Imparsial Kecam Rencana Percepatan Eksekusi Mati, Sebut Tidak Efektif Beri Efek Jera
Berita Baru, Jakarta – Lembaga advokasi hak asasi manusia, Imparsial, mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) Budi Gunawan terkait rencana percepatan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkotika. Dalam siaran pers yang diterbitkan Jumat (6/12/2024), Imparsial menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tidak sejalan dengan upaya pembaruan hukum di Indonesia.
Sebelumnya, pada Kamis (5/12/2024), Menkopolkam Budi Gunawan menyatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji percepatan eksekusi mati terhadap bandar dan pengedar narkotika. “Para bandar dan pengedar juga akan dikenakan hukuman pidana maksimal, termasuk hukuman mati, untuk memberikan efek jera,” ujar Budi Gunawan dalam Konferensi Pers Pemberantasan Narkoba di Mabes Polri.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menyebut pernyataan itu keliru. “Pandangan bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera adalah mitos. Berbagai penelitian justru menunjukkan tidak ada korelasi antara eksekusi mati dan penurunan kasus narkotika,” tegas Ardi.
Sebagai bukti, Imparsial memaparkan data terkait. Pada 2015, Indonesia mengeksekusi 14 terpidana narkotika, namun jumlah kasus narkotika justru meningkat menjadi 644 kasus. Tren serupa terjadi pada 2016, di mana setelah eksekusi terhadap 4 terpidana, jumlah kasus narkotika naik menjadi 881 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa hukuman mati tidak efektif dalam mengurangi angka kejahatan narkotika.
Lebih lanjut, Ardi Manto Adiputra juga menyoroti potensi pelanggaran hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa hak atas hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945. “Hukuman mati melanggar prinsip non-derogable rights yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara,” ujar Ardi.
Selain itu, Imparsial mengkritik sistem peradilan pidana di Indonesia yang dianggap masih rentan terhadap praktik unfair trial. Banyak kasus salah tangkap dan penggunaan kekerasan selama proses pemeriksaan. “Praktik peradilan yang tidak adil sangat berisiko menyebabkan eksekusi terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah,” tegas Ardi. Imparsial juga mencatat tingginya biaya eksekusi mati. Berdasarkan data Polri, eksekusi terhadap satu orang membutuhkan anggaran sebesar Rp 247.112.000, yang dinilai tidak efektif secara biaya.
Dari sisi kebijakan, Imparsial menilai sikap Menkopolkam bertentangan dengan semangat pembaruan hukum di Indonesia. Saat ini, pemerintah tengah membahas aturan terkait penerapan pidana mati sebagai pidana alternatif, bukan hukuman utama. “Menkopolkam semestinya sejalan dengan pembaruan hukum nasional. Jangan sampai publik melihat pemerintah tidak sinkron dalam mengambil kebijakan,” kata Ardi.
Imparsial juga menyoroti kontradiksi kebijakan luar negeri Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berupaya melindungi buruh migran Indonesia dari hukuman mati di luar negeri, namun di sisi lain, Indonesia sendiri masih menerapkan eksekusi mati. “Ini akan menjadi bumerang bagi Indonesia dalam diplomasi internasional terkait perlindungan WNI di luar negeri,” ujar Ardi.
Imparsial pun menyerukan langkah konkret kepada pemerintah. “Kami mendesak Menkopolkam Budi Gunawan untuk menghentikan upaya percepatan eksekusi mati dan mendorong pemerintah untuk memberlakukan moratorium resmi terhadap hukuman mati,” tegas Ardi. Sebagai penutup, Imparsial menyerukan penghapusan hukuman mati secara bertahap dari sistem peradilan pidana Indonesia. “Alih-alih mempercepat eksekusi, lebih baik fokus pada reformasi sistem peradilan yang berkeadilan dan berbasis rehabilitasi serta reintegrasi sosial,” pungkas Ardi.