INDEF Dorong G20 Luncurkan Program ‘The Debt Service Suspension Initiative’ Jilid 2
Berita Baru, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut berbagai negara telah melakukan banyak cara untuk menangani dampak negatif pandemi COVID-19 terhadap perekonomian baik dengan upaya fiskal maupun moneter.
Namun demikian, pemulihan ekonomi pasca COVID-19 tetap mendapat tantangan besar terutama dari peningkatan harga komoditas yang terus berlangsung sejak akhir 2021, peningkatan suku bunga acuan The Fed, lonjakan harga-harga yang terus terjadi, normalisasi kebijakan moneter, dan menumpuknya beban fiskal, khususnya utang.
Bahkan, gelontoran stimulus fiskal selama pandemi COVID-19 telah membuat lonjakan utang secara masif dan menyeluruh di berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang. Sehingga tingkat utang global pun meningkat tajam di 2020.
“Hal ini menjadi ancaman besar terutama untuk negara-negara berpenghasilan menengah rendah dan negara-negara emerging market yang memiliki keterbatasan ruang fiskal, termasuk Indonesia,” tulis INDEF.
Hal itu disampaikan INDEF dalam seminar Internasional dan Side Event G20, dengan bertajuk ‘Mendorong Keadilan Ekonomi dan Utang Melalui G20’ di Bali, pada Kamis (14/7).
Berdasar, IMF’s Global Debt Database menunjukkan utang meningkat dari 28 persen ke 256 persen di 2020. Inflasi yang terus melambung memaksa suku bunga acuan The Fed untuk naik, membuat ongkos pembayaran utang semakin mahal.
Oleh sebab itu, INDEF menilai peran G-20 melalui The Debt Service Suspension Initiative jilid 2 menjadi penting untuk membantu negara-negara low and middle income.
Sebagaimana diketahui, pada April 2020, G-20 meluncurkan program The Debt Service Suspension Initiative untuk membantu negara miskin dan rentan dari low and middle income untuk mengelola dampak buruk dari pandemi COVID-19.
“Program ini merupakan penangguhan sementara pembayaran utang kepada kreditur bilateral hingga Desember 2021. Program serupa dapat dilakukan kembali oleh G-20 dalam rangka mendukung negara-negara low and middle incom,” tegas INDEF.
Dalam catatan INDEF, total utang luar negeri (total external debt stocks) dan bunga pinjaman jangka panjang di negara low and middle income melonjak hampir 100 persen dalam satu dekade dari 2010 ke 2020.
Total external debt stocks low and middle income countries melonjak dari USD 4,360 miliar di 2010 ke USD 8,687 miliar di 2020. Sementara itu bunga pinjaman jangka panjang dari USD 101 miliar di 2010 ke USD 207 miliar di 2020.
“Negara-negara low and middle income pasca COVID-19 menghadapi tingkat utang sekaligus bunga yang tinggi, sementara itu kondisi fiskalnya terbatas,” terangnya.
Adapun, indikasi peningkatan risiko utang luar negeri ditunjukkan dengan peningkatan angka indikator utang, seperti external debt stocks to exports, external debt stocks to GNI (gross national income), dan debt service to exports.
“Di 2020 external debt stocks to exports adalah sebesar 123%, meningkat tajam dari 106% di 2019. Indikator external debt stocks to GNI meningkat dari 27% di 2019 ke 29% di negara low and middle income. Sementara itu, debt service to exports meningkat dari 16% di 2019 ke 17% di 2020. Peningkatan utang di 2020 dibarengi dengan penurunan nilai nominal GNI sehingga meningkatkan risiko utang di negara-negara low and middle income,” ujarnya
Sebagai tambahan informasi, seminar Internasional dan Side Event G20 ini dibuka oleh Menteri Bappenas dan juga Wakil Menteri Keuangan RI. Acara terdiri dari tiga sesi, dimana dua sesi pertama fokus membahas isu utang global, khususnya di negara-negara berkembang.
Di sisi lain, sesi terakhir membahas terkait peran kerja sama multilateral, khususnya Selatan-Selatan dalam menyelesaikan permasalahan global, termasuk utang.
Acara ini dihadiri oleh berbagai pembicara ternama internasional, termasuk perwakilan IMF, UNCTAD, Think-tank Internasional, sedangkan pembicara Indonesia diwakili oleh Dr. Tauhid Ahmad-Direktur Eksekutif INDEF.
Acara ini bertujuan untuk mendiskusikan urgensi keadilan utang dan ekonomi bagi negara-negara dunia, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia.