetahui riwayat perjalanan si pasien. So far, petanya hanya menerangkan lokasi asal dari pasien dan suspect.
Akhirnya banyak orang juga yang tidak aware buat periksa, padahal memeriksa itu penting dan semakin banyak sampel akan semakin mendekati keakuratan. Selain itu, juga Kemenkes harus memberi izin daerah untuk melakukan pengetesan sendiri agar menyingkat waktu.
Bahkan, kalau bisa, seperti di Korea Selatan yang bisa melakukan cek via drive thru—dengan pembukaan data dan pengecekan yang lebih massif. Dengan cara itu ustru membuat rakyat lebih siap daripada dengan sikap seperti sekarang—dengan—dalih supaya rakyat tidak panic, padahal dengan situasi seperti ini, justru rakyat sangat panik data yang tidak ada kepastiaanya.
Setelah saya melihat bagaimana ketidaksiapan pelayanan kesehatan kita yang dikomandoi oleh Kemenkes. Saya semakin resah ketika melihat sosial media. Isu Corona ternyata belum menjadi isu yang menyatukan kita. Bahkan kita masih terpolarisasi secara politik!
Bayangkan, dalalm isu yang seharusnya kita bersatu untuk melawannya (terkait dengan kemanusiaan), masih saja ada akun-akun yang menggunakan isu ini untuk kepentingan politik.
Seharusnya kita mendukung segala bentuk kebijakan yang dilakukan oleh kelompok manapun dalam rangka melawan Corona dan mengkritisi kebijakan-kebijakan yang kacau, bukan malah memperdebatkan satu kebijakan yang tepat dan menyerang dari sisi personal. Bukan pula melindungi kesalahan pemerintah dari kritik-kritik yang ada.
Persoalan mengenai corona tidak berhenti di sana.Tetapi bagaimana kita mengedukasi masyarakat kelas menengah ke bawah agar sadar dengan isu ini. Sebab bagi mereka, kepastian untuk hidup di hari esok lebih menakutkan dibandingkan Covid-19.
Kelompok kelas mengeah ke bawah ini-lah yang menjadi kelompok paling rentan apabila positif terinfeksi Covid-19. Bagi mereka yang kaya, mungkin bisa mengisolasi diri di salah satu kamar, di rumahnya. Namun bagaimana dengan keluarga yang makan, tidur dan berkumpul di ruangan yang sama?
Tentunya hal itu akan lebih berisiko karena mereka tidak ada ruang untuk mengisolasi diri secara mandiri, apalagi lingkungan pemukiman mereka juga padat penduduk. Tidak jarang mereka juga tinggal di gang senggol. That’s why saya bilang kelompok menengah ke bawah ini adalah kelompok yang sangat rentan.
Kelompok menengah ke bawah ini juga kadang tidak aware dengan kesehatannya dan isu Covid-19 ini. Kalau mereka merasakan gejala, mereka tidak bakal langsu periksa, mungkin hanya bilang “Ah paling masuk angin!” Bayangkan saja, penyebaran virus akan lebih sulit terdeteksi.
Sangat beda dengan kelas menengah yang mungkin akan langsung memerika kesehatan mereka karena mereka punya kesadaran dan terpapar informasi yang cukup. Makanya, #GerakanSosialDistancing itu penting dan sangat perlu untuk mencegah penyebaran Corona! Tetapi, prakteknya memang tidak semudah itu.
#GerakanSosialDistancing dan gerakan #dirumahaja memang sangat bagus. Namun jangan menghakimi mereka yang tetap pergi bekerja hari ini. Sebab di antara mereka harus tetap bekerja untuk mendapat penghasilan dan bertahan hidup. Sebagian lagi terpaksa bekerja karena sistem kapitalisme tidak peduli dengan wabah pandemi Corona, yang penting aman? Makanya butuh intervensi lebih dari pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi masalah ini, karena social distance tidak akan berjalan sesuai harapan. Buktinya? Membludaknya penumpang MRT dan TJ ketika pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan armada.
Nah, Kunci untuk memaksimalkan #GerakanSosialDistancing adalah dengan memaksa pemerintah untuk melakukan lockdown (karantina). Kuncinya ada di Presiden Joko Widodo, karena secara teknis, lockdown sepenuhnya wewenang pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah.
Hal itu sesuai dengan amanat UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Di pasal 55 disebutkan bahwa pemerintah pusat memiliki wewenang untuk melakukan karantina wilayah (lockdown) dan wajib memenuhi kebutuhan penduduknya.
Akan tetapi, lockdown punya konsekuensi besar, yakni matinya kegiatan ekonomi. Dari itu, pemerintah harus mampu memberikan jaminan dan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha. Tetapi, ini hanya worth it untuk mencegah menyebarnya Covid-19, sebelum menjadi outbreak.
Kalau pasien corona bertambah dan terus meningkat, sementara respons pemerintah masih lamban, dan dunia usaha juga tidak memberlakukan Work From Home, mungkin kita perlu gerakan digital yang lebih massif lagi. Agar pemerintah lebih serius menangani wabah Covid-19 ini. Tidak hanya gimmick belaka!!!
Thank you untuk kalian yang sudah mau baca thread saya yang panjang ini. Terima kasih juga atas doa-doa baik kalian. Semoga Allah SWT membalas doa baik kalian. Oh, iya, kalau ada yang mau diskusi soal Covid-19, jangan sungkan yaaa untuk langsung reply atau DM akun pribadi saya!
Penting saya sampaikan, bahwa saya melakukan pengetesan ini atas inisiatif pribadi, karena bagi saya melihat respon negara sangat lamban. Kita sebagai warga negara harus pro-aktif. Saya tidak ingin tanpa disadari menjadi penyebar virus Covid-19. Kalau saya positif, ya, pada akhirnya saya bisa tracing dan melindungi orang-orang di sekitar saya dengan cara isolasi dan menyuruh mereka cek juga. Kalau pun negatif ya, Alhamdulillah!
Sementara alasan sya buat thread ini juga suapaya semua orang waspada. Saya ingin mengabarkan, bahwa menjadi suspect Covid-19 bukanlah sebuah aib. Kita harus melawan stigma, mungkin next time, jika saya positif, saya pasti akan membagikan riwayat perjalanan saya.
Ada hal yang perlu saya garis bawahi agar tidak salah paham dengan thread saya di atas. Saya tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak RS tempat saya diisolasi. Saya membeberkan ini hanya untuk memberikan gambaran bagaimana kesiapan fasilitas kesehatan kita menghadapi Covid-19. Terima kasih! Salam!
Editor | Moh Junaidi |