Inaya Wahid: Covid-19 adalah Mental Gaming
Berita Baru, Jakarta – Antara April dan Mei 2020, situs Foreignaffairs.com menerbitkan dua tulisan penting terkait kebijakan yang harus diterapkan negara di masa pandemi. Tulisan pertama membawa asumsi, herd immunity yang diterapkan Swedia akan menjadi contoh penanganan pandemi terbaik bagi seluruh dunia. sedangkan tulisan kedua, dengan nada yang agak kasar, menjelaskan mengapa herd immunity di Swedia akan gagal.
Sudah satu tahun lebih virus Covid-19 mewabah, dan sejak Maret 2020 virus ini ditetapkan sebagai pandemi, negara mana yang telah berhasil menjinakkannya? Di awal-awal pandemi, kita mungkin masih sering memantau berita ini, menyaksikan bagaimana perkembangan wabah di setiap negeri, di antara ketakutan kita pada angka-angka yang setiap sore disiarkan langsung oleh stasiun-stasiun televisi. Dan di masa itu, ketika kita menutup pintu, menakuti bahkan angin yang bisa saja mengantarkan wabah ke dalam rumah, kita begitu terheran dengan penduduk Swedia yang masih dengan santainya duduk dan ngopi di kedai-kedai kopi.
Bagaimana keadaan Swedia hari ini? Dari kedua tulisan di Foreignaffairs.com dahulu, mana yang tepat? Untuk pertanyaan kedua, sepertinya jawaban itu telah dituliskan di dalam kedua artikel tersebut: perang melawan pandemi Corona adalah perang yang tak bisa dihitung dalam jangka waktu yang pendek. Dan hingga kini, setelah satu tahun berlalu, kita belum tahu kebijakan mana yang paling bisa mengendalikan pandemi dan mampu menanggulangi krisis ekonomi.
Swedia kini memiliki 547.166 kasus per tanggal 22 Januari 2022, dengan kematian 11.005 dan kesembuhan yang tidak terdeteksi, menurut data Worldometers.info. Ini tinggi, melihat tingkat populasi negara sebesar 10.134.986 jiwa. Bandingkan dengan total kasus di Indonesia, dengan tingkat populasinya.
Tetapi apakah herd immunity gagal diterapkan dengan melihat statistik penyebaran Covid-19 di Swedia? Dengan bahasa yang sedikit berbeda—serta humor dan keceriaan yang juga berbeda— Inaya Wulandari Wahid, putri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, mengisahkan peran kekebalan kelompok (herd immunity) itu begitu berguna di masa pandemi.
Hal itu dikisahkan Inaya Wahid dalam BERCERITA #31 yang diadakan oleh Beritabaru.co pada Selasa (19/01). Perbincangan ini dipandu oleh Sarah Monica.
Meski tak pernah menyinggung dan menukil frasa herd immunity, Inaya mengindikasikan peran penting komunitas di masa pandemi ini. Sebab baginya, berhadapan dengan Virus Corona seperti sedang memainkan mind gaming. Virus ini tidak sekadar menguji ketahanan tubuh, tetapi juga kekuatan mental.
Inaya, di samping sebagai putri mantan presiden, artis, dan aktivis Gusdurian, dia juga adalah satu dari hampir satu juta orang Indonesia yang terpapar virus Covid-19 per 22 Januari 2021. Ketika diskusi ini berlangsung (19/01), Inaya sedang menjalani karantina di Rumah Sakit UI dan menunggu hasil tes swab terakhir untuk dinyatakan sembuh.
“Saya kemarin sudah tes swab dan negatif, saya nunggu tes terakhir besok untuk dinyatakan sembuh.”
Ketika ditanyakan penyebab dia terpapar Corona, Inaya pun tidak tahu jawabannya. “Saya enggak tahu jawabannya. Saya berusaha untuk track tetapi enggak ketemu. Saya termasuk orang yang sangat paranoid dengan Corona, karena di rumah ada Ibu. Saya gak pernah keluar rumah. Dari bulan Maret (2020), saya hanya keluar rumah empat kali. Itupun dengan alasan yang sangat penting. Kayak om saya meninggal, ke (mesin) atm selama beberapa menit. Belanja ke supermarket yang hanya saya lakukan satu kali, karena saya merasa di zona perang.”
Inaya menceritakan, pertama dia mulai merasa adanya indikasi terpapar Covid-19 dengan beberapa gejala, seperti pilek, merasa tubuhnya dingin, dadanya sakit di beberapa titik tanpa rasa sesak, anosmia (berkurangnya fungsi indra penciuman), dan tak bisa mencecap rasa makanan selain rasa asin, manis, dan pahit. “Bahkan setelah dinyatakan negatif kemarin, saya masih merasakan beberapa gejala, seperti sakit dada di beberapa titik. Kata dokter, ada kemungkinan 3-6 bulan saya tetap merasakan beberapa gejala ini.”
Hingga diskusi ini berlangsung, Inaya mengatakan dirinya belum dinyatakan sembuh dari virus Covid-19. Dia kini menunggu satu kali tes swab, jika hasilnya negatif dia secara resmi dinyatakan sembuh.
Inaya sebagai Penyintas Corona: Cari Sumber Informasi Medis
“Saya merasa sedang di-prank,” begitu kata Inaya ketika tahu bahwa dirinya terpapar Virus Corona. Dia tak pernah keluar rumah tetapi terpapar, sementara banyak orang yang berkumpul dan mungkin tidak mematuhi protocol kesehatan nyatanya tidak kena.
Kalau begitu, apa perlunya mematuhi protokol kesehatan dan tetap berada di dalam rumah, jika kemungkinan terpaparnya sama dengan orang yang berada di luar rumah? Logika ini harus dibalik, kata Inaya. Bahwa orang yang berada di dalam rumah saja bisa terpapar, apalagi oorang yang happy-happy di luar dan tak mematuhi protokol kesehatan, risikonya jauh lebih tinggi.
Namun kita juga tak bisa menyalahkan orang yang keluar rumah. “Banyak orang yang karena situasi dan kondisi mengharuskan mereka harus keluar. Kalau kita punya kemewahan untuk tetap di rumah, then please stay. Supaya orang yang harus keluar tetap terjaga.”
Inaya mengaku, ketika tahu dia positif terpapar Virus Corona, dia kebingunan hendak melakukan apa. “Tampaknya bukan saya saja yang berpikir seperti itu. Saya positif, saya mesti ke mana, mesti ngapain. Saya cukup beruntung punya akses ke kesehatan, saya nanya ke dokter.”
“Ketika terpapar Corona, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari sumber informasi medis. Hubungi dokter atau ke puskesmas atau ke faskes. Nanti pilihannya isolasi atau perlu dirawat inap, itu setelah bisa dapat informasi.”
Sebab, pada dasarnya belum ada obat yang secara khusus bisa mematikan virus tersebut di dalam tubuh. Maka dari itu, cukup ikuti saran dokter. Karena orang yang terpapar Corona memiliki gejala yang berbeda-beda, sehingga perlu penanganan dan obat yang berbeda-beda pula, namun harus sesuai dengan saran dokter.
“Standarnya (mengonsumsi) vitamin. Saya proper makan, kita butuh nutrisi. Dokter saya bilang, makan aja semuanya. Ada teman saya yang engak bisa makan, ya udah dia minum jus.” Tetapi lanjutnya, sebaiknya tetap memilih makanan yang bernutrisi dan sebisa mungkin makan tiga kali sehari.
Bagaimana dengan diet? “Selama pandemi saya parno banget, jadinya saya kalau makan jadi ribet. Dan karena saya ngalami asam lambung selama pandemi, yang mengakibatkan susah makan. (Berat badan) saya turun 15 kilogram.”
Herd Immunity: Bertukar Harapan dan Saling Menjaga
Inaya, yang sepertinya mewarisi sifat humoris Gus Dur, terus saja melontarkan candaan dan tawa sepanjang sesi diskusi. Kita seperti melihat seseorang yang sedang baik-baik saja dan tak terpapar virus yang mematikan.
Namun itulah salah satu obat Corona yang paling ampuh, selalu berbahagia dan menyemangati diri sendiri. “Mental, ngaruh banget tuh. Covid itu mental game.”
Dia menceritakan, selama menjalani masa karantina di rumah sakit, kesehariannya diisi dengan menonton film-film yang menurutnya tidak membuat depresi. Dia juga membawa buku mewarnai dan rayon untuk menggambar.
“Selain itu, saya memaksa diri saya untuk cari humor. Cari hal-hal yang lucu. Coping mechanism saya agar tetap senang. Dokter saya, meskipun galak, rajin ngajakin main uno. Dengerin musik yang bikin senang. Jangan dengerin lagu melow. Jangan hubungin mantan. Hubungin gebetan tepat.”
Tetapi menurutnya hal yang paling penting adalah support dari teman dan keluarga. Sebab, di dalam keadaan yang serba tidak menentu, terkadang mental kita akan jatuh. Maka dibutuhkan harapan untuk terus bertahan hidup, untuk terus berjuang hingga sembuh.
“Kalau kalian punya temen yang kena covid, please telepon. Itu akan sangat membantu. Kasih gift atau apa pun yang sifatnya sepele. Itu membantu banget. Saya bersyukur selama menjalani karantinya banyak orang yang peduli dan menghubungi saya.
Ketika ditanya apa yang hendak dilakukan setelah dinyatakan sembuh dari virus tersebut, dia berencana hendak melakukan donor plasma. “Rencana begitu, ketika saya sudah dinyatakan sembuh secara resmi.” [Aswar]